NILAI PENDIDIKAN
KARAKTER DALAM SERAT WULANGREH KARYA SAMPEYANDALEM INGKANG SINUHUN KANJENG PAKUBUWANA IV (KAJIAN PRAGMATIK)
Candra Ghulam Ahmad1), Aris Wuryantoro2) Dwi Rohmah Soleh3)
1Universitas PGRI Madiun
2 Universitas PGRI Madiun
3Universitas PGRI Madiun
email:
andhuen@gmail.com
email: allaam_71@yahoo.co.id
email: dwirohman@unipma.ac.id
ABSTRAK
Pendidikan karakter adalah
pendidikan budi pekerti yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive),
perasaan (feeling), dan tindakan (action). Pendidikan
karakter merupakan upaya yang sengaja dirancang untuk membangun dan
mengembangkan nilai-nilai moral dan perilaku. Pendidikan karakter merupakan upaya yang sengaja dirancang
untuk membangun dan mengembangkan nilai-nilai moral dan perilaku. Ajaran-ajaran
moral dan perilaku sebenarnya telah lama dikenalkan dan diajarkan oleh
masyarakat jawa melalui produk-produk budaya jawa. Sejak dulu masyarakat jawa
telah mengajarkan ajaran moral dan diwariskan kepada generasi sekarang untuk
pembinaan budi pekerti. Ajaran-ajaran moral oleh orang jawa tidak hanya
disampaikan melalui bahasa tutur, akan tetapi disampaikan juga melalui berbagai
simbol budaya jawa. Salah satu budaya
yang terdapat dalam masyarakat jawa adalah budaya sastra tulis. Salah satu
contoh teks sastra jawa skriptorium keraton adalah Serat Wulangreh karya dari
Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Pakubuwana IV. Serat Wulangreh adalah karya
sastra yang berisi piwulang, pembelajaran,
atau pendidikan yang selesai ditulis oleh Pakubuwana IV pada hari Ahad tanggal 19 Besar 1735 tahun Dal,
windu Sancaya, wuku Sungsang atau tahun 1808. Serat ini
merupakan salah satu percikan semangat kekratonan dan gambaran pemikiran Raja
tentang masalah-masalah politik pemerintahan, kekuasaan dan etika yang tak
terlepas dari pandangan jawa secara umum. Serat Wulangreh yang berupa
tembang Macapat ini pada mulanya merupakan buku pedoman untuk para putra raja
agar mereka selalu ingat akan adanya kemerosotan moral pada saat penulisnya
sedang memegang tampuk kekuasaan. Metode penelitian yang digunakan dalam mengkaji Serat Wulangreh karya Pakubuwana IV adalah metode penelitian kepustakaan artinya menelaah data yang berupa
buku-buku. Sumber data
penelitian ini berupa pupuh-pupuh tembang yang berasal dari
naskah Serat Wulangreh karya Pakubuwana IV yang telah diterjemahkan kemudian sumber pendukungnya berupa buku dan jurnal. Teknik analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis isi (content analisys).
Hasil analisis yang diperoleh dalam
penelitian ini antara lain: (1) Pendidikan karakter untuk diri sendiri (perseorangan) (2) Pendidikan karakter dalam keluarga
(3) Pendidikan karakter dalam
berinteraksi sosial (4) Pendidikan karakter dalam bernegara (5) Pendidikan
karakter dalam beragama.
Kata kunci :
Pendidikan Karakter, Serat Wulangreh, Pragmatik
A.
PENDAHULUAN
Salah satu budaya yang terdapat dalam masyarakat Jawa
adalah budaya sastra tulis. Zoetmulder (1983) mengatakan masyarakat Jawa telah
mengenal budaya bersastra melalui tulisan yang tertuang dalam bentuk naskah
sejak abad IX. Naskah ini berkaitan dengan pengkajian sastra lama (bentuknya
paling tua) yang berwujud tulisan tangan di atas lembaran-lembaran alas tulis
setempat, aksara kedaerahan, dan bahasa setempat (Karsono, 2008: 2-3).
