Perempuan Di Balik Hujan
Karya Musyafa Asyari
Hujan turun lagi. Barangkali Tuhan menjadikan hujan sebagai perantara cinta kita. Entahlah, bagiku hujan adalah penenang dari tubuhku ketika panas dingin menerpa saat memikirkanmu. Meski tak selebat tadi, tapi masih bisa kudengar rintik-rintik air yang jatuh ke bumi sore ini. Langit sudah semakin gelap dan hujan masih menyuramkan wajah senja yang aku begitu suka. Dari balik jendela kamarku, aku hanya membeku, menatap hujan yang bermain-main dengan angin. Sedang jalan-jalan penuh dengan genangan. Rerumputan tak lagi bisa bergoyang. Jendela kacaku juga semakin memburam. Kugerakkan jemariku untuk menyekanya. Dan wajah perempuan seperti tersketsa di sana.
Anganku memang selalu benar. Lama aku menatap hujan yang sepertinya enggan untuk berhenti, tiba-tiba mataku manangkap seraut wajah perempuan yang sedang berjalan di bawah payung birunya. Aku menatapnya seraya berharap ia adalah perempuan yang ditakdirkan Tuhan menjadi pendamping hidupku. Tapi apa yang terjadi?
Perempuan itu terhenyak dari penglihatanku. Namun, aku tak bisa untuk tidak memikirkannya. Gadis bersari kuning itu selalu terngiang-ngiang dalam pikiranku karna jasanya yang pernah menolongku saat kecelakaan.
Pada suatu hari ketika aku memacu mobil sedan hitam ke arah lingkar selatan. Aku baru saja melewati pertigaan yang menanjak ketika suara keras terdengar, seperti suara serudukan banteng yang menghantam mobil bagian belakang. Dengan refleks aku menginjak rem kemudian memarkirkan mobil di pinggir jalan. Aku sempat ragu sebelum memutuskan turun. Tetapi akhirnya turun juga.
Lambung kanan belakang mobilku pesok. Tiga meter di belakang seorang pria tua bertelanjang dada dan sebuah motor bebek model lama tergeletak sepertinya motor merah itu yang menghantam mobilku. Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba sudah datang berapa penonton dengan wajah yang tak ramah. Mereka bertindak seenaknya sendiri tanpa mengetahui kronologi kecelakaan yang baru saja aku alami.
Pria tua berdada merpati dan kulit terbakar matahari itu memegangi kedua lututnya. Hanya luka kecil dengan sedikit darah. Tapi, ia sudah mengaduh kesakitan seolah tulang rusuknya patah. Belum sempat aku berkata apa-apa, masa sudah mulai kesetanan.
“Mikir dong kalau nyetir!”
“Kamu harus ganti rugi! Begini ini, pemuda yang suka seenaknya sendiri!”
“Hancurkan! Hancurkan mobilnya!”
Pria tua itu bangkit berusaha berjalan meski terpincang-pincang, lalu menuju bagian depan motornya yang pesuk.
“Kamu harus ganti rugi. Buat perbaiki motor saya dan berobat.”
Sebetulnya, mobilku yang ditabrak bukan aku yang menabrak. Bekas benturan itu terlihat di bagian belakang mobil. Belum sempat aku berkata-kata, dua remaja mulai menggenggam tangannya dan siap menghantam. Tiga pemuda lain sudah mulai menendang-nendang lambung dan kap mobilku.
Sebuah pukulan mendarat di samping pipiku. Hingga mengalir darah dari sudut mata dan bibirku. Semua baru terselesaikan ketika aku mengeluarkan berlembar-lembar uang merah di saku di sertai dengan permohonan maaf dengan gugup dan berulang-ulang. Akhirnya, kerumunan itu meninggalkan pinggiran jalan. Tiba-tiba dari sebelah kanan jalan ada seorang perempuan yang datang mendekatiku dan memberiku sebotol air putih kemasan. Jika saja perempuan itu tidak datang, mungkin kini aku sudah pingsan di pinggiran jalan.
“Kamu tidak apa-apa?” Ujar perempuan itu sambil mengulurkan tangannya.
“Hanya sedikit memar.” Jawabku sambil merintih kesakitan.
Perempuan itu berhenti sejenak, membalikkan badan, dan akhirnya pergi entah kemana. Ia memamerkan senyum manis padaku. Aku berharap senyum itu sebagai penghibur nyeri setelah beberapa pukulan mengenai pipiku.
Hujan belum juga reda. Langit agaknya mulai kedinginan. Berselimutkan awan hitam yang begitu tebal menggantung di atas rumah. Embun mulai melekat di kaca rumah. Jalanan pun makin tak terlihat sebab tergenang seperti anganku yang makin tak tenang. Hujan makin mengencangkan arusnya, barang kali itu penyebab kau pergi dari jalanan kala itu.
