Puisi Ahmad Rizki | Enigma masa depan
Masa lalu adalah sepasang mata
wanita yang berkaca-kaca dan
indah bentuknya.
Masa lalu adalah kecantikanNya yang hangus diterpa usia.
Masa kini adalah hati wanita yang sengsara.
Dari tubuh wanita yang molek
dan kulit setengah putih ini,
aku pergi pada kehampaan masa
depan.
O, keinginan wanita yang penuh tanya.
Air matanya mengelabui pria.
Senyuman dan bibirnya lelehan
kesenangan.
Seperti cinta dan kesetiaannya
yang tak diukur oleh matematika
dan logika manusia.
Keinginan yang penuh tanya
membuka cakrawala dunia.
Jutaan tanda-tanda tak jua
kita pahami dengan baik dan
semestinya.
Lalu, apakah Tuhan
sengaja menciptakan Hawa untuk
menuntun Adam ke masa depan?
Masa lalu adalah sepasang mata
wanita yang berkaca-kaca dan
indah bentuknya.
Masa lalu adalah kecantikanNya yang hangus diterpa usia.
Ciputat, 2019
Kematian puisi
Seorang penyair mondar-mandir
memperkenalkan puisi ke teman,
sahabat, keluarga, penerbit,
pacar, tapi tak ada yang menerimanya.
Begitulah ia lakukan dalam
waktu sebulan penuh.
Di penghujung bulan itu,
ia lakukan hal yang serupa
dengan lesu, payah, sia-sia,
putus asa, sengsara, dan sedikit
tetesan air mata, tapi hasilnya
tetap sama--tak ada yang mau
membaca, melirik pun tidak--puisinya.
Dengan hati-hati di ujung hari--
akhir bulan--hampir senja itu,
ia sempoyongan membawa puisinya
pulang ke rumah.
Si penyair berkata: Sudahkah kau
mati, wahai puisi?
Napasnya kecewa dan remang-
remang di matanya kembali
mengeluarkan kata-kata:
Ya, lebih baik kau mati,
kau pergi dari duniaku,
karena tak mungkin lagi
orang-orang membutuhkanMu
lagi--mustahil.
Seorang penyair datang ke pemakaman
puisiNya untuk memanjatkan doa, dan
ia berkata:
Selamat untuk kematian
yang tak dirindukan--bahkan
air mata pun tak ada--orang-orang,
wahai puisi.
Ciputat, 2022
Paradoks kebesaran puisi masa kini
Tubuhmu yang estetika, puisi,
tak lagi memperoleh
kebesaran. Bahkan
Sedikit jua tak mempengaruhi
hati kekasihku.
Kau tak lebih besar dari syahwat
manusia yang bertahan
hanya sebentar saja.
Kau tak besarkan.
Kau tak diagungkan.
Karena waktu dan keadaan
sudah mengalahkanMu.
Dan kenyataanMu
adalah terasing. Dan
kau tak lagi besar, puisi.
Seketika aku lihatMu
yang sekarang
tak lebih miris dari
belenggu kemiskinan.
Atau sekadar cita-cita
perdamaian
manusia yang mustahil
adanya. Atau seperti
dunia yang bongkok
dan tak diperhitungkan
keberadaannya.
Ya, Kau seperti kerajaan purba
yang (miris) mengais
kebesaran, tapi
orang-orang tak ada yang
melihatmu sedikit jua.
Ciputat, 2022
Pertanyaan sebelum berlayar
Jasadku, o, jasadku.
Ke manakah kau akan
membawaku?
Sepanjang malam kau
ceritakan ombak dan ikan-ikan
yang berkeliaran di lautan ini,
tapi bagaimana dengan ombak,
angin, perahu bocor, gunung es,
terik di tengah lautan, perompak,
burung pemakan bangkai, dan
makanan jiwa yang nikmat itu?
Jasadku, o, jasadku.
Apakah lautan itu persis sorga?
dan dapat kumiliki sepenuhnya
air dan seluruh isinya?
Aku ingin setiap malam berlabuh
di dermaga, dan siang berlayar
ke penjuru dunia.
Dan seperti pengembara sejati,
aku ingin abadi di lautan itu.
Aku tak ingin menahan dan
menanggung rindu daratan.
Dan, dalam pelayaran sejati itu
apakah dapat kupastikan kebahagiaan
di tengah lautan?
Ciputat, 2021
Aku mencintai diriku sendiri.
Aku cinta pada diriku sendiri.
