JATUH HATI (9)
Oleh: Dyah Kurniawati
Kepala semakin berat kala bapak terus membahas Pratiwi. Kembali mengungkit masa kecil kami yang begitu akrab. Bapak sangat berharap aku menikahi Pratiwi. Sementara bayangan Sekar terus berkelebat memenuhi ruang rasaku. Pijatan ibu sudah tak terasa lagi kalah dengan segala rasa yang menggerogoti asaku.
“Lah kamu masuk angin paling, tubuhmu dingin amat. Ayo ke kamar saja ibu kerokin,” kata ibu menyelamatkan dari dongeng bapak yang semakin menambah perih di dada.
Aku dibantu ibu berdiri dan dipapah ke kamar bak balita umur setahun. Ketika berdua dengan ibu jiwaku berangsur tenang,
“Ibu, bolehkah aku menolak perjodohan kali ini,” ucapku seraya tengkurap menggigit bantal. Ibu menghentikan gesekan uang logam yang diolesi balsem di punggung,
“ Maksudmu gimana, Le?”
Kubalikkan tubuh dan memohon pada wanita cinta pertamaku ini,
“ Sebenarnya kepulangan kali ini dalam rangka meminta restu pada ibu dan bapak.”
Kuambil napas panjang untuk menyusun kekuatan,
“ Calon menantu ibu sudah di depan mata, yakin deh ibu akan suka. Percayalah Bu....”
Aku tatap mata ibu memohon seperti puluhan tahun lalu kala merengek minta mobil mainan. Ibu masih diam dengan wajah lesu seperti memikirkan banyak hal. Kurangkul istri ayahku ini erat, mata terpejam merasakan detak jantung sumber surgaku. Mengalir energi ikatan ibu dan anak sambil melangitkan doa semoga ibu membantu memperjuangkan cintaku.
Dengan menggebu mengalir cerita tentang Sekar. Bak sales barang kredit, kukerahkan ilmu marketing menggambarkan sosok mantu idaman sedemikian rupa. Akhirnya muncul senyum simpul ibu. Kebahagiaan semakin sempurna kala ibu berbisik lembut di telinga kananku,
“Baiklah, saya coba bicarakan dulu dengan bapak.”
“Terima kasih ibuku sayang.”
Kupeluk lebih erat lagi, kuciumi punggung tangan ibu berkali-kali saking bahagianya. Setelah puas mencurahkan segala rasa yang berakhir dengan kelegaan jiwa, ibu beranjak keluar kamar untuk merayu ayah menggolkan hasratku. Angan melayang membersamai kantuk, damai menjemput mimpi. Terngiang kembali gesekan biola Sekar bersenandung Jatuh Hati-nya Fileski yang semakin menajamkan jatuh hatiku pada perempuan itu.
Jatuh Hati
rindu bukan perkara jarak
bukan soal bertemu atau tidak
kamu adalah cahaya
nampak tapi berjuta jarak
dalam gelap aku diam
mengintip kau yang bersinar disana
aku selalu rindu kamu
meski kau tak pernah menganggapku
aku tak sanggup untuk katakan sayang
meski dalam hati ku ingin kau tau
mungkinkah aku sanggup menghadapimu
untuk mengaku aku jatuh hati
*****
Sepulang dari jamaah Subuh di masjid utara jalan, bapak mengajak duduk di teras tempat pavorit kala pagi menjemput mentari. Semburat jingga kemerahan menyembul dari ufuk timur. Aku duduk di kursi samping bapak yang masih terdiam, bersedakep memeluk sajadah biru. Saling diam beberapa menit sebelum akhirnya bapak memecah sunyi,
“Gilar, ibu sudah cerita semuanya tentang wanita pilihanmu.”
Aku menunggu kelanjutan ucapan bapak sambil meredam gejolak dada.
“ Bapak tak enak hati dengan keluarga Pratiwi.”
Sesaat beliau terdiam, pandangannya fokus ke ujung timur menikmati semburat mentari yang mulai menghangat.
Aku memberanikan mengutarakan ganjalan di hati,
“Maaf Pak, kenapa kok nggak tanya saya dulu sebelum melangkah jauh.”
“Karena bapak selalu memikirkan nasibmu, semua kenalan saya mintai tolong mencarikan jodoh untukmu.”
“Waduh, kan Gilar bukan anak kecil lagi, Pak!”
Aku meringis gemas, sementara bapak masih belum bisa diajak bercanda.
