Temaram Rembulan
Oleh: Rini Mei
Angin pedesaan mengibaskan dedaunan, menemani bunga bungur ungu yang tengah merekahkan mahkotanya ataupun bunga telang yang mekar di permulaan musim gugur. Pelepah-pelepah pisang terombang ambing oleh irama hujan, batang pepohonan meliuk terempas angin, dan rerumputan menari dengan gemulai. Sepasang kenari melayang meniti angin, mengepakkan sayapnya yang kecil, menantang deru hujan yang melengking hingga ke balik bukit. Sang surya menyusul senja jingga di langit barat dan kaki-kaki langit menggantungkan diri pada masa yang menjemput mimpi. Air hujan pun bertempias dari jeruji bambu yang menjadi penghalang pandanganku dengan semarak yang tergelar dari langit senja. Semarak yang menyelimuti alam dengan kedinginannya.
Jarak pandang yang tak seberapa menganulir keberadaanku, jauh dari harap dan kodratku sebagai seorang pengembara. Air hujan yang kian merapat tak hentinya mengibaskan dirinya pada permukaan bumi. Aku pun tak henti melihat lukisan alam yang tergelar nyata di depan mata, di antara pohon bambu yang saling mengaitkan tubuhnya. Dalam sapuan hujan, samar terlihat olehku sekelebat bayangan lewat begitu saja. Seorang gadis tanggung dengan selendang merah hati melingkar di pinggangnya. Rambutnya yang basah tergerai jatuh di punggung. Tubuhnya semampai memesona, melenggang dengan lamban di balai rumahnya yang sederhana. Wajahnya teduh, namun pancaran dari bola matanya selalu menggairahkan.
“Aku ingin sepertimu, bisa terbang kemanapun kau mau,”
“Tapi aku tak seperti itu,” lirihku dalam hati.
“Darmi, lekas masuk!” terdengar seruan dari dalam rumah.
Gadis tanggung semampai pun memenuhi panggilan itu. Dan kini aku sendiri lagi, meringkuk kedinginan dengan sebuah tanya yang melekat dalam pikiran. Kuarahkan pandang ke ujung selatan rumah ini, kutatap sekelompok pohon pinang dengan berjumbai mayang di atas sana. Sepasang bajing terlihat meniti pelepah pinang yang terletak di antara mayang yang baru saja dilahirkan. Sejenak kemudian mereka melesat jauh ke pelepah pinang lainnya. Seekor kenari yang tak jauh dari pohon pinang pun menerobos angin, mengepakkan sayap mudanya, dan menyibak tirai hujan yang masih setia menyelubungi semesta. Dia bebas tak terbatas. Dapat menyingkap tirai alam dengan kepakan sayapnya. Sungguh, impian setiap pemilik sayap, sekalipun patah …
***
“Darmi, lekas keluar. Kita harus segera berangkat!”
Dari balik dinding kayu, si gadis tanggung nampak mematung. Selendang merah hati yang kemarin ia kenakan, tak lagi melingkar di pinggangnya. Ia meletakkan benda itu ke kursi anyam bambu yang terletak di balai rumahnya. Lelaki paruh baya yang telah bersiap dengan ontelnya segera menghampiri gadis tanggung di dalam rumah.
“Nduk, kita harus cepat ke Balai Dusun. Ki Rametawi pasti sudah menunggumu di sana,”
“Aku ndak mau ke sana lagi Pak,”
“Benarkah demikian? Tapi kenapa Nduk?”
“Aku mau sekolah saja.”
“Hahaha! Anakmu lucu Dur!” ucap lelaki paruh baya sembari mendekati wanita yang berdiri di samping Darmi.
“Ndak usah mimpi! Lekas ambil selendangmu!”
Masih harus kusaksikan betapa berkecainya perasaan Darmi waktu itu. Wajahnya yang teduh berubah sendu, lengkung di bibirnya yang biasa kulihat, kini ia sembunyikan bahkan kepada dirinya sendiri. Betapa aku merasakan jiwanya yang dibelenggu, pun begitu dengan nasibku. Sayap yang sedianya dapat kukepak dan kukibas menerjang angin, nyatanya hanya mendekam di balik jeruji bambu milik majikanku ini. Kini, berbulir air menuruni pipi gadis tanggung yang kukagumi itu.
***
Matahari yang berwarna jingga tak terlihat lagi. Kelelawar pun satu persatu keluar dari sarang; dari celah dan pohon-pohon berlubang. Serangga petang saling berbisik dengan lengkingan suaranya. Kunang-kunang malam menerangi pedesaan yang memekat. Bayang temaram cahaya bulan di langit pun mencipta suasana desa yang syahdu.
Darmi meliuk-liuk di tengah kepekatan malam. Dengan selendang merah satu-satunya yang ia miliki, Darmi menari dengan elok. Diiringi calung dan gendang yang ditabuh oleh bapak dan uak, Darmi menggerakkan tangan dan badannya mengikuti irama. Seorang gadis tanggung mampu menari dengan amat memesona seperti ronggeng sungguhan. Aku pun terlena oleh alunan calung dan moleknya tarian Darmi malam itu.
“Sungguh, aku tak menginginkannya!” ucap Darmi suatu ketika.
“Kenari kecilku, menarilah bersamaku di temaramnya cahaya bulan. Ditemani kerlip bintang yang kadang datang dan menghilang.”
“Seandainya aku mampu berbicara, aku akan mengatakan yang sesungguhnya tentang keinginanku pada bapak dan emakku,”
Dan dia menjauh dari pandanganku…
***
Di bawah temaram rembulan
27 Mei 2022
Bionarasi Penulis
Rini Mei lahir di Banyumas, Jawa Tengah, pada tanggal 27 Mei 1989 dengan nama lengkap Rini Mei Hastuti.
Perempuan yang berprofesi sebagai guru ini menyukai tulis menulis sejak duduk di kelas 2 SMP. Namun tulisannya hanya sebuah coretan tak bermakna yang dibiarkan mengabur begitu saja di buku catatannya. Baru berani menulis yang lebih dalam saat dirinya selesai mengikuti pelatihan menulis secara online.
Sila sapa di surel rmei2789@gmail.com atau di Instagram pribadinya @rinimeihastuti.
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024