GARISAN TAKDIR (1)
Oleh: Awalia Bawani
Jakarta, 1998. Keringat dingin menyelimuti sekujur tubuhnya. Hari ini adalah hari yang dinanti gadis berkepang dua dengan kacamata tebal kesayangannya. Azura Araqueena Racella, namanya begitu indah, begitu pula dengan hatinya. Seorang siswi pindahan yang kini akan memulai lembaran barunya di SMA Brawijaya. Langkah kakinya membawa dirinya masuk ke ruang kelas XI MIPA 1. Suasana di dalam ruangan itu sangatlah gaduh, sudah seperti di pasar malam. Namun, bagai lenyap di telan bumi, suara gaduh itu sirna ketika Azura melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas. Suara gaduh yang sebelumnya ada, berubah menjadi bisikan-bisikan yang menjalar di setiap sudut kelas. Azura berdiri di depan kelas dengan menyaksikan puluhan mata yang menusuk tajam ke arahnya. Detak jantung berdegup tak keruan.
"Anak-anak, tolong perhatiannya. Mulai hari ini, kalian akan mendapat teman baru,” ujar Bu Arina.
“Nak, ayo perkenalkan dirimu," timpal Bu Arina mempersilakan.
"Emh, ha-halo semuanya. Perkenalkan namaku Azura Araqueena Racella, kalian bisa memanggilku Azura," sapa Azura dengan tangan yang gemetar tak keruan.
"Buset, cantik bener," celoteh anak laki-laki dari bangku barisan terbelakang.
"Bro, pulang sekolah nanti gue anterin periksa mata," sahut anak laki-laki dengan penampilan nyentrik yang kemudian dibalas sorakan tawa oleh teman lainnya.
"Gue belum selesai ngomong kali. Yang cantik namanya, kalo orangnya, bukan tipe gue banget," celetuk anak laki-laki dari bangku barisan belakang tadi.
Tak ada yang bisa menjelaskan perasaan Azura. Hanya sesak yang dirasa oleh gadis itu.
"Dia ngga lebih buruk dari tipe mulut ember kaya lo," tukas anak laki-laki yang duduk di bangku paling pojok.
Suara itu membuat perhatian Azura buyar.
"Azura, silahkan duduk di sebelah Alan," perintah Bu Arina.
Ternyata Alan namanya.
"Azura?" Bu Arina memecah lamunan Azura.
"Eh, iya Bu," kaget Azura sembari langsung berjalan menuju bangku Alan.
"Hai, aku Azura," sapa Azura sambil mengulurkan tangannya.
"Gue udah denger waktu lo perkenalan di depan," balas Alan tanpa menoleh sedikitpun.
"Oh," hanya itu yang keluar dari mulut Azura.
Dengan sedikit kecewa Azura menarik kembali tangannya.
Tak terasa, bel istirahat sudah menyapa untuk sejenak melepas penat. Di sekolah barunya, Azura belum mengetahui dimana letak kantin, sedangkan perutnya sudah rewel sedari tadi. Dia putuskan untuk mengikuti langkah siswa lainnya. Benar saja, langkahnya terhenti pada sebuah kantin yang sudah dipenuhi oleh cacing-cacing kelaparan. Matanya tertuju pada spanduk bakso yang menggugah selera.
"Mang, pesen bakso satu ya," ucap Azura.
"Siap, Neng," jawab mang Dadang dengan sigap.
Tak lama kemudian, bakso yang di pesan Azura sudah siap untuk di santap. Perut Azura semakin tak sabar ingin melahap bakso-bakso yang ada di mangkok berlimpah kuah itu. Dengan semangkok bakso itu, Azura berjalan menuju tempat duduk yang masih kosong.
PRANGG.
Sepersekian detik, mangkok bakso yang dibawa Azura sudah menjadi serpihan-serpihan kaca yang siap melukai siapa saja yang melintas. Azura tersandung oleh kaki yang ntah bagaimana bisa tiba-tiba berada di depan kakinya.
