Cerpen: Radio dan Waktu
| Anam Mushthofa
Pagi itu kau begitu cerah, merah, penuh senyum, dan penuh tanda tanya. Serombongan embun limbung, diam dan terus diam menempel di kursi belakang. Kau lewat, kau sudah sudi untuk mandi pagi?. Tapi angin begitu tenang menyapa tubuhnya, menyapa keanehannya.
Ceracau perkutut tahu. Kau sulit bangun menemui pagi. Kata selamat disulap mendengkur. Pagi dan pagi hanyalah sebuah kegagalan, kau menulisnya pada lembar ke-40. Selama itu pula kau berturut-turut enggan menemui pagi. Kau begitu akrab dengan tidur. Tapi apakah selama ini kau benar-benar tidur? Atau pura-pura ingin lenyap dari dunia.
Kamar yang kusam dengan horden yang selalu tertutup, pengap begitu berdesakan dalam ruangan. Kertas-kertas rusak dan abu rokok tak mengenal tempat. Kau begitu akrab dengan siang yang melamun hingga malam pekat. Aku melihat kau menulis, merokok, menatap kosong garis-garis jendela.
Yang sedang aku pikirkan adalah bagaimana kau makan. Apakah selain pagi, makan juga kau benci. Ah, kau membuat siaran radio ku rusak. Ingin pulang dan menghilangkan garis-garis keheningan wajah itu. Lalu tidur dan bangun menciptakan waktu tanpa keanehan-keanehan yang kau lakukan.
Aku ingin mengenalnya sepersekian detik saja. Ah, fikiran apa ini. Aku ingin cepat-cepat pulang dan berhenti mengata-ngatai nya dalam diam. Ia mempunyai waktu yang begitu rumit dan penuh teka-teki. Aku tak kuat berdiri didepannya, melihat wajahnya, merasakan kesunyiannya. Tapi ibu kos telah memperkenalkan mu padaku, Ganfi.
Saat itu, dibalik malam yang pekat. Angin bekas hujan masih tersisa. Di kamar kau terdengar sayup-sayup suara menangis. Aku takut tapi ingin tahu. Berjalan terseret bingung keluar kamar. Ketuk, buka, atau langsung masuk saja. Ah, sial dunia begitu membingungkan. Lima belas menit mondar-mandir didepan pintu. Kau keluar, aku canggung. Wajahnya begitu dingin, aku tak kuat melihatnya, menunduk dan kau berjalan ke dapur.
"Sedang apa teh? Kenapa didepan pintu kamar saya terus?" Ah sialan, lagi dan lagi aku dikagetkan.
"Oh...aku minta maaf. Tapi bolehkah saya berbicara sebentar. Saya harap kaulah orang pertama yang akan diminta tolong bila aku membutuhkan. Kau mengerti maksud ku"
"Iya. Esok saja"
"Kau tak pernah bangun pagi. Tadi aku mendengar suara tangis dalam kamar mu. Kau kenapa?"
"Disini kau tak hendak membuka laci kesedihan ku bukan?"
Aku diam. Dan kau masuk kamar.
Dibalik kamar yang hening, bershaf-shaf buku memenuhi atas lemari. Angin malam masih terdengar ramah, melihat langit-langit kamar. Sejenak aku berfikir. Hatiku seperti ruangan tertutup rapat tanpa sela-sela. Aku merasa meninggalkan bayangan lelaki dengan kesedihannya. Sementara kenapa kau sedih? Tak mau bangun pagi? Padahal hidup terasa masih memanjang.
"Mengapa kau ingin berbincang dengan ku?" Katanya
"Aku merasa layak mendapatkan kesedihan mu. Kau seperti teka-teki yang hidup. Aku ingin menjawabnya"
Lantas ia menarik lengan ku memasuki kamar. Membuka horden, dan menyalakan rokok.
"Apa yang kamu fikirkan?"
"Tiada"
"Kenapa kau sedih?
"Aku ingin pulang dan selalu pulang. Tapi aku gagal"
Diluar jendela gelap masih jatuh, terlihat lampu jalan yang menyetia kepada aspal dan pepohonan disekitarnya. Aku tak memperkirakan waktu apakah itu. Kau begitu tenang dengan asap rokok yang menggulung-gulung ke udara. Aku takut kau meninggalkan obrolan ku. Takut kau pergi.
"Di dunia ini, apa hal yang membuat mu gagal?"
"Bertemu dengan orang asing tapi malah membuatnya semakin asing"
Ia terkekeh.
"Aku serius. Aku sudah gagal untuk banyak orang dan hanya kau lah yang menanyakan kegagalan ku"
"Aku tidak tahu pasti kegagalan itu mewujud seperti apa. Waktu membuat kau dan aku bertemu"
"Aku ingin istirahat"
"Apakah tidur tidak membuat mu istirahat?"
"Aku ingin lepas dari segala yang membuat ku lelah. Entah pekerjaan atau pikiran"
"Dengan itu kau tidak merasa gagal?"
"Entahlah. Manusia dengan segala sesuatu yang ia bangun, kerjakan, ciptakan. Mustinya layak untuk bahagia walaupun itu membuatnya sering merasa gagal"
"Bila kau terus merasa gagal. Apa hal yang kamu harap dari dunia?"
"Menjawab pertanyaan-pertanyaan mu"
"Aku serius"
"Bukankah hidup adalah sebuah tanda tanya. Dan kita harus menjawabnya."
Kau beranjak keluar, menarik handle pintu. Mataku menyapu seisi kamar mu, melihat buku-buku mu, melihat tulisan-tulisanmu, melihat kegagalan mu. Kau begitu sendiri dan sepi mengarsir hidup
"Waktu sudah fajar. Sebaiknya kau kembali ke kamar"
"Aku ingin menemani mu"
"Banyak hal yang harus kau kerjakan dari pada menemani seorang pengangguran"
"Tapi kau menulis"
"Aku menulis tapi aku tidak mempunyai uang"
Aku terkekeh
"Aku ingin mandi pagi ini. Dan aku ingin pergi" kau berbisik pelan. Lebih pelan dari pada langkahnya embun. Lebih hangat dari pada cahaya fajar. Tapi. Tapi mengapa kau pergi.
Kring..... Kring...Kring
Kring.... Kring.... Kring
Sialan, alarm begitu kesal membangunkanku. Aku bergegas keluar kamar untuk mandi dan kau tidak ada. Kau benar-benar tidak ada didalam kamar atau pun sedang tidur. Hanya ibu kos yang sedang membereskan seprei. Dan kau kemana. Aku tertegun didepan kamarmu, menarik-narik waktu. Apa yang telah terjadi dalam tidur ku.
"Ehh, nak Ratih. Kenapa?"
"Ganfi pergi Bu?"
"Iyah. Setelah waktu subuh"
"Kemana?"
"Ibu tidak tahu"
Air mata mengucur deras seperti air terjun didalam hutan. Aku menangis. Mencoba memahami waktu yang aneh. Memahami keadaanmu yang ada menjadi tiada. Dan kau kemana? Tak kuat aku menahan laju tangis.
"Kenapa sedih nak?"
"Aku merasa pagi yang gagal Bu".
: Anam Mushthofa
Kelahiran: Brebes
No hp: 085759754419
Keterangan lain: Pekerjaan Lepas. Tulisan-tulisanya pernah terbit di berbagai media.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313