Di Atas Sajadah
Waktu-waktu yang kutinggalkan berserakan. Tajam jarum jam berdetak pada dinding penuh lumut, dan angka-angka almanak melingkari diri merah tebal. Ada yang tertikam, dada sesak terjerat
Diejekkah riuh sepiku oleh Tuhan? Ia datangkan anak-anak, yang berbondong-bondong membuat shaf di hadapanku, dan mukaku terinjak. Merdu tartil para pemuda pula: penyebab teriak amarah malaikat, kelak, saat tak terselip suaraku di antaranya
Bergetarkah semangatku di arsy? Semangat yang tiba-tiba -tak malu- ikut melonjak kegirangan di tebing sungai surga yang dialirkan lagi, tempat orang-orang tertentu dihimbau berenang, dijanjikan debu dakinya akan bersih, dan jari-jari cahaya memutar ulang jarum jam ke detik kelahiran. Almanak pun baru dibuka gulungannya
Sungai itu. Oh, sungai itu. Gemericiknya begitu nyata kudengar, sebagai derai tawa-Nya menggoda aku yang terhuyung bangun sahur. Riaknya di lambungku, yang berseru semangati diri di siang lapar. Gemuruhnya pula melekati deras syukurku atas nikmat berbuka, atas nikmat sejuknya rongga dada, yang selalu disesaki debu panas dari mata, kotoran gatal telinga, uap racun di ujung lidah, juga sahwat yang memercikkan bara
Dan di tiap malam aku ceburkan sudah hatiku di lubuknya, di lekak-lekuknya, yang kata-Nya akan bawa aku ke muara. Di sana tegak dermaga orang-orang terpilih, yang waktu-waktunya terangkum di atas sajadah. Semuanya, selamanya, tak pernah sekali pun bercerai, meninggalkan, ditinggalkan Tuhannya
Sumbawa Timur, 2 April 2022
Di Bawah Menara Baja
Di bawah menara baja, yang lengan-lengannya menguatkan hasrat menyentuh langit, aku dan gadis kecil itu –yang asing- begitu akrab, sama pandangi senja gerimis serta burung-burung mungil bersikukuh melawan dingin
Ya, gadis dekil pengemis itu sungguh asing, tapi demikian akrabnya. Kau tahu? Kami sudah diperkenalkan Tuhan di dalam masjid, sejak hari pertama datangnya ramadhan. Tuhan bilang, “gadis ini adalah engkau yang hari ini lapar, hari ini dahaga.”
Maka segera kurasakan pula kami sama meratapi gelap bayangan menara baja dan langit yang kian meninggi. Kupastikan juga harapannya harapanku: lengan-lengan menara baja terulur ke mimpi orang-orang papa, membelai hati langit, agar merendah, dan sudi mendengar riuh suara dari bumi
Sumbawa Timur, 2 April 2022
Yin Ude,
penulis asal Sumbawa Timur, NTB. Karya tunggalnya yang telah terbit adalah Buku
Sepilihan Puisi dan Cerita “Sajak Merah Putih” dan Novel “Benteng”. Puisinya
termuat pula dalam antologi bersama yakni Antologi Puisi “Seribu Tahun Lagi”,
Antologi Puisi “Genta Fajar”, Antologi Puisi Plengkung: Yogyakarta dalam Sajak,
Antologi “Hujan Baru Saja Reda”, Antologi “Jejak Puisi Digital”, Antologi Puisi
“Para Penyintas Makna” dan Antologi Puisi “Jejak Waktu”. Beberapa buku lainnya
dalam proses terbit.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313