Aku berhenti sejenak. Keheningan mulai menerpa. Dalam sunyi yang tak bersuara. Dalam lamunan yang semakin menjingga, kulukis sketsa wajahmu dalam angan-angan. Tak pernah sedetik pun embun dalam kepalaku menguap tanpa hangatnya mentari yang setiap saat kau hembuskan dalam bayang-bayang. Pena dan tinta telah mewakilkan curahan hatiku dalam catatan buku harian. Selembar saja terbaca olehmu, niscaya kau pahami seperti apa hatiku berbicara atas nama cinta.
Di luar masih hujan lebat mengguyur bumi. Sesekali kilatan petir terlihat di jendela. Listrik telah padam, hanya lilin kecil sebagai penerang ruangan. Tiba-tiba dari balik pintu rumah, dari balik hujan begitu deras. Ada seorang perempuan menggunakan topi runcing berwarna putih, kemeja, dan rompi panjang bercorak etnik suatu daerah. Pakaiannya basah dan melekat di badan. Perempuan itu persis dengan yang aku temui di jalan waktu itu. Ia mengaku bernama Alicha.
Refleks, aku melangkah mundur. Sendirian di rumah, membuka pintu tanpa mengetahui siapa yang datang merupakan kenaifan yang seharusnya tak terjadi. Parasnya laksana musafir tersesat dan membutuhkan pertolongan. Motif dan bajunya menunjukkan kalau perempuan itu datang dari tempat jauh. Atau...ah, sepertinya aku terlalu banyak menonton film belakang.
Tamu tetap tamu, ia harus di hormati. Kupersilahkan wanita itu masuk dan duduk di kursi tamu yang terbuat dari lilitan rotan.
Alicha menyilangkan tangan di dada, bibirnya merah dan sedikit membiru, dagunya gemetar. Mungkin cuaca teramat dingin di luar sana, aku tidak tahu seberapa jauh perempuan itu berjalan. Atau...? Ah, aku tidak mau memikirkan hal yang satu itu.
“Mau kuambilkan kopi hangat?”
“Iya.” Jawab perempuan itu lirih.
Di dapur sangatlah gelap, di mana aku harus mencarinya? Sebungkus bubuk kopi toraja yang dihadiahkan teman tergeletak begitu saja di dekat toples gula. Dan itu menjadi penolongku saat gelap ini. Aku tidak menyukai aroma badan Alicha. Aku juga tidak suka bajunya yang aneh itu.
Alicha? Di mana aku pernah mendengar nama itu? Petir menyambar cukup dekat. Air mendidih di dalam panci, kemudian tanganku gemetar mengaduk kopi. Ada apa gerangan perempuan itu datang ke rumahku?
Ku letakkan kopi toraja panas di meja tamu kecil yang terbuat dari jalinan rotan dialasi kaca itu.
“Kenapa kamu datang ke rumahku?”
“Aku kedinginan.”
“Ada banyak rumah di komplek ini.”
“Kopimu cukup enak.” Ia kembali meneguk kopi yang aku hidangkan.
“Kau belum menjawab pertanyaanku.”
“Oh, di sini kayu-kayu rotan dijadikan sebagai kerajinan.” Ujar perempuan itu seakan mengalihkan pertanyaanku.
Dia kembali mengambil cangkir kopi toraja dan mulai didekatkan ke bibirnya. Aku mengerti satu hal, kalau perempuan itu berasal dari Yunani. Apa gerangan perempuan Yunani itu datang ke tanah Sulawesi? Ah, jangan-jangan ia ingin belajar tari kipas.
Alicha, sebuah ingatanku kembali terbuka. Perempuan itu penyair yang hidup ratusan tahun sebelum Masehi. Kupandangi sekali lagi pakaian yang ia kenakan. Itu himation.
Ya Tuhan, dosa apa yang telah kuperbuat. Seorang perempuan datang dari alam kematian sedang minum kopi di ruang tamuku.[]
Biodata penulis:
Musyafa Asyari
Mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan Islam, Universitas Islam Negeri KH Syaifuddin Zuhri Purwokerto.Lahir di Benda, Sirampog, Brebes, 1 Juni 2003. Agama Islam. Bergiat menjadi anggota SKSP ( Sekolah kepenulisan sastra peradaban). Moto hidup: kalian adalah pemimpin dan pemimpin akan dikenai tanggung jawab atas kepemimpinannya. Domisili: Ponpes Al-Hidayah Karang Suci Purwokerto, dan Ponpes Darul Ghuroba Al-Hikmah 1, Ig/musyafa Asyarie, no hp: 085727228346.
Dapat dihubungi di musyafaasyari03@gmail.com
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313