KESALAHAN EMAK
Karya Yin Ude
Di mana-mana orang meributkan minyak goreng yang langka. Istri tetangga setiap hari juga mengeluh tentang sulitnya memasak tanpa ada minyak goreng.
“Memang benar kita bisa merebus saja, memanggang saja. Tapi tetaplah kita butuh minyak goreng untuk menggoreng bawang penguat rasa sayur atau agar ikan bakar tidak gosong.” Kata Aminah.
“Benar, minyak goreng susah dipisahkan dari dapur. Apalagi untuk saya yang punya suami penggemar gorengan. Wuih, terpaksa beralih ke mentega untuk menggoreng!” Sambut Mar. Bu Siti, Khadijah, Maria, Bu Wayan dan Mbak Dharma mengangguk-angguk sepakat.
Ibu-ibu itu riuh berkumpul di depan rumah salah seorang warga. Kulewati dengan rasa heran. “Kok Emakku tetap bisa menggoreng, ya?” Suara hatiku seraya memperlambat laju motor, untuk menghormati mereka.
“Aku perhatikan tiap hari minyak goreng selalu tersedia di dapur, dan Emak tak pernah mengeluh tentang minyak goreng….” Batinku lagi.
Sampai rumah aku pun disambut oleh aroma aroma ikan goreng. Emak sedang menggoreng mujair.
“Cepat sekali pulang sekolahnya hari ini?” Selidik Emak sambil mematikan kompor gas. Piring berisi ikan goreng di tangannya diletakkan ke atas meja makan.
“Iya, sekolah diliburkan karena dekat dengan balai kota. Di sana ribut, ratusan orang demo, protes kelangkaan minyak goreng.” Jawabku.
Mulutku belum terkatup sebab masih hendak bertanya bagaimana caranya Emak mendapatkan minyak goreng. Tapi segera terlintas di benakku peringatan wanita itu berulang kali, agar aku tak usah tanya-tanya tentang bagaimana bisa minyak goreng di rumah kami tetap tersedia, atau bagaimana cara beliau memperolehnya, atau darimana sumbernya. Tak pernah ia sebut alasan larangan itu. Yang jelas ada penekanan di dalamnya, dan itu artinya harus dipatuhi, tanpa syarat.
Akhirnya aku memilih tak peduli saja. Toh, tak ada urusannya denganku. Yang penting makan apa yang disajikan Emak, selesai. Masalah asal usul makanan dan bahan-bahannya itu urusan orang tua. Lagi pula tidak lucu juga, aku yang lelaki mengurusi tetek bengek dapur.
Bapak muncul, mengingatkan agar aku segera ganti pakaian putih abu-abuku agar bisa segera makan siang bersama.
Seperti aku, Bapak juga tak pernah menanyakan perihal minyak goreng persediaan Emak.
*
“Jangan ke sekolah! Depan balai kota ramai! Demo kemarin dilanjutkan pagi ini dengan peserta yang lebih banyak! Gerbang sekolah juga ditutup karena sekolah diliburkan lagi!” Teriak Johan dari atas sepeda motornya yang berpapasan denganku di jalan.
Laju motor kuperlambat dan menepi.
“Demo lagi, sekolah korban lagi…?!” Omel hatiku.
Aku penasaran. Kugas kembali tungganganku menuju sekolah.
Benar ucapan Johan. Kalau kemarin pendemo hanya hitungan tiga ratusan, kini dari kerumunannya, kira-kira ada seribuan. Mereka yang hampir semuanya berikat kepala merah tumpah ruah memadati jalan depan balai kota yang juga tepat di depan gerbang sekolahku. Pengalaman unjuk rasa beberapa kali yang berakhir ricuh dan berakibat kejar-kejaran aparat dan pendemo hingga memasuki halaman dalam sekolah telah membuat kepala sekolah lebih memilih meliburkan kegiatan belajar. Ia tidak mau ambil resiko lagi.
Nada suara orator yang berdiri di kap mini bus kudengar berapi-api. Ia yang memegang megaphone tak henti membangkitkan emosi para peserta demo dan begitu garang menghujat orang-orang yang ada di dalam balai kota.
“Ironis sekali, sebuah negara yang kaya akan kelapa sawit tapi mengalami kelangkaan minyak goreng!” teriaknya, “ini pasti ada apa-apanya. Pasti ada permainan yang melibatkan para pengusaha, para kapitalis!”
