Tersembunyi dalam Mata
Di derai-derai daun cemara
Setelah hujan berhenti turun ke bumi
Di dalam derai-derai tawa
Ku lihat kau tersenyum di sela-sela rindu
Hai, ku ucapkan pada derai-derai pagi menjemput mimpi
Meski kosong di hati, kau tidak di sini lagi
Aku masih bisa bernyanyi dalam sunyi
Meski sendiri, aku lalui walau kau bukan lagi dari sisi hati
Di dalam ingatan, anganku lepas mengudara mencari sosok bayangan
Tak ku kenal, namun terasa nyaman di dada
Apakah itu kau? Hai gadis pemungut rindu
Kau masih saja sama, walaupun sudah lama tak saling jumpa
Entah aku yang tak pernah bersua
Atau egoku memilih bersembunyi dalam semu
Lari dari asa yang tak pernah ku tahu
Di dalam samudera matamu
Ada aku di sana dengan setitik rindu
Benar bukan?
Jangan sembunyi lagi aku tak mau berlari mengejarnu lagi
Jika kau ingin kutawarkan sebuah pilihan
Pergi yang jauh atau kemarilah bertahan di sisiku?
Seharian di Stasiun Kata
Pagi, hatiku telah bergegas pergi ke sebuah kota, dimana jiwaku mengasingkan diri, ia melangkah ke sebuah stasiun di depannya lalu, mendekati sebuah kereta jurusan luka. Barangkali kemarahan telah membawanya ke rumah sunyi, kemudian ia akan mengajaknya kembali.
Tetapi setelah tiba dipintu, penumpang ribut dengan cerita mereka tentang kota luka yang penghuninya adalah jiwa keributan, yang hari dan malamnya penuh raung kepedihan. Sedang jiwaku tak suka gema keramaian, dari segala bentuk kesedihan atau pun kebahagiaan.
Beberapa jam berlalu, aku mendatangi kereta baru, ku tanya mereka yang hendak masuk di situ, tempat mana yang hendak dituju. Kemudian mereka menjawab bahwa jurusan menuju ke kota kesenangan, dimana penduduknya adalah orang-orang bijak yang diam dan merayakan beberapa tawa dengan tarian-tarian sepi yang mencekam, yang hanya dinyanyikan diri sendiri.
Tapi itu keadaan yang jiwaku tak butuh senang berlebihan. Hingga akhirnya, hatiku menulis seluruh kehidupan jiwa yang ia tinggalkan, keinginannya di stasiun kata berupa doa-doa yang ku lantukan untukmu.
Doaku di Malam Sunyi
Aku hanya seorang manusia
Yang tertatih di yang namanya kehidupan
Doa selalu kuucap untuk hari yang tidak pernah kutahu
Untuk setiap cobaan yang kian hari membesar
Terkadang aku menangis hingga meratab
Menyesali setiap rasa sakit
Meringis luka yang takkan kering
Memikirkan cobaan yang takkan usai
Malam Ini
Saat bulan bertemu dengan sudut bintang
Saat bintang menggenggam rembulan
Saat ribuan kunang-kunang membelah belantara rimba
Saat itu aku menangis hingga patah
Saat malam menemani hati yang rapuh
Saat sunyi memanjakan telinga yang gersang
Terbesit kerinduan yang memangku semesta
Aku mencoba untuk bersabar
Selalu kuingat bahwa Tuhan itu tidak tidur
Ia mendengar jeritanku bahkan yang kubungkam
Ia melihat lukaku bahkan yang kukubur
Ia Maha tahu
Malam sunyi mencekam
Menyayat daging hingga mengerang
Menjerit hingga suara terbang putus
Inikah rindu
Rindu terkadang teramat menyakitkan
Meremukkan hati hingga debu
Meniupkan belati yang tertancap asmara
Sakit di ujung rasa
Tuhan tawanlah rasa rindu ini
Kurung ia di sudut jeruji
Ajari ia cara bersabar dan bertahan
Agar ia tidak memakanku perlahan
Merindukan seseorang teramat sakit
Ingin rasanya kusobek rasa itu hingga keping
Takkan kupelihara karena kan membunuhku
Hanya bersabar dan tabah yang bisa kulakukan
Senandung Malam
Padamu malam
Aku ingin bermimpi
Bersenandung dengan bintang
Lantas apa daya tubuh yang berbaring terhampar
Tiada relung tempat mengisi kesunyian
Hanya penantian yang memekik pilu
Saat ku sadari
Bahwa tiada lagi yang ku mau
Selain bertabur dengan sang malam
Sambil berkata
“Aku merindumu”
Bio Narasi:
Lalik Kongkar, saat ini masih jadi pengembara sunyi, dan pemerhati pembangunan desa
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024