Teks-teks yang ada di dalam naskah Jawa tidak seluruhnya merupakan karya sastra
karena teks yang ada dalam naskah tidak semuanya berisi teks sastra, contoh
teks non-sastra adalah primbon. Namun, ada pula beberapa naskah yang berisi
teks non-sastra tetapi menggunakan bingkai sastra, contohnya adalah suluk.
Berdasarkan buku Kapustakan Djawi (Poerbatjaraka,1957)
secara garis besar sastra jawa dibagi menjadi tiga golongan berdasarkan
penggunaan bahasanya yaitu, sastra jawa kuna, sastra jawa pertengahan, dan
sastra jawa baru. Karya sastra jawa kuna adalah karya sastra yang ditulis
menggunakan bahasa jawa kuna. Bentuk karya sastra pada periodesasi ini berupa
prosa dan kakawin. Karya-karya sastra pada masa ini mendapat pengaruh yang kuat
dari India bahkan hampir seluruh aspek kesastraan jawa kuna berasal dari
India.Hal ini dapat terlihat pada contoh contoh kakawin yang mempergunakan
metrum-metrum dari India (Zoetmulder, 1983: 29).
Contoh karya sastra jawa kuna yang terkenal adalah
Kakawin Ramayana dan Kakawin Arjunawiwaha. Berbeda dengan sastra jawa kuna,
selain bentuk prosa sastra jawa Tengahan mengenal bentuk puisi, yakni kidung.
Kidung merupakan karya sastra yang berasal asli dari Indonesia yang menggunakan
bahasa jawa Tengahan. Prosodi dan isi sastra kidung benar-benar asli jawa. Hal
ini dapat dilihat dari teks-teks karya sastra jawa Tengahan seperti Pararton
dan Sudamala. Untuk karya sastra Jawa Baru, karya sastra pada masa ini ditulis
dalam bahasa Jawa Baru. Bentuk puisi yang populer pada masa ini adalah Macapat.
Bersamaan dengan berkembangnya Macapat lahirlah karya-karya sastra yang
mendapat pengaruh keislaman. Selain itu, sastra Jawa Baru juga menuliskan
gubahan yang bersumber pada teks-teks Jawa Kuna seperti Serat Bhratayuda, Serat
Gatotkacasraya, dan Serat Arjunasasrabau.
Berdasarkan periodesasi sastra di atas dapat dilihat
bahwa sastra jawa (tulis) yang telah menempuh perjalanan panjang sejak
penulisan cerita Ramayana Jawa Kuna pada akhir abad IX telah melahirkan
berbagai macam bentuk dan genre sastra. Bentuk dan genre sastra jawa secara
perlahan silih berganti berubah sesuai perubahan masyarakat jawa. Karsono
(2005) dalam bukunya mengatakan bahwa salah satu genre yang mempunyai kedudukan
penting dalam tradisi sastra jawa adalah sastra wulang atau sastra piwulang.
Sastra wulang muncul sejak abad XIV dan lebih berwarna keislaman. Tetapi, pada
masa Surakarta awal sastra wulang sudah merupakan perpaduan antara kebudayaan jawa
dan Islam. Selain sastra wulang ada jenis karya sastra lain yang juga memiliki
makna ajaran, yakni suluk dan wirid. Sastra suluk dan sastra wirid berkaitan
dengan ajaran tasawuf. Suluk dan wirid memiliki matra religi (terutama Islam),
sedang wulang lebih bermatra sosial. Selain sastra wulang, sastra suluk, dan
sastra wirid terdapat pula genre karya sastra lain yaitu babad. Istilah babad
dalam tradisi jawa menunjuk pada sastra yang mengandung unsur sejarah, contoh
babad misalnya Babad Tanah Jawi, Babad Demak, dan Babad Blambangan. Genre-genre
sastra yang telah disebutkan di atas banyak terdapat di dalam naskah jawa. Pada
zaman dahulu naskah tidak diproduksi secara massal untuk tujuan komersial. Oleh
karena itu bagi mereka yang menginginkan teks tertentu, mereka akan menyalin
teks tersebut atau menyuruh orang lain yang memiliki keahlian dan kepandaian
dalam menyalin teks. Tempat dilakukannya penulisan dan penyalinan teks disebut skriptorium.