Agak bosan juga kudengar kata-kata orasi itu, sebab tiap waktu televisi memperdengarkannya dari mulut para aktivis, para pengamat ekonomi, pengamat politik, hingga ibu-ibu rumah tangga.
“Satu hal lagi, ada praktek penimbunan minyak goreng yang sedang terjadi secara besar-besaran dan melibatkan berbagai pihak! Salah satunya….”
Tak kuperhatikan lagi kelanjutannya sebab aku tertarik dengan kalimat ‘penimbunan minyak goreng’.
“Siapa penimbun itu? Apakah penimbunnya juga berada di daerah kami?” Tanyaku dalam hati.
“Kami sudah tahu siapa penimbun itu beserta kaki tangannya! Datanya ada pada kami dan valid! Jika hari ini Bapak-bapak yang di dalam balai kota tidak segera menindak mereka, maka kami yang akan turun tangan sendiri!”
“Wow!” seru batinku lagi terkaget-kaget, “jadi benar penimbunnya ada di sini? Hebat sekali para pendemo itu bisa menguak keberadaannya!”
Aku kukuh berdiri agak jauh dari pusat kerumunan pendemo, walaupun kemudian ada puluhan orang di antaranya yang mendekat padaku, mengganggu kenyamananku menonton.
Aku hendak menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah orang-orang yang berada di dalam balai kota akan keluar dan memenuhi tuntutan pendemo untuk segera bergerak ke tempat penimbun yang dimaksud, ataukah para pendemo yang akan membuktikan ancamannya, bertindak sendiri?
Sekitar setengah jam, tiba-tiba dari dalam balai kota kulihat keluar tiga orang lelaki berseragam dinas. Mereka mendekat ke arah orator. Sang orator turun dan maju diikuti beberapa orang pendemo lainnya. Mereka bertemu di depan gerbang balai kota yang dijaga ketat aparat keamanan. Mereka terlibat pembicaraan. Sesaat kemudian sang Orator dan dua pendemo masuk ke dalam balai kota bersama para lelaki berseragam dinas itu.
Satu jam kemudian, dari halaman dalam balai kota keluar tiga mobil minibus, yang dari bentuk dan logo di badannya aku pastikan mobil polisi. Samar- samar pula kulihat orang-orang berpakaian polisi di dalamnya.
Mobil-mobil itu bergerak cepat. Para pendemo serentak bersorak-sorai.
“Hidup pemerintah! Hidup aparat!” Teriak mereka dengan wajah senang.
Aku yakin mereka puas mengetahui para polisi sedang menuju tempat penimbun, untuk menangkapnya, seperti yang diharapkan.
**
Sepi, tapi pintu halaman maupun pintu rumah tak terkunci. Kalau Bapak dan Emak pergi biasanya digembok.
Aku memanggil keduanya. Tak ada sahutan. Kuulang berkali-kali panggilanku seraya masuk dan memeriksa tiap kamar, tiap ruang hingga dapur dan kamar mandi. Tetap saja tak ada sahutan dan tak kutemukan seorang pun.
“Emakmu belum pulang. Bapakmu tadi ada, tapi saya lihat pergi naik ojek, kelihatan tergesa-gesa. Tuh, pintu rumah kalian juga sampai lupa dikuncinya. Saya kira ada kamu di dalam.” Kata Bu Neni, tetangga samping, ketika aku coba menanyai beliau.
“Kemana, ya….? Ada apa, ya…?” Bisikku seperti bertanya pada diri sendiri.
Bu Neni hanya menggeleng.
Tiba-tiba muncul Pak Ketua RT.
“Di mana bapakmu, Nak?” Tanya lelaki tua itu dengan raut wajah tegang. Nafasnya terdengar sedikit ngos-ngosan. Mungkin habis lari atau paling tidak berjalan tergesa.
“Ini juga saya tidak tahu, Pak Er Te,” jawabku penasaran, “memangnya ada apa? Kok, Bapak sepertinya tegang begitu?”
“Oh, kamu belum tahu, ya?” Pak RT menghentikan ucapannya. Sepertinya ragu bicara lagi.
“Apa itu, Pak Er Te?” Desakku. Ada firasat kurang baik menjalari dadaku.
