Puisi Aan Subhansyah
| YANG TERTUNDA
"Kamu suka puisi yang membius atau yang menggugah?"
Perempuan itu bertanya sambil membentangkan kedua matanya.
Pada pupil yang melebar itu
kulihat ada sebatang jalan di antara rerumpunan padi yang baru tumbuh, menuju dua gunung dengan matahari tersenyum di atasnya.
Keindahan masa kecil yang sangat kolonial.
"Mata memang tidak netral," kata perempuan itu.
“Kita hanya melihat apa yang kita ingin lihat.
Dan keinginan itu entah siapa yang membuat."
Di luar langit memerah.
Ribuan penyair telah mengcopy-paste-nya untuk puisi-puisi senja mereka.
Pemandangan yang demikian terkonstruksi
tanpa pernah dipertanyakan kembali.
"Tentu tidak mudah keluar dari jeratan makna yang sudah kita pintal sendiri."
Lanjut perempuan itu dengan senyum.
Mutiara berderet-deret.
Aku terendam dalam pengaruh iklan pasta gigi jaman dulu.
Bunga-bunga imajinatif berhamburan dari mulutnya.
Aku tidak tahu, sedang tergugah
atau terbius.
Yogya 28/04/22
RENUNGAN SOEKARNO
menyelami renungan Soekarno
di kebiruan laut Ende
aku mencari lima butir mutiara
peripih tumpu candi pertiwi
pemandu laku para pengabdi
sudah ratusan tahun
kapal-kapal negeri yang jauh
datang menanam jangkar
mengisap darah kami
menguras hasil bumi
tanah ini rekah
ngenas seperti tenggorokan jelata
tak ada kosa kata untuk menongkah
lidah tak bersambung otak
tangan tak berlanjut tindak
renungan Soekarno masih menggenang
lima butir mutiara redup di kejauhan
kolonialisme bersilih rupa
seiring rempah berganti sawit
pertiwi tergerus serupa pantai abrasi
di bawah sukun bercabang lima
aku menaut arwah sejarah
daun kering jatuh berganti pucuk baru
perjuangan kalian lebih sulit, kata beliau,
karena melawan bangsamu sendiri
ARCA TANPA KEPALA
Memandang arca tanpa kepala
Meresapi episode zaman yang terpenggal :
Selembar wilayah antara
Di benaman abad-abad yang bersila
dalam hening
Masih terasa tangan pemahat
Menafsir sembah para peziarah
Membentuk raga
Meniup nyawa
Dalam daur hidup yang ritmis
Waktu berkelebat seperti pedang
Memutus silsilah peradaban
Jiwa-jiwa arca luruh
Lepas dari tubuh lungkrah
Lebur dengan semesta
Arca tanpa kepala bertahan
Dengan badan penuh catatan
dari abu gunung api dan proses oksidasi
Yang tak dimengerti oleh siapapun lagi
Kenangan rontok di kaki-kaki pemujaan
Seorang gadis berselfi di balik arca itu
Seolah memberinya kepala baru
berkerudeng, berkacamata hitam, berbibir munjung
Mukanya glowing
ANGKRINGAN JOKPIN
nasi kucing adalah
nasib yang dikareti
supaya tidak ambyar
sate usus adalah
lelah hewani yang didaur
menjadi sedikit manusiawi
wedhang jahe adalah
kehangatan yang tersisa
dalam obrolan yang makin anyep
angkringan adalah kemuraman
yang didekorasi
agar bisa dinikmati
seperti yogyakarta.
Yogya 13/03/22
KLITIH
telah kami peram
segenap ingatan tentang kota ini
rindu yang menjadi dendam
berbuih di permukaan gelas
berputar dalam lingkaran pertanyaan
kebudayaanmu yang tinggi
bukan lagi milik kami
semua sudah dikemas apik
dalam paket-paket berbandrol mahal
demi mereka yang mampu memborong
tak ada yang tersisa
selain malam-malam dan aspal jalan
yang sama hitam-legamnya
menggulir roda-roda nasib kami
dari satu masalah ke masalah lainnya
kami adalah kejauhan
sisi gelap di balik pentas dan karnaval
menukar jiwa muda dengan senjata
menggerus citra kota luhurmu
seperti osteoporosis menggeropos tulang
Yogya 08/04/22
YANG TERTUNDA
"Kamu suka puisi yang membius atau yang menggugah?"
Perempuan itu bertanya sambil membentangkan kedua matanya.
Pada pupil yang melebar itu
kulihat ada sebatang jalan di antara rerumpunan padi yang baru tumbuh, menuju dua gunung dengan matahari tersenyum di atasnya.
Keindahan masa kecil yang sangat kolonial.
"Mata memang tidak netral," kata perempuan itu."Kita hanya melihat apa yang kita ingin lihat.
Dan keinginan itu entah siapa yang membuat."
Di luar langit memerah.
Ribuan penyair telah mengcopy-paste-nya untuk puisi-puisi senja mereka.
Pemandangan yang demikian terkonstruksi
tanpa pernah dipertanyakan kembali.
"Tentu tidak mudah keluar dari jeratan makna yang sudah kita pintal sendiri."
Lanjut perempuan itu dengan senyum.
Mutiara berderet-deret.
Aku terendam dalam pengaruh iklan pasta gigi jaman dulu.
Bunga-bunga imajinatif berhamburan dari mulutnya.
Aku tidak tahu, sedang tergugah
atau terbius.
Yogya 28/04/22
BAHASA BUNUH DIRI
Seorang perempuan baru saja melakukan bunuh diri.
Dalam proses kematiannya dia mencoba mengingat-ingat
apa alasan dia mencabut nyawanya sendiri.
Apakah karena aku putus cinta?
Ah bukan.
Apa karena aku dililit kemiskinan?
Masak sih?
Banyak orang putus cinta
tapi mereka tidak bunuh diri.
Banyak orang yang miskin
tapi mereka juga tidak bunuh diri.
Jadi, mengapa aku melakukan itu?
Pasti karena ada yang hilang dari diriku.
Aku bahkan tidak dapat mengatakannya.
Ah inilah soalnya :
Aku telah kehilangan kata-kata.
Bahasa adalah fitrah hidup mahluk sosial.
Ketiadaan bahasa adalah kehilangan kehidupan.
Kata-kataku tidak dimengerti.
Omonganku tidak dipercaya.
Aku dianggap tidak berguna dalam
perbincangan.
Bunuh diri adalah alat komunikasiku.
Sebuah artikulasi yang keras.
Sebab banyak orang yang hanya mengerti bahasa kekerasan.
Aku sudah melafalkan itu
dengan diriku sendiri sebagai korbannya.
Kematian ini bahasa terakhirku.
Mungkin orang bisa memahami sesuatu
setelah kehilangan sesuatu.
Yogya/25/03 /2022
Tentang Penulis
Aan Subhansyah. adalah peneliti etnografi dan praktisi pemberdayaan komunitas. Lahir di Bangka, tamatan Jurusan Antropologi UGM. Saat ini berdomisili di Sleman bersama istri dan dua anak laki-lakinya. E mail : subhansyah@mail.ugm.ac.id
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024