"Makanya, kalo jalan tu pake mata. Anak baru aja udah belagu," pekik cewek yang berdiri di depan Azura dengan gelagatnya yang sudah seperti ibu kos.
Dengan keadaan yang masih kalangkabut sebab mencari kacamata yang tak terjangkau oleh pandangannya.
"Buruan bangun, gak usah manja lo jadi cewek," ujar seorang cewek yang masih betah berdiri di depan Azura, sambil menendang serpihan beling dengan sepatu branded-nya itu.
Alhasil bukannya malah tambah beres, cewek itu menambah berantakan kantin dengan beling yang di tendangnya. Nahas, tangan Azura yang sedang meraba-raba untuk mencari kacamata, malah terkena serpihan beling yang terhempas.
Pemandangan barusan justru menjadi bahan tertawaan geng yang dipimpin oleh cewek tadi. Tak sedikit pula anak-anak lain yang juga ikut menertawakan keadaan Azura.
"HAHAHA... Biar tau rasa lo, culun kaya gini mau jadi saingan gue, nga-" belum selesai cewek itu menuntaskan kalimatnya.
Tiba-tiba, kejadian yang tak diinginkan pun terjadi.
"Woi! siapa yang barusan ngelempar kaleng ke gue?” teriak cewek itu bersungut-sungut.
"Gak usah manja lo jadi cewek," ucap cowok yang sekarang sudah memasang gaya jongkok tepat di depan Azura.
Seketika Azura menghentikan aktivitasnya, suara itu membuat dirinya tak merintih kesakitan lagi. Bukan. Itu bukan suara Alan. Siapa cowok itu? Azura belum pernah mendengar suara itu sebelumnya. Tanpa Azura harus meminta, cowok itu langsung memberikan kacamata yang sedari tadi di cari olehnya.
"Pegang tangan gue," ujar cowok itu lagi.
Dengan sigap cowok itu membantu Azura berdiri. Tapi, Azura belum bisa melihat wajah cowok itu. Kacamatanya masih basah terkena kuah bakso. Untung saja tidak sampai pecah.
"Daren, kenapa kamu malah bela cewek itu sih, dia itu gak pan-" protes cewek itu yang seketika merubah nada bicaranya.
Kalimat yang diucapkan cewek itu terpotong untuk kedua kalinya. Dia pikir suaranya lucu? Azura sudah bergidik geli mendengarnya. Dan, cowok itu namanya Daren?
"Basi tau ngga!" ujar Daren sembari menggandeng tangan Azura pergi dari kantin.
Lalu cewek itu? Dia sudah seperti anak kecil yang tak dibelikan mainan oleh ibunya. Bukan. Lebih tepatnya seperti seorang yang sedang kerasukan arwah penasaran. Aneh. Padahal yang memulai semua ini adalah dirinya sendiri.
Dengan penglihatannya yang masih buram, Azura mengikuti langkah kaki Daren yang ntah membawa dirinya kemana. Menaiki tangga? Sedari tadi Azura sudah berpikiran macam-macam. Dia takut jika Daren juga akan melakukan hal-hal menjengkelkan seperti cewek di kantin tadi. Tapi apa mungkin? Lalu untuk apa Daren menolong dirinya tadi. Tanpa aba-aba, Azura menghentikan langkahnya yang membuat Daren ikut berhenti.
"Aku mau dibawa kemana?" tanya Azura dengan mata yang berusaha mendeteksi namun nihil.
Tanpa ada jawaban, Daren kembali menarik tangan Azura untuk berjalan mengikutinya.
Desiran angin menerpa tubuh mungil Azura. Tanpa sepatah kata yang keluar dari mulut cowok itu, ia langsung mengambil kacamata yang dipakai Azura. Azura panik bukan kepalang. Baru saja Azura ingin membuka mulutnya, namun kacamata itu sudah mendarat kembali di depan matanya. Ternyata, dia sedang berada di rooftop. Kacamatanya? Ya, kacamatanya baru saja dibersihkan oleh Daren. Tak menunggu waktu lama, Daren langsung membuka kotak obat. Ntah kapan dia mengambil kotak obat itu.