“Eh, anu, emakmu tadi dibawa sama polisi ke kantor polsek….”
“Kenapa Emak dibawa polisi? Ada apa?!” Kontan aku memotong penjelasan pria itu. Kurasakan kakiku sedikit gemetar karena dibawa rasa cemas.
“Emakmu tersangkut urusan dengan penimbun minyak goreng….”
Benar-benar aku terhentak. Tak kusangka Emak akan terlibat dalam urusan semacam itu. Perlahan ingatanku disergap bayangan hari-hari dapur Emak yang tak pernah kosong minyak goreng.
“Oh, ini jawaban atas keherananku selama ini. Emak mendapat minyak goreng dengan jalan yang melanggar hukum…!” Seru batinku gemuruh.
Setelah menggembok pintu rumah dan halaman serta pamit pada Bu Neni dan Pak RT dengan suara hampir tak terdengar, aku pun langsung memacu motor dengan maksud menuju polsek.
Tapi belum beberapa jauh dari rumah, aku dicegat sekumpulan ibu-ibu, yang kemarin berkumpul itu; Bu Mar, Bu Siti, Bu Khadijah, Bu Maria, Bu Wayan, Mbak Dharma dan beberapa wanita lain. Wajah mereka menyiratkan rasa ingin tahu ketika menatapku.
“Emakmu sudah di polsek, Yat?” Tanya Bu Maria.
“Kau tahu kenapa emakmu di polsek?” Sambung Mbak Dharma dengan nada sedikit sinis pula.
“Kami ndak nyangka ternyata emakmu berhubungan dengan penimbun minyak goreng yang jelas-jelas musuh kami ibu-ibu rumah tangga. Pantasan selalu kucium aroma gorengan dari rumahmu selama rumah-rumah yang lain tak bisa menggoreng. Saat kutanya, emakmu berdalih ia menggoreng pakai mentega. Tahu-tahunya….” Cecarnya lagi.
“Kami kecewa dan merasa dikhianati oleh emakmu dengan kelakuannya!” Lebih keras lagi seruan Bu Mar.
Aku tersudut, tak bisa bicara, apalagi menyangkal, apalagi membalas marah. Aku pastikan ibu-ibu itu sedang sangat tidak senang dengan emakku. Dan memang, kalau benar emak melakukan seperti apa yang mereka katakan, maka emak telah bersalah.
Aku gas sedikit motorku memberi tanda ingin pergi. Syukurlah ibu-ibu itu tak lagi menghalangi.
***
Bapak menghela nafas sejenak, berusaha melegakan sedikit dadanya yang disesaki beban. Dipandanginya aku yang berada di samping beliau. Karena risih kulemparkan tatapan ke arah tiga orang polisi yang sedang berada di ruang piket polsek. Kami duduk di teras, dipisahkan satu ruang dengan ruang interogasi dimana Emak sedang berada di dalamnya, diperiksa oleh petugas reskrim. Sebelumnya seorang lelaki yang kami kenal bernama Syamsun, pengusaha sembako telah lebih dahulu didudukkan di ruang itu. Aku dan Bapak sama-sama memastikan dialah orangnya penimbun minyak goreng yang bersangkutan dengan Emak.
Melintas di mataku bayangan Emak yang tertunduk di depan petugas. Suaranya gemetar saat menjawab pertanyaan. Matanya pun berkaca-kaca. Kupastikan bagaimana tertekannya beliau yang tak pernah berhadapan dengan aparat seperti saat ini. Aku, dan Bapak juga tak bisa berbuat apa-apa, selain menunggu saja apa yang akan terjadi berikutnya, seraya terus berdoa dalam hati semoga emak tidak terjerat terlalu jauh.
“Emakmu sementara ini hanya berstatus sebagai saksi. Mudah-mudahan untuk seterusnya.” Ucap Bapak kemudian.
“Bapak tahu bagaimana Emak bisa tersangkut dengan oknum pelaku penimbunan minyak goreng itu?” Tanyaku.
Bapak mengangguk. “Sudah lama Bapak tahu.” Jawabnya lirih.
Tak sabar kutunggu kelanjutan jawaban lelaki itu.