Berdasarkan (Karsono, 2008:66) secara garis besar,
skriptorium di jawa dibagi atas skriptorium keraton dan skriptorium
non-keraton. Yang dimaksud keraton adalah istana-istana jawa, sedang luar
keraton adalah pusat pusat kegiatan budaya seperti pesantren, pedesaan, dan
berbagai tempat di pesisir utara jawa. Teks produksi skriptorium pesisiran
memiliki kekhasan dalam bahasa, aksara, dan isi. Bahasa yang digunakan adalah
bahasa jawa pesisiran, aksara yang digunakan adalah aksara pegon disamping aksara jawa, dan isinya menunjukkan warna keislaman
meskipun tidak seluruhnya. Pada penelitian ini penulis fokus pada karya sastra
jawa skriptorium keraton, berupa serat wulang.
Salah satu contoh teks sastra jawa skriptorium keraton
adalah Serat Wulangreh karya dari Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Pakubuwana
IV. Serat Wulangreh adalah karya sastra yang berisi piwulang, pembelajaran, atau pendidikan
yang selesai ditulis oleh Pakubuwana IV pada hari Ahad tanggal 19 Besar 1735
tahun Dal, windu Sancaya, wuku Sungsang
atau tahun 1808. Serat ini merupakan salah satu percikan semangat kekratonan
dan gambaran pemikiran raja tentang masalah-masalah politik pemerintahan,
kekuasaan dan etika yang tak terlepas dari pandangan jawa secara umum.
Mempelajari bahasa tentunya tidak lepas dari ilmu yang
melandasinya. Kajian ilmu bahasa yang sesuai untuk mengupas Serat Wulangreh
adalah pragmatik. Pragmatik sebagai salah satu bidang ilmu linguistik,
mengkhususkan pengkajian pada hubungan antara bahasa dan konteks tuturan.
Levinson (dalam Rahardi, 2003:12) berpendapat bahwa pragmatik sebagai studi
perihal ilmu bahasa yang mempelajari relasi-relasi antara bahasa dengan konteks
tuturannya. Konteks tuturan yang dimaksud telah tergramatisasi dan
terkodifikasikan sedemikian rupa, sehingga sama sekali tidak dapat dilepaskan
begitu saja dari struktur kebahasaannya. Menurut Tarigan (1985:34) pragmatik
merupakan telaah umum mengenai bagaimana caranya konteks mempengaruhi cara
seseorang menafsirkan kalimat. Pendapat lainnya disampaikan Leech (1993:1)
bahwa seseorang tidak dapat mengerti benar-benar sifat bahasa bila tidak
mengerti pragmatik, yaitu bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi.
Pernyataan ini menunjukan bahwa pragmatik tidak lepas dari penggunaan bahasa.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud pragmatik
adalah telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa yang menghubungkan serta
menyerasikan kalimat dan konteks. Namun dihubungkan dengan situasi atau konteks
di luar bahasa tersebut, dan dilihat sebagai sarana interaksi atau komunikasi
di dalam masyarakat. Bahasa dan pemakai bahasa tidak teramati secara individual
tetapi selalu dihubungkan dengan kegiatan dalam masyarakat. Bahasa tidak hanya
dipandang sebagai gejala individual tetapi juga gejala sosial. Dari uraian
diatas peneliti tertarik mengupas Serat Wulangreh dari sisi nilai pendidikan
karakter dikaji secara pragmatik.