"Lo tambah cantik kalo gak pake kacamata," bisik Daren sembari menempelkan kasa yang sudah diberi obat merah pada tangan Azura.
"Kamu mau ngejek aku kaya temen-temen ya?" tuduh Azura dengan dahinya yang mengernyit.
Sudah kesekian kalinya Daren tak membalas cuitan dari Azura. Dengan semburat senyum yang terbit di wajahnya, Daren tetap melanjutkan aktivitasnya.
"Selesai. Lo mau makan bakso?" tawar Daren.
"Udah ngga laper lagi, kalo kamu mau makan, duluan aja. Oiya, makasih ya udah nolongin," ucap Azura.
"Lo suka banget pake aku-kamu ke semua orang, ya?" heran Daren.
"Gak tau deh, lebih tepatnya nyaman aja gitu pake aku-kamu ketimbang lo-gue," balas Azura sembari mengangkat kedua bahunya.
"Orang kalo udah nyaman, dia gak akan peduli sama keanehannya, dia bakal tetep suka," timpal Azura dengan gelak tawa yang membuat matanya seperti bulan sabit.
"Manis," lirih Daren.
"Apa yang manis?" tanya Azura.
"Bakso lo yang tumpah tadi manis, sayang kebuang sia-sia," jawab Daren sambil berjalan menuju pintu rooftop.
"Mana ada bakso manis, aneh," cicit Azura.
"Kalo masih peduli sama keanehannya, berarti belum ya?" ucap Daren sembari meraih tangan Azura untuk digandeng.
"Ha? Ini lagi, kamu mau bawa aku kemana?" bingung Azura.
Belum selesai dengan kebingungan yang pertama, dirinya sudah di seret kembali.
"Mau ngambilin bakso kamu yang jatuh," jawab Daren seadanya.
Kamu?
Sepanjang perjalanan, Daren dan Azura hanya membisu. Dua pasang kaki itu menghentikan langkahnya di depan kelas XI MIPA 1.
"Ke sini?" tanya Azura.
"Emang Lo beneran mau ngambilin sepuluh bakso yang gelinding tadi?" heran Daren dengan mengangkat satu alisnya.
Ntah kenapa topik bakso masih hangat bagi mereka, meski keadaan sebenarnya bakso yang tumpah tadi sudah dingin dan terlindas oleh orang-orang yang melintas.
"Lo gak denger bel udah bunyi, ya?" tanya Daren lagi.
Ntah apa yang sedang dipikirkan Azura, sampai bel yang bunyinya sekeras itu tidak terjamah di telinganya.
"Terus kamu ngapain disini, kenapa gak masuk kelas?" tanya Azura heran.
"Azura Araqueena Racella, gue temen sekelas Lo. Saking terpesonanya sama ketampanan Alan, sampe-sampe lo gak liat gue ya, Ra?" ucap Daren sambil menghela napas panjang.
Tanpa menunggu balasan dari Azura, Daren langsung masuk ke dalam kelas. Tak lupa Daren melepaskan genggaman yang sebelumnya ia rapatkan. Azura tak menyangka bahwa Daren adalah teman sekelasnya. Dirinya masih terpaku di tempat sebelumnya saat bersama Daren.
"Kenapa berdiri di sini, nak?" tegur pak Hildan.
Azura yang terkejut langsung bergegas masuk ke dalam kelas. Ternyata Daren berada di bangku paling depan. Bagaimana bisa Azura tidak melihatnya? Sekarang, dua pasang mata kedua pemuda itu berada di rotasi yang sama, namun tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka. Sampai Azura duduk di bangkunya pun, hanya diam yang menyertai mereka.
"Akhirnya balik juga Lo?" ketus Alan.
"Kenapa?" tanya Azura penasaran.
"Gak. Sekalian aja gak usah balik," sindir Alan.
"Kamu keganggu banget ya kalo aku disini?" kesal Azura.