“Saat minyak goreng mulai langka hingga berlanjut dan bahkan sampai puncaknya, emakmu tidak pernah kekurangan minyak goreng di rumah,” sambung Bapak, “jika para tetangga ribut-ribut mengeluhkan ketiadaan minyak goreng, kita di rumah tetap bisa makan masakan yang digoreng. Aku kemudian mulai heran.
Suatu hari aku ikuti diam-diam emakmu yang sejak langkanya minyak goreng selalu telat pulang dari pasar. Kalau sebelumnya paling satu jam, sekarang bisa sampai tiga jam. Alasannya lama mencari-cari barang kebutuhan dapur dan lain-lain. Bukan, bukan aku curigai macam-macam. Aku hanya ingat kejadian seorang perempuan di kota sebelah yang suatu ketika seperti emakmu ini, tiba-tiba sering lama pulang ke rumah. Tahu-tahu ia dalam tekanan mafia narkoba, disuruh jadi kurir, dengan ancaman anaknya yang SD akan diculik kalau tidak mau.”
Derap sepatu dua polisi yang melintas di depan kami menghentikan cerita Bapak. Petugas itu nampak terburu-buru. Aku penasaran dan mengikuti langkah mereka dengan tatapan.
Mereka menuju mobil patroli yang terparkir di halaman. Di sana sudah menunggu pula tiga anggota polisi lain. Dua di antaranya bersenjata laras panjang. Sejurus mereka semua naik ke mobil yang segera melaju ke badan jalan raya.
Hampir berpapasan dengannya, masuk pula mobil pick-up ke dalam halaman polsek. Di baknya ada sepuluh orang laki-laki, di kabin duduk tiga orang pria juga. Dari ikat kepala merah yang mereka kenakan aku tahu kalau mereka adalah peserta demo tadi pagi.
Setelah turun, tiga pria yang tadi duduk di kabin berjalan ke teras, ke arah kami. Belum sampai, seorang anggota polisi yang dari tadi berdiri di pintu ruang piket menyambut mereka.
“Bagaimana perkembangan penanganannya?” Tanya salah seorang pria.
“Terduga penimbun dan seorang saksi, ibu rumah tangga, sedang dalam pemeriksaan. Barusan tim bergerak pula untuk menjemput terduga penimbun lain.” Jawab sang Polisi.
“Mantap. Di polsek kecamatan sebelah juga tengah berlangsung penanganan seperti ini. Terima kasih, Pak. Kami pamit, mau melaporkan ini ke koordinator lapangan kami.” Usai berkata, si Pria bersalaman dengan petugas polisi dan mengajak rekannya pergi.
Lagi-lagi Bapak menghela nafas. Situasi polsek yang serius semakin membebaninya. Begitu pula aku, kian cemas dengan keadaan Emak di dalam.
“Cerita Bapak belum selesai.” Ucapku pelan menyela suasana.
Lelaki itu mengangguk. “Setelah Bapak ikuti kemana Emakmu pergi, aku pun tahu apa yang membuatnya telat pulang dari pasar. Ternyata dia mampir di rumah Syamsun….”
Ribut-ribut di gerbang halaman polsek. Cerita Bapak terhenti lagi karena perhatian kami tertuju ke sana. Oh, ibu-ibu dari kampung datang! Bu Mar, Bu Siti, Bu Khadijah, Bu Maria, Bu Wayan, Mbak Dharma dan beberapa wanita lain itu tidak terima dihadang oleh petugas piket.
“Masa kami ndak bisa masuk?” seru Bu Khadijah, “kami cuma mau ikuti perkembangan penanganan kasus penimbun minyak goreng itu? Ada tetangga kami juga yang katanya terlibat!”
“Boleh, siapa bilang tidak boleh? Cuma masuknya Ibu-ibu sebatas halaman saja. Kalau seperti permintaannya tadi mau masuk ke dalam ruangan interogasi, ya tidak bisa kami ijinkan, Bu.” Sambut petugas dengan sopan dan tenang.
“Ya, sudah. Kami di halaman saja.” Sentak Bu Khadijah sewot. Ia mengajak teman-temannya duduk di bangku panjang di bawah pohon nangka.
Aku dan Bapak bertemu tatap dengan mereka, lalu sama-sama membuang muka.
“Nampaknya mereka benci dengan emakmu.” Kata Bapak lirih.
