Pedagang Politik;
Antara Mempromosikan Produk dan Mengejar Keuntungan
Oleh: Moses Ria Turus
(Guru SMPK Firgo Videlis Maumere)
Seekor tikus berdiri di depan lubang persembunyiannya. Matanya mengintai sana-sini. Ia ingin keluar dari lubang untuk mencari mangsa, tapi cemas jangan-jangan malah dirinya sendiri yang dimangsa ular. Mana bedanya mata tikus yang berdiri di depan pintu lubang dengan mata (poli) tikus yang berdiri di atas panggung kampanye? ” Ini adalah kutipan yang diambil dari bukunya Francis Fukuyama, The End Of History and The last Man.
Pertanyaan yang diajukan oleh Fukuyama dalam kutipan di atas sulit untuk dijawab. Kita tidak bisa menjawab jikalau tidak mengerti dengan baik. Antara seekor tikus dan seorang politikus, tentu berbeda. Yang pasti adalah kita mesti membuat sebuah perbandingan antara ‘cara menatap’ seekor tikus di depan lubang persembunyiannya dan ‘cara menatap’ seorang politikus di atas panggung kampanye. Di sini, indera penglihatan menjadi penting.
Tikus yang berdiri di depan pintu lubang dengan mata mengintai menampilkan diri penuh kekhawatiran sekaligus penuh antisipasi. Ada juga rasa takut yang terselubung di balik kekhawatirannya itu. Ketakutan bermula saat tikus itu mengira jangan-jangan ia menjadi santapan yang lezat untuk ular. Untuk itu, mata tikus selalu mengamat-amat dan mengintai untuk mewaspadai bahaya yang datang. Sesekali ia mengumpat di lubang sarangnya. Lalu, bagaimana dengan politikus? Politikus yang berdiri di atas panggung kampanye menampilkan sosok sebagai pedagang politik. Matanya menatap penuh harap menantikan ‘barang jualannya’ laku di pasar politik. Untuk itu, ia tidak henti-hentinya menyuarakan visi dan misinya sebagai produk yang dapat menarik hati rakyat. Panggung kampanye seakan menjelma menjadi pasar politik yang ramai dikunjungi masyarakat. Suasana menjadi hiruk-pikuk dan masyarakat berdesak-desakan. Politik sendiri menjadi bahan pokok yang ditawarkan kepada para penguasa.
Benar apa yang dikatakan oleh George Orwell dalam bukunya yang berjudul Political Life bahwa politik telah menjadi komoditas yang segalanya serba mahal. Saat mendekati pemilihan umum, masyarakat harus sabar menghadapi foto-foto dengan nomor urut yang akan selalu bermunculan bak iklan komersial di setiap sudut jalan. Janji-janji yang tidak pernah terbukti pasti akan bertebaran lagi di setiap siku perumahan. Nama-nama yang menokohkan diri sebagai politikus tiba-tiba saja bermunculan di koran, majalah, stiker dan televisi. Hal itu membuat kaget para pemilih dengan kehadirannya yang mengaku diri sebagai wakil rakyat dan berjuang atas derita rakyat dengan kiat-kiat gombal untuk rakyat kecil. Belum lagi saat kampanye. Lagak sang politikus tentu semakin menjadi-jadi. Ia mulai mencari cara untuk mendekati hati rakyat. Kampanye menjadi kesempatan bagi politikus untuk bersosialisasi dan mempromosikan dirinya kepada masyarakat pemilih. Sementara itu, bagi masyarakat umum, terlibat kampanye menjadi bentuk pengejawantahan partisipasi politik. Masyarakat berpartisipasi aktif menyeleksi pemimpin dengan terlebih dahulu mengenal lebih dekat politikus itu.