"Lagian lo mau pindah ke mana selain di sebelah gue?" tanya Alan dengan sekilas melirik Azura.
Azura hanya bisa menghela napas pelan. Sedari tadi cowok itu membuat dirinya kesal. Ntah kesalahan apa yang diperbuatnya sampai harus mendapat teman sebangku seperti Alan. Belum sempat kekesalannya reda, ditambah lagi dia harus melihat laci meja Alan yang jauh dari kata bersih. Antara gengsi dan kesal karena Azura paling tidak bisa jika melihat sesuatu yang kotor ada di dekatnya.
"Ini laci gue, lo mau ngapain?" gertak Alan
"Aku cuma mau bersihin sampah yang ada di laci kamu, ngga bisa santai dikit apa?"
"Gak usah sok peduli sama gue, kalo lo gak suka kotor mending pindah dari sini," tegas Alan.
Azura harus beradaptasi dengan sikap Alan. Dia akan duduk bersama cowok itu sampai lulus. Ntah berapa banyak kesabaran yang harus Azura kerahkan.
Dering bel pulang sekolah sudah berbunyi. Tanpa menunggu waktu lama, para siswa sudah berhamburan keluar kelas.
"Azura." sapa Intan.
"Iya?" balas Azura.
"Kamu bisa mulai piket hari ini, ya. Aku permisi pulang duluan," ucap Intan selaku ketua kelas.
Pernyataan Intan di respon baik oleh Azura. Bersih-bersih adalah kegemarannya. Berhubung dirinya piket, ini adalah waktu yang tepat untuk membersihkan laci Alan yang sangat kotor. Betapa terkejutnya Azura saat membuka beberapa remasan kertas yang berada di laci Alan. Semua berisi hujatan akan dirinya. Alan menyembunyikan ini semua darinya? Dibalik remasan kertas yang menumpuk, ternyata masih ada sampah di pojok laci. Semua sampah yang ada di meja Azura disembunyikan di laci meja Alan. Tapi kenapa? Melihat dari sikapnya pada Azura yang begitu tak peduli. Setelah piket, Azura memutuskan untuk segera pulang ke rumah.
*****
"Udah pulang, Ra?" ucap seorang wanita paruh baya yang setia dengan celemeknya.
Tak ada sahutan setelah itu. Hanya hening yang menyapa.
"Cantiknya mama, gimana hari pertamanya? Buruan ganti baju, gih. Mama udah masak tumis cumi kesukaan kamu," ucap wanita itu dengan lembut.
"Udah ya, ma?" singkat Azura.
"Kenapa, Ra?" heran Mona.
"Stop. Cukup selama ini mama bohongin Azura. Mama selalu bilang kalo Azura cantik, Azura kebanggaan mama. Tapi apa ma? Semua itu ngga ada di aku," kesal Azura.
Tanpa menunggu sepatah kata pun dari sang ibu, Azura langsung masuk ke dalam kamarnya dan tak lupa untuk mengunci pintu.
"Dengerin mama dulu, Ra," bujuk Mona kalangkabut.
PRANGGG.
Kaca itu terlalu rapuh untuk menerima hantaman. Begitu pula dengan Azura.
"Aku pikir semuanya udah selesai, ternyata belum ya?" ucap gadis itu dengan senyum getirnya.
"Buka pintunya, Ra. Berhenti nyakitin diri kamu sendiri, kamu berharga buat mama," bujuk mama tanpa putus asa.
"Buat apa berhenti, ma? Sakitnya udah terlanjur menetap, jadi sekalian aja. Ya kan, ma?"
"Ra, dengerin mama. Mama ngga pernah jadi kamu, semua yang kamu alami ngga pernah mama alami. Tapi mama seorang ibu, Ra. Apa yang kamu rasakan cukup membuat mama sakit. Jangan tambah rasa sakit mama, mama sayang sama kamu. Di dunia ini cuma kamu yang mama punya," untaian kata Mona yang berhasil membuat Azura luluh.