“Mudah-mudahan segera ada titik terang, dan Emak bisa bersih dari kasus ini.” Jawabku dengan sedikit keraguan. Ya, ragu sendiri, apakah mungkin Emak akan bisa terlepas begitu saja? Kecemasanku kian menjadi-jadi.
“Aku yakin Emakmu akan terlepas dari kasus ini.” Ujar Bapak lagi.
“Setelah aku cari tahu dari pembantu rumah Syamsun, yang tidak mengenalku, kudapati informasi bahwa emakmu datang ke tempat itu setelah menawarkan diri menjadi tukang cuci pakaian….”
“Menjadi tukang cuci pakaian?!” Kelanjutan kalimat Bapak harus terpotong karena aku sela. Aku kaget dan heran kenapa Emak harus melakukan itu.
“Dengar dulu,” ucap Bapak, “Emakmu menawarkan diri, ya, menawarkan diri menjadi tukang cuci pakaian keluarga Syamsun karena satu alasan. Dia, ingin agar tiap hari bisa dibayar dengan sebotol minyak goreng….”
Tak sadar mulutku menganga mendengar itu. Hendak bicara tapi risih memotong lagi cerita Bapak.
“Aku pun kemudian sadar bahwa itu dia lakukan untuk menghindarkan aku dari menyalahkannya atas sebuah kejadian di masa lalu. Padahal aku tak pernah lagi dan selamanya tak akan pernah lagi melakukannya.”
“Kesalahan apa yang telah diperbuat Emak? Kejadian apa itu, Pak?” Kali ini aku tak bisa menahan diri untuk menyela.
Bapak menggeser letak duduknya untuk memberi kesempatan rileks pada pinggangnya. Beliau pengidap encok menahun.
“Dulu, “ Bapak berucap dengan tatapan menerawang, “sebelum kamu lahir, kami punya kebun kelapa yang cukup luas di pantai. Di samping dijual langsung, kelapa-kelapa diolah oleh emakmu menjadi minyak goreng. Banyak toke-toke, pengusaha Tionghoa yang datang memborongnya. Dengan hasilnya kami hidup. Kami sejahtera.
Tapi kemudian itu berubah. Suatu ketika ada pengusaha besar yang bermaksud membuat kawasan tambak udang besar-besaran. Semua pemilik lahan di sepanjang pantai ditawari untuk mau melepas tanahnya. Di atasnya akan dibangun petak-petak tambak, gudang-gudang dan bangunan-bangunan lain yang mendukung operasional tambak. Pengusaha membuat perjanjian, bahwa mereka akan mengelola tambak itu hanya dalam jangka waktu lima belas tahun. Setelah itu tambak akan diserahkan kepada para pemilih lahan dan menjadi hak milik selamanya. Pengusaha itu juga akan memberikan pelatihan serta bantuan alat serta pakan udang. Hasil panen juga akan dibeli langsung dengan harga bersaing oleh pengusaha itu. Kami ditunjukkan contoh-contoh keberhasilan kegiatan serupa di beberapa tempat, dimana taraf hidup warga berubah menjadi sangat baik.
Aku menolak. Aku ingatkan dia betapa enaknya kami hidup walau hanya dengan mengandalkan hasil penjualan kelapa dan minyak goreng. Aku bahkan sampai sok-sokan mengajaknya berpikir jauh ke depan, ketika suatu ketika, karena sesuatu yang tidak kutahu juga itu apa, minyak goreng sulit didapat, lalu semua orang kembali ke minyak kelapa yang dibuat secara tradisional. Pasti kelapa kami akan semakin tinggi harganya. Paling tidak kami tidak akan kesulitan memenuhi kebutuhan dapur sendiri. Tapi emakmu telah terlanjut terpengaruh oleh kata-kata pengusaha itu, dan ia terus mendesakku untuk mau menerima. Bapak tak mau ribut. Bapak akhirnya menurut….”
Bapak menatapku, seperti meminta tanggapan. Tapi aku hanya diam, tak tahu apa yang harus aku katakan.