“Orang mana wanita pilihanmu?”
“Tetangga sebelah rumah, namanya Sekar. Suaminya meninggal dan belum punya anak.”
Bapak langsung menengok menatapku,
“Jadi janda?”
“Iya Pak, memang kenapa kalau janda? Orangnya baik dan kedua orang tuanya sudah meninggal.”
“ Anak nomer berapa?”
Hah, seperti dugaanku bapak pasti akan menanyakan ini.
“Satu...,” ucapku lirih agak khawatir.
Bapak menatap lagi semakin menegangkan.
“Tidak bisa kalau nomor satu dan tiga, pasti rumah tangganya gak bakalan langgeng.”
“Tapi..,”
“Tidak ada tapi-tapian. Pokoknya bapak tidak setuju. Titik!”
Bapak memotong ucapan dan berlalu ke dalam.
Aku kudu kuat untuk memperjuangkan cintaku. Harus berpikir keras untuk mematahkan pendapat bapak yang sulit dipatahkan. Sabar Gilar.
Setelah meletakkan sajadah di meja kamar, aku keluar berniat jalan-jalan menikmati kesegaran kampung halaman. Kaki kubiarkan sesuka hati melangkah, tak terasa sudah sampai di depan rumah Pak Jalu yang sedang membersihkan kurungan burung perkutut. Beliau sedikit banyak tahu tentang hitungan kejawen tapi masih memakai logika. Kebetulan, aku akan meminta pendapat beliau tentang hitungan pernikahan anak nomor tiga dan satu. Untuk menaklukkan hati bapak.
“Pagi Pak Jalu, wah makin banyak aja piaran perkututnya.”
“Oh Mas Gilar, kapan datang?”
“Kemarin Pak.”
Setelah berbasa-basi sepantasnya, aku segera menceritakan keruwetan hidupku saat ini. Pak Jalu menjawab dengan sangat dewasa,
“ Mitos yang berkembang, kalau melanggar aturan pernikahan jilu kehidupan perkawinannya akan sulit akur dan biasanya diterpa masalah berat. Perbedaan sifat dan watak dari anak nomor 1 dan anak nomor 3 juga menjadi bahan pertimbangan kenapa pernikahan ini sebaiknya dihindari.”
Aku mendengarkan dengan seksama uraian Pak Jalu, sebagai bahan untuk berdialog dengan bapak nanti. Usai menggantung semua sangkar perkutut Pak Jalu mengajak duduk di kursi teras, karena sejak awal kami berdua duduk di lantai sambil membersihkan sangkar. Beliau melanjutkan lagi,
“Karena mitos biasanya berdasarkan ilmu titen (kebiasaan) yang dialami leluhur kita dan belum tentu terjadi pada setiap orang. Jadi kuncinya adalah kematangan emosi dan komunikasi yang baik untuk bisa mempertahankan hubungan cinta sebuah pernikahan. Harus ada kerjasama, saling menguatkan untuk mematahkan mitos tersebut.”
“Tapi masalahnya restu orang tua merupakan hal wajib untuk sebuah pernikahan, Pak Jalu.” jawabku masih tak bersemangat.
“Bismillah. Mas Gilar coba berdialog dari hati ke hati dengan bapak, insyaallah saya siap bantu kapan pun dipanggil.”
Penjelasan Pak Jalu cukup mencerahkan. Akan aku coba berbicara dengan bapak lagi, semoga semesta mendukungku.
Baru saja beranjak mau pamit HP-ku berdering. Di layar terlihat nomer ibu memanggil. Segera kuangkat, terdengar ibu menangis kawatir,
“ Gilaaaaaaar..., bapak terjatuh di kamar mandi, segera pulang hu hu....”
*****
Madiun, 15 Nopember 2022
# teks Jatuh Hati adalah lirik dan lagu karya Fileski.
Dyah Kurniawati. Penerima ANUGERAH SASTRA KAMARDHIKAN DARI NEGERI KERTAS dalam rangka hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-77 ini mulai memperkenalkan NK ke beberapa orang dekatnya. Berusaha merangkul beberapa siswa yang mempunyai minat bakat menulis di sekolah tempatnya mengabdi, berharap dalam waktu dekat karya generasi sastra tersebut turut meramaikan Negeri Kertas. Beberapa tulisannya telah menghiasai media berbahasa Jawa dan Indonesia, serta beberapa buku. Bisa disapa di https://www.facebook.com/dyah.kurniawati.948.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313