Puisi; Nailus Shafi Nail*
Rubaiat Ciinta
Lee, mengawali seikat lara paling baka di ceruk hatiku
Aku pikat sekuntum pada desir angin yang menenggara pada senyummu
Bahwa peristiwa paling cemas
Adalah tanggalnya keesaan cinta
Bagaimana lagi caraku menafsirkan
Bila keesaan dan cintaku
Tak pernah teramal peramal
Kemarau pun bungkam
Akibat kesaksian cinta
Bagaimana lagi yang harus kutadaruskan pada langit
Manakala sejatinya awan adalah bagian dari kembaraku
Yang terus mengepak kegersangan batin yang kasmaran
Juga menjadi biduan harapan
Bagaimana lagi yang harus kukerlingkan pada rerumputan
Jika elok tariannya
Adalah bagian dari lengking istirahmu
Lee, kepadamulah kuhibahkan kupu-kupu berspektrum warna merah
Yang menari diantara rimbun aster
Lalu kita instrumenkan
Kidung antara aku dan kau
Annuqayah, 09 September 2020
kesaksian
Kalungkanlah gumam hatiku
di bibir waktu-waktumu, Lee
sebab perjumpaan tak terduga
di pantai rasa
di musim pecinta
di keheningan rindu
di persimpangan biru
kita dapat meraba masa purba
untuk kita ramal menjadi kenyataan
Kemudian timanglah bisikan pertama
dengan renung pendakian kembara
Duka pecinta
adalah perjanjian pekat
yang tak terpanjat
Dengusan waktu, begitu beringas
menghempas ganas daun dan debu-debu rindu
namun kita memiliki temali
yang mampu merekat hati
Annuqayah, 02 September 2020
Pendakian Ruhani
Aku melihat tikar itu terus ditempati para penyusun seluet mentari. Dia duduk dengan mata terpejam. Bibirnya membaca syakal-syakal Tuhan. Fikirannya mengawang mencari bias cahaya yang belum sempurna ia dapatkan. Tangannya memutar-mutar kalimat Tuhan sambil mengangguk-anggukkan kepala dengan khidmat. Ia becakap-cakap dengan Keagungan. Mencari setitik terang dan setetes embun dari pendar pancaran-Nya.
Pada khusuk yang sedang bertajuk. Dalam dirinya, ia dapatkan malaikat sedang menelusup masuk di kediaman ruhani. Mengalirkan benih-benih syukur yang selalu harus diukur dengan tafakur. Sabar yang harus berkobar. Sombong yang yang harus dibopong. Hati yang harus dipupuk dengan kalam Ilahi
Ia terus merapal doa-doanya. Badannya seakan bergetar seperti memnerima kekuatan para dewa. Kemudian ia bersujut ’tuk merajut ruhnya. Dalam sujud, ia temukan nadinya terpompa kekuatan Tuhan
Annuqayah, 10 Agustus 2020
MUSAFIR DI UJUNG BAHTERA
“Nak, sebuah permata akan didapatkan, jika kau merengkuhnya dengan kepahitan”
Sampai saat ini petuahmu menjadi khayalan pada labirin tuaku
Kental akan lilitan hitam yang menjadi penghantam
Tentang riwayat kelam dalam jejak sucimu
Kiranya kain putih itu tetap melekat
Pada dinding nurani pemburu
Jantung yang tak berlapis, akan cepat terkikis
Ataukah ritmis hidupku menjadi pengemis
Datu…
Kini tanah suci merapal sebuah janji
Melipat samudera pada gema syair pembisik hati
Tapi, apakah arti dari sebuah tanah suci
Jika petir bertubi-tubi menjadi bingkai jejak kami
“Nak, tak ada jalan pupus jika kau menginginkannya dan tak ada jalan putus jika kau berpacu tuk menggapainya”
Datu…
Mimpi adalah rembulan di benakku
Dan akulah musafir pengembara
Tercipta dari serpihan sukma para petapa
Penyusur ruwah padang sahara
Menuju tanah persinggahan raja
Annuqayah, 05 Agustus 2020
Kemanakah Kulit Kami
I
Dulu kampung kami selalu ramai, permai
dengan anak-anak bermain hom-pim-pa.
tangan kami menyatu, membatu bersama
fikiran kami lebur bersama tarian ranting
ataupun daun yang mulai menguning
Sungguh, kami selalu belajar pada alam
tentang keindahan, perdamaian
berbagi meski secuial biji sawi.
inikah kami yang masih memikat-lekat
Tapi, di zaman penuh gigil kekhawatiran ini,
adakah waruga masih peduli, mengamini
mimpi-mimpi siang bolong kami
tentang desa, kembali asri
tak lekang dengan dunianya sendiri
Ah, mereka telah menjelma ketiadaan dalam kenyataan
atau serupa ular yang lupa akan kulitnya
II
Ketika ujung rambut sampai ujung kaki
terlilid dengan kulit negeri gandrung
mereka malah terkungkung
peradaban tukang tikung
_itu karna kau tak paham_
Kulit luar, memang suatu hal yang dominan
tapi telaahlah agar tak buta di tengah jalan
Jangan hanya melongok mencari ketinggian
Namun negeri sendiri menjadi ampas kebrutalan
III
Serupa piano alam
Bergetar
Berbunyi
Hingar
Bingar
Sambil memetik elegan
Namun itu menjadi lekang yang menghujan
Annuqayah, 13 September 2020
Nailus Shafi Nail. Santri PP. Annuqayah Lubangsa dan Mahasiswa INSTIKA prodi Ilmu al Qur’an dan Tafsir/VI, lahir di desa Juruan laok, Batuputih, Sumenep. Menyukai puisi dan teater sejak menyatu dengan Sanggar Pangeran, Sanggar Kotemang, Teater Gendewa, Komunitas Liur Pena Sastra (LIPENSA) Iksbat, Gubuk Sastra Annuqayah (GSA), dan Lesehan Sastra Annuqayah. Sejumlah karyanya pernah dimuat di Radar Madura, Majalah Sastra Simalaba, Majalah Infitah, Berita Baru, Belutin Sidogiri dll. Sedangkan antologi bersamanya Simfoni Dan Hujan Puisi (IKSBAT 2019), Lelaki Bersayap Senja (IKSADA 2019), Secangkir Kenangan (Indinisia Berani Menulis 2020), Stay With You (T-Zone Publisher 2020). Juga Juara 01 cipta puisi Nasional yang diadakan oleh A 2 Media Utama Bandung(2022) dan juara 03 cipta puisi Nasional yang diadakan oleh Charta Media(2022). Bisa dikunjungi di: nailusshafinail@gmail.com, IG. nailusshafi
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313