“Kau tahu? Setelah setelah panen pertama tambak, pengusaha itu menghilang. Tak ada kelanjutan, tak ada kejelasan. Tak ada siapa pun yang tahu atau bisa menjelaskan kemana larinya si Pengusaha itu. Sementara siapa yang akan menimbun kembali petak tambak dengan tanah, atau meruntuhkan bangunan-bangunan gudang besar di atas bekas lahan kelapa untuk kami kembalikan lagi menjadi kebun? Emakmu menyesal, sangat menyesal. Dan karena itu ia sakit beberapa bulan. Aku paham betul bagaimana perasaannya. Hingga walaupun sakit hati, aku berhenti menyalahkannya. Berpuluh tahun, hingga saat ini, tak pernah lagi kuungkit kejadian ini. Tapi aku tahu siapa emakmu. Ia selalu dibayang-bayangi rasa bersalah dan penyesalan. Lalu ketika kini, terjadi kelangkaan minyak goreng, itu jadi pukulan yang sangat berat baginya. Aku benar dan ia salah, itu yang ada dalam pikirannya.
Ia pun pasti tak mau minyak goreng sampai tak tersedia di rumah, sebab dipikirnya itu akan jadi jalan aku menyesalinya, jadi celah aku membahas kembali kesalahan yang ia perbuat di masa lalu….”
Di ujung ceritanya Bapak menggeleng-geleng, lalu berpesan, “jangan kau sebut-sebut cerita ini di depan emakmu. Kasihan emakmu.”
Aku mengangguk-angguk. Tak bisa bicara. Lalu hanya tertunduk. Bapak juga tertunduk. Kami sama-sama dicekam perasaan sendiri-sendiri.
“Bapak, Yat….”
Aku tersentak. Bapak juga dikejutkan oleh panggilan pelan itu. Serentak kami mengangkat muka, dan ternyata Emak telah berdiri di depan kami.
Wajah perempuan itu nampak layu. Masih jelas sembab matanya karena habis menangis.
Kami bangkit. Bapak merengkuh tangan perempuan yang sangat dicintainya itu.
“Bagaimana perkembangannya?” Tanya lelaki itu pelan, bergetar, karena dilatari rasa takut akan mendengar jawaban yang tidak baik.
Dadaku pun gemuruh.
“Emak dibebaskan. Emak tidak disalahkan karena Pak Syamsun bersikeras bahwa Emak tidak terlibat dalam urusannya. Emak cuma bekerja, dan karena Emak tahu ia penjual sembako, maka Emak minta diupah dengan minyak goreng saja, sebab susah didapat. Emak sudah bersumpah demi Allah bahwa Emak tidak tahu kalau Pak Syamsun adalah penimbun minyak goreng. Emak diminta tak lagi berhubungan dengan Pak Syamsun….”
Rentetan kalimat Emak disusul isakannya. Tubuhnya sampai terguncang-guncang dalam pelukan Bapak.
Bapak menangis. Aku juga menangis.
Kami tinggalkan kantor polsek diikuti tatapan heran Bu Mar dan teman-temannya.
****
Tiba di rumah. Emak duduk terdiam di kursi samping meja dapur. Tatapannya bergantian menumbuk penggorengan yang tergantung di tembok dan botol minyak goreng yang berdiri di dekat kompor. Isinya tinggal sedikit sekali.
Bapak yang juga duduk di dekatnya berkata, “kemarin badanku sakit-sakit. Tengkukku kaku. Terus aku ke dokter, disuruh cek darah. Hasilnya kolesterolku tinggi. Dokter melarangku makan makanan yang berlemak dan digoreng….”
Emak menatap Bapak, menatap lama, seperti menyelidiki kebenaran ucapan lelaki itu.
“Baiklah,” katanya kemudian, “mulai sekarang Emak akan merebus dan memanggang saja, tanpa minyak.”
Aku tahu Bapak berbohong….
Tamat
Sumbawa Timur, 23 Maret 2022
Yin Ude, penulis asal Sumbawa Timur, NTB. Karyanya termuat dalam Buku Sepilihan Puisi dan Cerita “Sajak Merah Putih”, Novel “Benteng”, Antologi Puisi “Seribu Tahun Lagi”, Antologi Puisi “Genta Fajar”, Antologi Puisi Jogja Kota Sajakku, Antologi “Hujan Baru Saja Reda”, Antologi “Jejak Puisi Digital”, Antologi Puisi “Para Penyintas Makna” dan Antologi Puisi “Pertemuan di Simpang Zaman”. Beberapa buku lain dalam proses terbit. Kontak WA: 087810071573 dan fb: Yin Ude.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313