Suporter/penggemar bola adalah segerombolan orang yang mendukung tim kebanggaannya. Indonesia menjadi salah satu negara yang mempunyai banyak klub sepak bola terbesar di dunia. Dari tim papan bawah sampai papan atas menjadikan sarana hiburan bagi masyarakat Indonesia. Euforia kemenangan ketika melihat tim kebanggaannya adalah bentuk kesenangan yang mereka dapat, tidak lepas dari kemenangan tim kebanggaanya bertemu sesama suporter bola juga jadi momen kebersamaan untuk menikmati pertandingan sepak bola. Hasil kemenangan sebaiknya dirayakan dalam rangka meluapkan emosi dan energi kegembiraan karena hasil yang telah diperoleh klub atau pemain yang didukungnya sesuai dengan harapan.
Setiap pentandingan ada tim yang kalah dan ada yang menang, suporter tentu harus profesional ketika mendapatkan salah satu hasil tersebut. Kerap terjadi sebelum laga atau sesudah laga suporter saling cekcok atau biasa disebut “psywar”. Lontaran ejekan, nyanyian, dan berbagai teror lainnya jadi hiasan disetiap pertandingan. Hal itu sering terjadi antar suporter bertujuan untuk menjatuhkan mental tim dan suporter musuh. Dan ketika permainan dimulai tim kebanggaannya lebih mudah meraih kemenangan.
Melihat sepak bola adalah wahana hiburan bagi setiap orang bahkan dari usia balita sampai orang tua, seharusnya stadium adalah tempat yang aman dan nyaman bagi semua orang. Tapi tidak sedikit berita atau tragedi karena sepak bola. Antara lain pelecehan sexsual, rasisme, bahkan tawuran antar suporter. Banyak juga nyawa yang telah melayang karena hal negatif tersebut. Terlepas dari hal tersebut, seharusnya ada investigasi mendalam soal itu sampai akarnya hingga akhirnya ditemukan cara agar bisa melenyapkan hal negatif tersebut. Tak lain, semua usaha maksimal harus dimulai dari diri sendiri (menanamkan kedamaian) setelah itu libatkan orang lain dan semua orang agar bisa menjadikan sepak bola sebagai wadah hiburan bagi masyarakat.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, peringatan kesaktian pancasila 1 Oktober lalu menyimpan luka yang cukup serius. Pasalnya, pertumpahan darah sesama anak bangsa kembali terjadi dan membuat kaget seluruh dunia. Namun, yang menjadi sorotan justru hal tersebut datang dari tanah air tercinta serta dari salah satu cabang olahraga yang sangat digemari setiap orang. Peristiwa ini mencoret kesakralan hari kesaktian pancasia sebagai falsafah hidup umat Indonesia.
Fatisme dan atmosfer sepak bola membuat pertandingan panas ini meregang ratusan nyawa penggemar sepak bola. Ironisnya ini bukan kejadian perang ataupun perebutan kekuasaan, namun hiburan yang dimana setiap orang berhak berbahagia oleh kegiatan tersebut. Banyak orang tua menjatuhkan deras air matanya, banyak punggawa punggawa muda yang menutup matanya dengan pedihnya kejadian ini.
Mereka begitu mencintai tim kebanggaannya hingga lupa nyawa mereka taruhannya. Memang tidak mudah mendamaikan suporter sepak bola di Indonesia, perlu kajian yang mendalam untuk mengetahui penyebab suporter sepak bola saling berseteru. Tanpa disadari rendahnya nilai toleransi menjadi penyebab utama tragedi terjadi. Dalam konteks inilah justru menjadi hal yang sering kali luput dari perhatian. Terlebih ratusan nyawa orang yang lepas sia-sia karena menikmati pertandingan klub sepak bola kesayangannya.
Bergeser ke rivalitas sehat, damai dalam arti rivalitas tetap ada tanpa saling membunuh, sepak bola tanpa rivalitas itu hampa, rawat rivalitas sehat untuk kita semua tak ada lagi nyawa melayang hanya karena sepak bola. Bayangkan bisa bertemu, bergaul dan bergurau bersama suporter musuh dan saling bercerita tentang tim kebanggaannya tanpa ada rasa benci dan ketakutan yang mendalam. Suatu revolusi besar bagi sepak bola jika hal itu bisa terjadi. Sesederhana itu tapi sulit dilakukan menanggapi rivalitas antar supporter yang kian lama kian membesarkan ego dan kebencian terhadap tim orang lain.
Ada banyak karakteristik suporter selain fungsi utamanya sebagai penyemangat dan penghidup suasana. Sedikit contoh, karakter legowo/ikhlas. Menang dan kalah aadalah sebuah niscaya. Inilah suporter yang bijak dan dewasa, tidak semata-mata menggilai, tapi juga menjujung tinggi sportifitas.
Selanjutnya Mentalitas barbar, mereka yang bringas dan mudah melakukan kekerasan. Keberadaan ini sebagai ketidakmampuan menerima kekalahan. Semua mereka lakukan agar bisa melihat tim kebanggaannya memenangkan pertandingan. Sikap ini yang harus disinyalir besar dapat memicu kekacauan dan konflik. Sikap ini juga harus dihanguskan didunia sepak bola sebelum merenggut korban jiwa.
Apabila tim didukung dengan segerombolan dan komunitas dengan mental yang sama, seolah membangun kekuatan untuk merealisasikan egoisme dan cinta yang menggila dalam benak mereka. Tidak ada yang salah sesungguhnya dalam mendukung bola. Tetapi cinta yang membabi buta adalah bencana. Perkara ini tidak hanya soal percintaan semata, tapi juga tentang cinta suporter terhadap tim kesayangannya.
Cukup menjadi yang terakhir, tragedi Kanjuruan menjadi saksi bisu bahwa semua elemen suporter bola harus berbenah. Evaluasi dan Revolusi harus segera dimulai. Pihak penyelenggara juga ikut serta mengambil langka agar kejadian serupa tak terulang lagi. Maka pastikanlah jiwa-jiwa suporter tanah air selalu mengedepankan sikap dewasa. Sejatinya tidak ada sepak bola seharga nyawa sepak bola.
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024