Pergeseran nilai karena tergerus oleh zaman, ditolak atau diterima menjadi hal yang subtansial di era 5.0 ini. Bahkan dalam pakeliran pewayangan kini nyaris tak ada lagi wursita wara sabtama.
Cerita yang digagas oleh Kanjeng Sunan Kalijaga syarat dengan makna, untuk memberi wejangan kepada masyarakat tentang akhlaq yang mulia serta ilmu tauhid. Sehingga bertauhid yang asalnya buram tanpa ada getar rasa menulusup angslup masuk menjadi nasihat.
Banyak faktor yang yang membuat semua ini berubah, semula tuntunan sekaligus tontonan, kini hanya menjadi tontonan belaka. Jika yang dilakukan pencetus/sang narator dengan laku tirakat riyadloh, tentu sesuai dengan aturan syariat karena beliau adalah wali tokoh agama.
Apakah juga yang dilakukan oleh dalang/pelaku seni sekarang juga sama? Hal ini pasti juga akan mempengaruhi wening sang dalang dan juga penikmat wayang minimal ada energi positif yang berkaitpaut. Analoginya sederhana jika kita berdekatan dengan minyak wangi pasti kita akan mencium aroma wangi.
Jika wicara lahir dari mulut dan hati yang jernih ditata lalu dengan ikhlas tentu akan memunculkan cahaya terang, karena sadar bahwa ia berbicara semata-mata melakukan perintah Sang Maha Cahaya, maka juga akan diterima dengan wening denting oleh pendengarnya.
" Jika Tuhan menghendaki hamba menjadi penyampai ilmu maka yang mendengarkan juga akan dimudahkan memahami" (Al-hikam).
Artinya bahwa mau tidak mau seorang dalang juga harus memulai dari dirinya sendiri mendekatkan diri pada Sang Maha, setidaknya meniru apa juga yang dilakukan sang narator Kanjeng Sunan Kalijaga. Tentu bukan kesalahan meniru laku para alim dan wali yang jelas wali. Tapi jelas bila keliru adalah penyelewengan dari prilaku dalang itu sendiri.
Berkurangnya manfaat dimulai dari tujuan pelaku seni/sang dalang. Mungkin sebab hanya untuk mencari popularitas atau sekadar komersial saja, maka terpaksa pelaku seni/dalang harus mengikuti pasar. Dengan kata lain mereka mengikuti kehendak yang memberi uang, walau terkadang keluar dari pakem pewayangan atau bisa jadi tidak keluar pakem namun digarap serampangan hanya sekadar pantas saja yang penting sikaya uang menjadi terpuaskan.
Betapa sedihnya Sang narator Kanjeng Sunan Kalijaga jika melihat kasunyatan wayang kulit yang digagas berubah menjadi tontonan belaka tanpa menitik beratkan kearah tuntunan.
Walhasil seharusnya kita tidak begitu jauh melenceng dari tujuan dan terus belajar pelan-pelan membuka kulit lalu memakan isi dan menikmati rasa "Ngono ya ngono ning mbok aja malah nyotoloyo mundak kebacut bodo"
Dari tulisan ini semoga menggugah yang sedang lupa, agar ingat makna tujuan semula atau bila yang masih ingat makin kuat lalu menebar manfaat untuk sesama.
Berikut saya sertakan puisi : Robiatul Wahidah seorang guru, yang peduli belajar wayang dengan menilisik makna hakikat yang dia pahami, yang menginspirasi saya untuk menulis ini :
PANDAWA KURAWA ADA DI DADAKU
(Robbiatul wahidah)
Wayang adalah diriku
Seluruh tokoh adalah sifat-sifatku
Pandawa mewakili wajah cahaya
Kurawa adalah simbol jelaga
Baratayudha adalah badar dalam tubuhku
Pertempuran besar untuk mengalahkan aku
Kenali kawan juga musuh penipu
Dalam puisi ini menunjukan sebuah penyadaran, bahwa dalam diri ini tetap ada dua watak jahat dan baik. napsu dan nurani, maka yang perlu kita lakukan adalah mendidik napsu masing-masing hingga naik pada level mutmainah dan seterusnya.
# Salam budaya
Gambuh R. Basedo adalah penyair yang saat ini tinggal dan menetap di Rembang, Jawa Tengah. Ketua Komunitas Istana Puisi dan anggota Jagat Sastra Milenia, Pengasuh Rehabilitasi Diri, dan Sanggar Gambuh. Antologi tunggalnya adalah “Suluk Cinta Kawah Candradimuka” terbit di tahun 2020 (Samudra Printing), Angon Angin (Samudra Printing, 2021), Kembul Bujana Cinta Kamajaya Kamaratih (Sajak-sajak kontemplasi Gambuh R Basedo & Rissa Churria, 2021).
Karya karyanya telah diterbitkan lebih dari 25 antologi bersama, antara lain yaitu : menjadi salah satu "Penyair Jingga” (2012) “Kado Pernikahan”, (2010), “Dandani Luka Luka Tanah Air” (Antologi puisi Numera Malaysia - 2020), “C Antagonis” (Fakultas Penulis Kreatif dan Filem – Malaysia :2020), “Tribute Sapardi” (2020), “Antologi Para Pendaki” (2020), Pelangi Cinta (2020), Antologi Mengenang Najmi Adhani (2020), Romantika Cinta Dalam Aksara (2020), Bias Warna Hati ( Sastra Nusa Widhita - 2021), Gembok – (Lumbung Puisi Indonesia2021), Suara Dari Lembah Kata Kata (2021), Surat Untuk Ibu (2021), Anakku Buah Hatiku (2021), Jendela Cinta Literasi Anak Negeri (2021), Mengeja Susuhing Angin (2021), Khatulistiwa (Negeri Poci 2021), dan lain lain. Juga menulis di harian lokal BMRFox Kotamobagu, Semesta Seni (Tabloid bulanan Seni Satra –Jakarta). Gambuh juga memberi pengantar dibeberapa buku antologi tunggal dan antologi Bersama, antara lain : Prolog Srikandi (Istana Puisi, 2021), Mengeja Susuhing Angin (Istana Puisi, 2021), Risalah Nagari Natasangin (Kumpulan puisi Rissa Churria, 2021), dan lain-lain.
Gambuh pernah diutus sebagai duta tari Festifal Tari Surabaya, Jawa timur, tahun 2004, Dalang suluk, Penggagas dan pencipta “Wayang Lontar Ganyar” sejak tahun 2003 hingga sekarang. Penggagas “Ketoprak Cilik” (anak anak usia 10 – 13 tahun) sejak tahun 1990 hingga sekarang. Tampil diberbagai acara sastra maupun non sastra membaca puisi dan tetrikal puisi, berkesempatan membaca puisi pada perayaan Hari Puisi Indonesia di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki 2021. Kegiatan sehari hari sebagai Penggiat Seni dan Perawat Kebudayaan Jawa juga pelaku Teater Mistis dan Interculturalisme ala Gambuh. Fb. Gambuh R Basedo, Ig. Gambuh R Basedo, yoetube Gambuh R Basedo.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313