Di tengah keramaian pasar politik, indera penglihatan politikus semakin aktif dan reaktif. Aktif supaya ia dapat memandang masyarakat dengan jeli dan reaktif supaya ia dapat memikat hati masyarakat. Dengan indera penglihatannya, politikus mulai mencari perhatian masyarakat. Apa yang akan segera ia lakukan? Di pasar politik, politikus mulai menawarkan produk-produknya. Untuk itu, politikus tentu ‘jago’ beriklan. Kampanye yang menjelma menjadi pasar politik dijadikannya sebagai wahana menyampaikan iklan. Latar belakangnya adalah agar produk dikenal luas dan laku di pasaran dan kemudian menang. Terealisasinya kemenangan itu ditentukan pula oleh kemasan cara memperkenalkan ‘jagoan’. Ketika dirasuki oleh ambisi kemenangan, hukum pasar pun berlaku. Hal-hal yang ditonjolkan adalah kelebihan-kelebihan dari produk. Kekurangan-kekurangan tidak pernah diumbar langsung ke masyarakat dan media-media massa. Buruknya kelebihan-kelebihan itu ternyata dipalsukan.
Memang dalam hukum periklanan, pemalsuan bukanlah sesuatu yang haram. Misalnya saja dalam iklan handbody. Untuk menarik minat konsumen, orang dengan tahu dan sadar menampilkan kulit yang putih, mulus, cerah dan tampak berkilau. Hal ini dibuat demi menunjukkan kemujaraban hand body. Masyarakat biasa yang jauh dari ingar-bingar media sosial atau televisi jelas tidak tahu akan kepalsuan itu dan malah ikut-ikutan mencintai produk handbody itu. Bahkan, sebagian masyarakat terdidik pun terlanjur percaya pada kemujaraban yang tampil sesaat dalam iklan. Ada penipuan yang kerap menyertai pengenalan produk kepada konsumen, termasuk pengenalan produk dalam pasar politik.
Inilah aksi pedagang politik! Di atas panggung kampanye, dia ‘jago’ beriklan, tetapi pintar juga menipu. Iklan-iklan yang menarik menjadi senjata ampuh untuk menarik hati rakyat. Ternyata indera bisa menipu. Karena itu, berhati-hatilah dengan indera. Mata bisa membawa malapetaka dan mulut bisa berkata dusta. Di balik tatapan mata yang penuh harap dan wajah yang memelas terdapat sejuta keraguan. Inilah politikus! Saat beraksi di panggung kampanye, mata dan wajahnya menampilkan lagak penipuan. Hal itu bisa terbukti lewat janji-janji manis sang politikus. Sering janji-janji itu tidak ditepati. Memang terkadang mulut berbicara lain, hati pun berbicara lain. Antara kata dan tindakan selalu tidak sejalan.
Fenomena relasi atau solidaritas sementara kerap kali terjadi saat menjelang kampanye. Saat kampanye, politikus bersolider dan menawarkan diri kepada masyarakat untuk mencari pemimpin. Pascakemenangan, rasa solider dengan masyarakat biasanya tidak menguat lagi. Berkaca pada kondisi lokal, solidaritas yang hidup berkobar-kobar dalam masa kampanye berubah menjadi hidup egois, yang berkonsentrasi pada kesejahteraan pribadi dan kroni-kroni. Saat menjadi calon pemimpin, masyarakat sering dikunjungi. Setelah sukses menjadi pemimpin, kebiasaannya adalah berpelisir keluar daerah. Saat bertakhta di kursi pemerintahan, uang dan materi yang ditawarkan para mafioso menjadi tembok yang memisahkan kedekatan dengan rakyat. Inilah wajah dan aksi politikus busuk. Ia bertarung merebut hati rakyat agar menjatuhkan pilihannya pada calon terkait dan untuk menawan hati rakyat, politikus mendadak menjadi sosialis dan dermawan untuk mengelabui mata masyarakat. Sifat politikus demikian bukanlah pembawaan asli melainkan pencitraan.