Secara garis besar, Serat Wulangreh berisi tentang ajaran
untuk memilih guru, kebijaksanaan dan bergaul, kepribadian, tema tata krama,
ajaran berbuat baik kepada orang lain, ketuhanan, berbakti kepada pemerintah,
pengendalian diri, tema kekeluargaan, tema keselamatan, keikhlasan dan
kesabaran, beribadah dengan baik, serta ajaran tentang keluhuran. Selain isinya
yang penuh dengan nilai pendidikan karakter, Serat Wulangreh secara struktur
penulisan sangat memperhatikan unsur estetik. Keindahannya terdapat pada ritma
dan rima serta bunyi bahasa meliputi purwakanthi guru swara,
purwakanthi guru sastra, dan purwakanthi guru basa / lumaksita.
Pemahaman tentang diksi (pemilihan kata), aliterasi, pengimajian, kata konkret,
bahasa figuratif, dan metrum semua terdapat dalam Serat Wulangreh.
Penelitian ini mengambil judul nilai pendidikan
karakter dalam Serat Wulangreh karya Pakubuwana IV (kajian Pragmatik).
Penelitian sebelumnya yang mungkin relevan adalah tesis dengan judul kajian
tema, nilai estetika dan pendidikan dalam Serat Wulangreh karya Pakubuwana IV
oleh Yuli Widiyono 2010. Penelitian ini difokuskan pada pengungkapan Tema,
Estetika, dan Nilai Pendidikan dalam Serat
Wulangreh melalui
pendekatan Struktural.
Penelitian berikutnya yaitu artikel yang ditulis
oleh Aris Wuryantoro yang berjudul Pragma-Semiotics Competences in
Wulangreh Book (Wulangreh dalam kajian pragma-semiotik) yang
isinya yaitu mengupas tentang Tanggap ing sasmita masyarakat jawa yang
tertuang dalam Serat Wulangreh. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk
menganalisis Serat Wulangreh karya Sri Paku Buwana IV khususnya pada tembang
Kinanti 1 dengan pendekatan pragmatik dan semiotik. Tulisan ini menggunakan
metode penelitian kualitatif deskriptif dengan simak catat yang bersumber pada
dokumen tembang Kinanti 1 karya Sri Paku Buwana IV. Hasil analisis menunjukkan
bahwa tembung “tanggap ing sasmita amrih
lantip” dalam Serat Wulangreh sarat akan tuturan yang menunjukkan adanya
piwulang (pengajaran) kompetensi pragmatik dan semiotik baik untuk penutur
maupun mitra tutur.
Dari dua kajian relevan yang membahas tentang serat
wulangreh tersebut, penelitian masuk ke dalam kategori penelitian terbaru
karena membahas tentang nilai pendidikan karakter dalam serat wulangreh
kemudian dikaji dengan Pragmatik. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk
menjabarkan atau mendeskripsikan secara pragmatik tentang (1) Pendidikan karakter untuk
diri sendiri (perseorangan) (2) Pendidikan karakter dalam keluarga (3) Pendidikan karakter dalam berinteraksi sosial (4) Pendidikan
karakter dalam bernegara (5) Pendidikan
karakter dalam beragama.
B.
KAJIAN TEORI
1.
Pengertian Nilai
Nilai
adalah sifat-sifat atau hal-hal yang penting dan berguna bagi
kemanusiaan. Sementara itu, Mardiatmadja
(1986:55) menyatakan bahwa nilai merujuk pada sikap orang terhadap sesuatu hal
yang baik. Nilai-nilai dapat saling berkaitan membentuk suatu sistem antara
satu dengan yang lain, kohern dan mempengaruhi segi kehidupan manusia. Hal senada juga
diungkapkan The Liang Gie (1982:159) yang berpendapat bahwa nilai adalah sesuatu
yang menimbulkan minat (interest), sesuatu yang
lebih disukai (preference), kepuasan (satisfaction), keinginan (desire), kenikmatan (enjoyment). Nilai selalu menjadi ukuran dalam
menentukan kebenaran dan keadilan, sehingga tidak akan pernah lepas dari sumber
asalnya yaitu berupa nilai ajaran agama, logika, dan norma-norma yang berlaku
dalam masyarakat. Nilai merupakan suatu konsep, yaitu pembentukan mentalita
yang dirumuskan dari tingkah laku manusia sehingga menjadi sejumlah anggapan
yang hakiki, baik dan perlu dihargai sebagaimana mestinya.