Pada diriku yang kauciptakan
ketika malaikat meragukan kehendakMu.
Pada diriku yang kauciptakan
ketika Iblis menolak kehadiranKu.
Pada diriku yang kaubuang dari sorga
ketika godain iblis menyesatkan diriku.
Masya Allah.
Aku mencintai diriku sendiri.
Sungguh mustahil aku mencintai selain diriku.
Karena semua yang di luar diriku hanya kujadikan jalan mencintai diriku sendiri.
Masya Allah.
Tidak ada hidup dan mati yang kutuju untuk mencintai diriku.
Tidak ada sujud untuk mencintai diriku.
Tidak ada ruku' untuk mencintai diriku.
Tidak ada cahaya untuk menerangi cintaku pada diriku sendiri.
Tidak kekuasan untuk berkuasa atas cintaku pada diriku sendiri.
Masya Allah.
Alam semesta berjalan seperti biasanya.
Namun aku selalu cinta pada diriku sendiri.
Pada kebahagiaan
ketika kutolak kesedihan hidupku.
Pada kenikmatan
ketika kutolak kesengsaraan hidupku.
Pada kedamaian
ketika kutolak peperangan hidupku.
Pada kesejahteraan
ketika kutolak semua ancaman hidupku.
Pada kejujuran
ketika kutolak kebohongan
Pada ketaatan
ketika kutolak kemunafikan.
Buset!
Sudah kukatakan dan
tekankan berjuta kali:
Aku mencintai diriku sendiri.
Aku mencintai hidup yang mewah nan megah.
Aku mencintai hidup yang sehat
dan menolak sakit.
Aku mencintai hidup yang sempurna.
Aku mencintai hidup yang selalu berada di jalan kenikmatan.
Masya Allah.
Aku tak mencintai siapa-siapa.
Aku hanya mencintai diriku sendiri.
Mana mungkin aku akan peduli
pada masa depan, pada masyarakat, pada lingkungan,
pada segala putaran hidup di dunia.
Karena waktu hidupku hanya kuhabiskan
untuk mencintai diriku sendiri.
Astagfirullah.
Aku cinta pada diriku sendiri.
Mana mungkin aku cinta pada selain diriku.
Tak peduli bulan meleleh atau neraka masa depan yang menakutkan.
Karena sudah kupastikan cintaku pada diriku utuh dan sempurna.
Ciputat, 2020
Aku sudah berkuasa di dunia
Demi puisi yang terlanjur
berkeliaran di muka bumi.
Apakah sudah kau sadari
bahwa akulah yang berkuasa
di sini?
Akulah Khalifah yang
membuat kerusakan dan
pertumpahan darah di dunia ini.
Ketika makhluk-makhluk selain
bangsaku,
selain saudara dan keluargaku,
selain sejenis denganku
akan kuhabiskan dan musnahkan
dengan kedigdayaan
dan nafsuku.
Akan kurampok kehidupan satwa
dan fauna untuk kemakmuran
kerajaanku.
Akan kuambil dan habiskan
hasil laut, minyak yang bersembunyi
di bawah tanah, dan segala
hal yang menyelamatkan kerajaanku.
O, akulah yang berkuasa
di dunia.
Tak ada yang berhak
memerintahkan putaran
dunia, putaran arah angin,
putaran ekonomi, putaran
kesehatan, putaran
kemakmuran, putaran
kelayakan hidup yang baik,
benar dan semestinya.
Demi puisi yang terlanjur
berkeliaran di muka bumi.
Akulah yang berkuasa
di bumi ini.
Siapapun yang melawan
dan membangkang pasti kukutuk.
Atau bahkan Dewa, Gusti, dan
Tuhan yang dibicarakan makhluk-
makhluk di sini itu harus tunduk
dengan perintahku!
Karena aku sudah berkuasa
di dunia ini.
Dan tak ada yang bisa mengalahkan
kekuasaanku.
Demi puisi yang terlanjur
berkeliaran di muka bumi.
Akulah raja atas segala raja
di bumi ini.
Dan semuanya harus tunduk-
patuh atas perintahku.
Ciputat, 2020
Ahmad Rizki, menggelandang di Ciputat, Tangerang Selatan. Beberapa puisi omong kosongnya termaktub di media daring. Buku puisi yang terlanjur terbit, Sisa-Sisa Kesemrawutan (2021). Informasi tambahan dapat ditemukan di Instagram @ah_rzkii email ahrizki048@gmail.com
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313