Melihat kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam pasar politik, kita mungkin bertanya apa arti sebenarnya dari politik pada masa kini? Dalam buku Demokrasi Kita, Mohammad Hatta mengatakan bahwa, politik dalam artian yang sebenarnya ialah perbuatan yang menimbulkan hal-hal kenegaraan, untuk mencapai kesejahteraan negara dan masyarakat menurut dasar yang diyakini. Definisi ini hanya sekedar definisi. Politik pada generasi sekarang berubah menjadi pasar tempat bertemunya pembeli dan penjual yang sedang mencari keuntungan atau utopia filsuf Yunani kuno seperti Plato dan Aristoteles yang terlalu berlebihan menamakan politik sebagai en dam onia atau the good life .
The good life rupanya masih menjadi roh dari usaha para politikus yang makin hari hanya sibuk menghitung untung dan rugi. Seperti halnya pedagang-pedagang yang selalu mengejar keuntungan, masyarakat dihitung dengan perhitungan rupiah tidak lagi dilihat sebagai manusia. Politikus dan pedagang sama-sama memakai promosi dan penawaran melalui iklan maupun rumah ke rumah untuk menjual produk mereka. Seperti apa yang dikatakan oleh George Orwell, “Para politikus membaktikan diri pergi dari pintu ke pintu bukan untuk mengumpulkan alternatif bagi negeri ini, tetapi mengumpulkan satu suara lagi yang bisa dijual demi uang dari kekuasaan di atas sana”.
Dengan modal membeli suara per orang, politikus akan mendapat keuntungan lebih banyak dengan menjual negara untuk memenuhi isi saku mereka. Teori klasik Adam Smith, “Dengan modal sekecil-kecil untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya“, sepertinya sangat ahli dipraktikan oleh para politikus dan partai-partainya dan mereka yang ingin bercita-cita untuk “berkarir” dengan menjadi “pedagang” dalam dunia politik. Pedagang-pedagang politik akan bertaruh dan berkompetisi untuk meraih pasar dalam menjual produk mereka dalam bazar bernama pemilu. Selain itu, dampak lain dari fenomena semacam ini adalah politikus dan partainya akan terjebak pada cara berfikir jangka pendek. Mata politikus akan berorientasi pada uang untuk memenuhi kebutuhan anggota partai dan terjadi banalisasi praktik politik yang mengembar-gemborkan pencitraan, lalu mengabaikan kesejahteraan bersama karena kebutuhan politikus yang mahal untuk berkampanye dan membeli suara. Negeri kita sedang sakit dan dihantui permasalahan semacam ini. Semua dinilai dengan rupiah membuat demokrasi, kesejahterahan dan keadilan semakin mahal.
Di atas panggung kampanye, jiwa politik sudah penuh dengan kelicikan, kebohongan, penyesatan, penyimpangan dan kebanyakan dari kita menganggap bahwa inilah sarana yang biasa dipakai politikus untuk tujuan-tujuan politik. Lalu, masihkah kita berharap pada politik, dan seoptimis Peter Merkl yang menyatakan politics, at its best is noble quest for a good order and justice? Belajar dari Peter Merkl, gebrakan untuk membarui jiwa perpolitikan dapat dilakukan. Adanya pedagang politik merupakan kesesatan berfikir dan kejahatan yang sangat luar biasa, apalagi bagi mereka yang menganggap politik sebagai karir dan perkerjaan untuk mencari nafkah. Hal tersebutlah yang sebenarnya merusak ide dari politik itu sendiri. Pemahaman politik sebagai pekerja dan karir akan membuat perilaku agen atau aktor politik cenderung memikirkan diri sendiri. Sesungguhnya, politikus yang sejati adalah melayani rakyat sepenuh hati dan tidak memisahkan diri dari rakyat, meneruskan kepentingan rakyat dan bukan kepentingan diri sendiri atau kelompok dan memperlihatkan tanggung jawabnya terhadap rakyat seiring perjuangan mencapai suatu tatanan sosial yang adil dan makmur.*
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313