2.
Pengertian Pendidikan
Kata edukasi berasal dari
bahasa Inggris educate, yang berarti
mengasuh atau mendidik, education artinya pendidikan. Montessori
(dalam Qomar, 2005: 49) menyatakan bahwa pendidikan memperkenalkan cara
dan jalan kepada peserta didik untuk membina dirinya sendiri. Rubiyanto (2004:
21) menyatakan pendidikan sebagai seni mengajar karena dengan mengajarkan ilmu,
keterampilan dan pengalaman tertentu, orang akan melakukan perbuatan kreatif.
Mendidik tidak semata-mata teknis, metodis dan mekanis mengkoperkan skill
(psikomotorik) kepada anak tetapi merupakan kegiatan yang berdimensi tinggi dan
berunsur seni yang bernuansa
dedikasi (kognitif), emosional, kasih sayang dalam upaya membangun dan
membentuk kepribadian (afektif). Menurut Reisman (dalam Rubiyanto, 2004:20)
pendidikan adalah kegiatan yang harus berwujud lembaga yang mampu counter
cyclical, yaitu sekolah harus lebih banyak mengajukan dan
menanamkan nilai dan norma-norma yang tidak banyak dikemukan oleh kebanyakan
lembaga sosial yang ada di masyarakat. Sekolah harus bertindak sebagai agent
of change and creative. Menurut Sisdiknas (dalam
Rubiyanto, 2004:21) pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
menciptakan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagaman, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, sikap sosial dan ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
3.
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter
adalah pendidikan budi pekerti yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan
(feeling),
dan tindakan (action). Pendidikan karakter merupakan upaya yang sengaja
dirancang untuk membangun dan mengembangkan nilai-nilai moral dan perilaku.
Ajaran-ajaran moral dan perilaku sebenarnya telah lama dikenalkan dan diajarkan
oleh masyarakat jawa melalui produk-produk budaya jawa. Sejak dulu masyarakat jawa
telah mengajarkan ajaran moral dan diwariskan kepada generasi sekarang untuk
pembinaan budi pekerti. Ajaran-ajaran moral oleh orang jawa tidak hanya
disampaikan melalui bahasa tutur, akan tetapi disampaikan juga melalui berbagai
simbol budaya orang jawa, salah satu diantaranya adalah melalui tembang
Macapat. Melalui syair muatan pendidikan karakter disampaikan dalam bait-bait tembang
Macapat. Serat Wulangreh karya Paku Buwana IV merupakan salah satu karya sastra
yang memiliki muatan pendidikan karakter. Pesan moral pendidikan karakter
ditulis oleh Paku Buwana IV sepanjang sebelas pupuh tembang Macapat dan dua
pupuh Tembang Tengahan.
4.
Serat
Wulangreh
Ditinjau secara etimologi
Wulangreh berasal dari dari rangkaian dua kata yaitu Wulang yang berarti: wuruk, pitutur ‘ajaran
tentang kebaikan, memberikan
peringatan supaya tidak melakukan perilaku yang tidak baik). Dan reh yang
berarti Reh dalam Bahasa Jawa nggulewentah tata
kapraja, tatapraja atau
pemerintahan (Kamus Baoesastra Djawa). Dengan demikian Serat Wulangreh memiliki
pengertian sebuah karya sastra yang berisi pengetahuan untuk dijadikan bahan
pengajaran untuk mencapai keluhuran hidup atau pelajaran hidup supaya selamat.