Gadis itu berdiri di ambang pintu dengan tatapannya yang kosong. Air matanya terus mengalir. Dengan sigap Mona langsung memeluk anak semata wayangnya.
"Ma, kenapa semesta ngga adil?" tanya Azura.
"Ngga adil gimana, Ra?" tanya Mona kembali.
"Aku anak mama, tapi aku ngga secantik mama. Ngga adil kan, ma?" kekeh Azura.
Pertanyaan itu membuat hati Mona sesak.
"Ra, kamu cantik di mata mama. Coba lihat diri kamu di cermin, kamu sempurna," yakin Mona.
"Ngga, ma. Kalo emang bener aku sempurna, ngga mungkin mereka ngejek aku, ngga mungkin mereka ngremehin aku. Aku tahu kok, ma. Mama ngomong kaya gini cuma biar Azura tenang, kan?" tutur Azura tak percaya.
"Aku pikir, setelah aku pindah dari sekolah yang dulu, hari-hari ku di sekolah bakal berubah. Ternyata semua itu cuma skenario di kepala Azura, ma," ucap Azura dengan menghela napas pendek.
"Azura, dengerin mama. Penilaian orang lain ngga akan buat kita jatuh, mau mereka merendahkan kita serendah apa pun, kita akan tetap berharga di tangan orang yang tepat. Mama tahu, kamu pasti capek. Kamu udah bosen ngadepin orang-orang yang ngga suka sama kamu. Tapi kamu harus inget, Ra. Kita hidup bukan untuk menyenangkan mereka, bukan untuk berlomba-lomba dengan mereka. Tugas kita adalah menjadi pribadi yang lebih baik setiap harinya. Kita gak bisa maksa mereka buat suka sama kita, tapi kita bisa jadi versi terbaik dari diri kita, Ra," nasihat Mona sembari mencium kening anaknya.
Kata-kata yang dilontarkan Mona, memecah tangis Azura kembali. Azura bangga memiliki ibu seperti Mona. Bukan hanya menjadi sosok ibu teladan, namun dia juga memberikan peran ayah di hidup Azura.
Hari ini begitu melelahkan bagi Azura, hingga akhirnya dia tertidur.
Kini, senja mulai menampakkan keindahannya untuk segera bertemu dengan langit. Senja akan selalu terlihat indah bersama dengan langitnya, meskipun mereka akan berpisah, tapi langit tetap menerima senja sepenuh hati. Di sore itu, Azura baru terbangun dari tidurnya. Hari pertama masuk ke sekolah baru, begitu menguras tenaganya. Ingatannya berpusat pada tugas pertama yang diberikan oleh Bu Kinan. Dibukanya lembaran-lembaran penuh aksara yang siap untuk diselami. Namun, fokusnya teralih pada lipatan kertas yang terselip di antara lembaran itu. Terlihat kertas sobekan buku tulis yang sudah dipenuhi oleh goresan-goresan yang ntah siapa penulisnya.
"Mama masuk ya, Ra?" ucap Mona di balik pintu kamar putrinya.
"Masuk aja, ma. Pintunya gak dikunci,"
Baru saja Azura ingin membaca isi tulisan itu. Namun perhatiannya kembali buyar. Di letakkannya kertas itu di dalam laci mejanya, berharap tulisan itu masih memiliki banyak waktu untuk menunggu.
"Makan dulu, Ra. Dari siang perut kamu masih kosong," perintah Mona.
"Iya, ma," jawab Azura sembari tatapannya yang tak teralihkan dari laci meja.
*****
Bersambung
*Pict: id.pinterest.com
Madiun, 2022
Awalia Bawani, siswi kelahiran Madiun. Seorang amatiran yang mencoba menyelami dunia fiksi. Merajut kata demi kata hingga membentuk jalinan cinta bagi tiap pembaca. Hatinya terlanjur jatuh pada deretan kata yang berpadu-padan. Kecintaannya pada lembaran-lembaran karya tulis yang membawa dirinya untuk terjun menggoreskan tinta-tinta kasih.
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024