Serat Wulangreh selesai ditulis pada tanggal 19 besar hari ahad kliwon tahun
dal,1735 mangsa kawolu, windu
sancaya,wuku sungsang atau sekitar dua belas
tahun sebelum Pakubuwana IV wafat. Semula Serat Wulangreh diperuntukkan bagi
kalangan keluarga Keraton supaya dalam menjalani hidup mampu menunjukan
sikap-sikap yang utama, namun kemudian sampai juga kepada masyarakat/rakyat di
luar Keraton melalui abdi dalem yang tinggal di luar Istana, sehingga
bermanfaat juga bagi masyarakat dan berlaku sampai kapan saja. Serat Wulangreh,
karya jawa klasik bentuk puisi tembang Macapat, dalam bahasa jawa baru ditulis
tahun 1768 – 1820 di Keraton Kasunanan Surakarta. Isi teks tentang ajaran etika
manusia ideal yang ditujukan kepada keluargaraja, kaum bangsawan dan hambadi
keraton Surakarta. Ajaran etika yang terdapat di dalamnya merupakan etika yang
terdapat di dalamnya merupakan etika yang ideal, yang dianggap sebagai pegangan
hidup yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat jawa pada waktu itu, khususnya
dilingkungan Keraton Surakarta. Bahasa dalam Serat Wulangreh yang
sederhana, memudahkan pemahaman terhadap isi yang terkandung dalam bait-bait
tembang.
Teks Serat Wulangreh
terdiri atas tiga belas pupuh tembang, diantaranya: tembang Dhandhanggula,
tembang Kinanthi, tembang Gambuh, tembang Pangkur, tembang Maskumambang,
tembang Megatruh, tembang Durma, tembang Pucung, tembang Megatruh, tembang
Mijil, tembang Asmaradana, tembang Sinom, tembang Wirangrong, tembang Girisa. Dari
peninggalan Pakubuwana kita dapat meresapi dan mempelajari nilai karakter dan
nilai moral yang terkandung dalam rangkaian kata-kata yang indah yang
dituliskan dalam bentuk Serat.
C.
METODE PENELITIAN
Metode
penelitian yang digunakan dalam mengkaji Serat Wulangreh karya Pakubuwana IV adalah
metode penelitian kepustakaan artinya menelaah data yang berupa buku-buku. Pada
penelitian ini menggunakan jenis penelitian karya sastra dengan menggunakan
pendekatan pragmatik. Secara garis besar definisi pragmatik tidak dapat
dilepaskan dari bahasa dan konteks. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
pragmatik merupakan bidang yang mengkaji tentang kemampuan penutur untuk
menyesuaikan kalimat yang diujarkan sesuai dengan konteksnya. Sehingga,
komunikasi dapat berjalan dengan lancar. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa
kemampuan berbahasa yang baik tidak hanya terletak pada kesesuaian aturan
gramatikal tetapi juga pada aturan pragmatik. Beberapa hal yang dibahas dalam
ilmu pragmatik, antara lain tuturan, peristiwa tutur, tindak tutur, dan jenis
tindak tutur. Maka dari itu penelitian ini lebih mengerucut kepada peristiwa
tutur yang terdapat pada Serat Wulangreh karya Pakubuwana IV.
Teknik
pengumpulan data yang dilaksanakan oleh peneliti yaitu dengan melakukan studi
pustaka untuk mencari dan mengumpulkan bahan dan informasi dari kepustakaan
yang berkaitan dengan objek yang diteliti (Faruk, 2012: 56). Selanjutnya yang dilakukan oleh peneliti yaitu teknik simak, kegiatan
pengumpulan data dari hasil simakkan catatan-catatan yang berkaitan dengan
objek penelitian. Kemudian yang terakhir yaitu teknik catat, guna menyimpulkan
hasil pustaka dan menyimak dari objek yang diteliti.
Proses analisis yang
dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan tiga tahapan: (1) pengumpulan data,
(2) reduksi data, dan (3) penyajian data. Pengumpulan data pada penelitian ini
dilakukan dengan mencari atau menggali nilai nilai pendidikan karakter
yang terkandung dalam pupuh pupuh tembang macapat yang ada dalam serat
wulangreh dan kemudian dikaji secara pragmatik. Langkah selanjutnya yang akan dilakukan yaitu reduksi
data. Data yang selanjutnya akan direduksi sesuai kelompok sesuai dengan
klasifikasi atau jenis dari klasifikasi data yang sudah
ditentukan.
Setelah data terkumpul dan direduksi, maka data akan danalisis secara pragmatik sehingga menghasilkan sebuah gambaran atau
pemaknaan tentang nilai pendidikan karakter dalam serat wulangreh karya
Pakubuwana IV.
D.
HASIL PENELITIAN
DAN
PEMBAHASAN
Hasil
analisis yang diperoleh dalam penelitian Nilai Pendidikan Karakter dalam Serat
Wulangreh Karya Pakubuwana IV kajian pragmatik ini antara lain: (1) Pendidikan karakter untuk diri
sendiri (perseorangan) (2) Pendidikan karakter dalam keluarga (3) Pendidikan karakter dalam berinteraksi sosial (4) Pendidikan
karakter dalam bernegara (5) Pendidikan
karakter dalam beragama
1.
Pendidikan
karakter untuk diri sendiri (perseorangan)
Nilai karakter
perseorangan yaitu nulai-nilai karakter yang diperlukan setiap perseorangan dan
dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun nilai karakter perseorangan
dalam Wulangreh yaitu; bersikap
Jujur, menjaga perkataan dalam berbicara, tidak
sombong, rendah hati, rasa ingin tahu dan bersifat kritis terhadap
pengetahuan. Tertulis dalam beberapa pupuh di bawah ini;
Aja
nganti kabanjur
Sabarang
polah kang nora jujur
Yen kabanjur sayekti kojur tan becik
Becik ngupaya iku
Pitutur ingkang sayektos
(gambuh 2)
Artinya:
jangan sampai terlanjur
setiap ulah yang tidak jujur
kalau terlanjur
sungguh susah,dan tidak baik
lebih baik carilah
nasehat baikdan benar
Den
samya marsudeng budi
Wiweka
dipun waspaos
Aja
dumeh bisa muwus
Yen
tan pantes ugi
Sanadya mung sekecap
Yen
tan pantes prenahira
(Wirangrong 1)
Artinya
Belajarlah budi
pekerti
Rasa tanggap
diperhatikan
Jangan asal bisa
bicara
Bila tak pantas juga
Meski hanya sekata
Bilatak pada tempatnya
Rowang sapocapan ugi,
Kang
pantes ngajak calathon,
Aja
sok metuwo wong celathu,
Ana
pantes ugi,
Rinungu
mring wong kathah,
Ana
satengah micara.
(Wirangrong 3)
Artinya:
Rekan berbicara juga
Yang pantas diajak bicara
Jangan menyela orang bicara
Akan pantas juga
Didengar orang lain
Ditengah pembicaraan
Lawan
maning ing pituturingsun
Yen
sira amaca
Layang
sabarang layanging
Aja
pijer katungkul ningali sastra
(Pocung 17)
Artinya :
Dan masih banyak lagi jangan ragu
Kalau kau membaca
Tulisan segala
Jangan selalu terpesona dengan sastra
Ceritane
ala becik dipun weruh
Nuli
rasakna
Layang
iku saunining
Den
karasa kang becik sira anggoa
(Pocung 18)
Artinya:
Ceritanya baik atau buruk harus tahu
Lalu rasakan
Isi dalam tulisan ini
Dirasakan yang baik engkau pakai
2.
Pendidikan karakter dalam keluarga
Nilai karakter dalam keluarga adalah nilai karakter yang dilakukan dalam lingkungan keluarga. Dalam Wulangreh
nilai karakter yang bisa
diambil yaitu; mentaati perintah orang tua, hidup rukun, memberi nasehat pada
yang muda. Tertulis dalam beberapa pupuh di bawah ini:
Wong tan manut tuture wong tuwa ugi
Pan nemu duraka
Ing donya tumekeng akhir
Tan wurung kasurang-surang
(Maskumambang 5)
Artinya:
Orang yang tak patuh nasihat orang tua
Kan dapat durhaka
Didunia maupun diakhirat
Nanti kan terlunta-lunta
Aja kaya sadulur memanise dipun runtut,
Aja kongsi pisah,
Ing samubarang karyeki,
Yen arukun dinulu katon prayoga.
(Pocung 4)
Artinya:
Saudara dan keluarga hendaknya rukun
Jangan sampai pisah
Dalam segala
kehendak
Semua rukun
tampak baik
3.
Pendidikan
karakter dalam berinteraksi sosial
Akhlak sosial yaitu akhlak yang
digunakan dalam interaksi
sosial, baik untuk kebaikanya sendiri maupun orang lain. diantara nilai akhlak
sosial yang terdapat dalam Wulangreh yaitu;
mencari teman yang baik, tenggang
rasa, tidak mencela orang, jangan berhianat, menjaga rahasia orang lain,
berbicara pada orang yang dapat dipercaya. Dijelaskan dalam beberapa pupuh di
bawah ini:
Nadyan
asor wijilipun
Yen
kelakuwane becik
Utawa
sugih cerita
Kang
dadi misil
Yen
pantes raketana
Darapon
mundhak ing budi
(Kinanthi 4)
Artinya:
Meskipun rendah derajatnya
Kalau perilakunya
baik
Pengalamanya pun
banyak
Dapat dijadikan contoh
Itu patut kau dekati
Agar bertambah baik tingkah lakumu
Yen
wong anom pan wus tamtu
Manut
marang kang ngadhepi
Yen
kang ngadhep akeh durjana
Tan
wurung bisa anjuti
Yen
kang ngadhep akeh bongsa
Nora
wurung dadi maling
(Kinanthi 5)
Artinya:
Jika orang muda pasti
Menerima yang dihadapannya
Jika hadapi penjahat
Bisa juga terpengaruh
Bila disekitarnya pencuri
Akhirnya bisa mencuri
Aja ana wong bisa tutur
amunga ingsun pribadhi
aja ana amemedha
angrasa pinter ngluwihi
iku setan nunjang-nunjang
tan pantes dipun cedhaki
(Kinanthi 14)
Artinya:
Jangan sembarang berbicara
Tentang dirinya sendiri
Jangan hanya mencela
Merasa pintar sendiri
Itu setan yang mengamuk
Tidak pantas didekati
Rowang sapocapan ugi
Kang
pantes ngajak calathon
Aja
sok metuwo wong celathu
Ana pantes ugi
Rinungu mring wong kathah
Ana satengah micara
(Wirangrong 3)
Artinya :
Rekan berbicara juga
Yang pantas diajak berbicara
Jangan menyela orang bicara
Akan pantas juga
Didengar orang lain
Ditengah pembicaraan
Lan welinge wong ngaurip
Aja ngakehken supaos
Iku gawe reged badanipun
Nanging
masa mangkin
Tan
ana itungan prakara
Supata ginawe dinan
(Wirangrong 4)
Artinya:
Tak patut kalau sok pintar
Makanya kalau merasa
Diarahkan agar tak terlanjur
Bila telah dikatakan
Tak dapat ditarik, maka berhati-hatilah
4.
Pendidikan karakter dalam bernegara
Nilai akhlak dalam negara yaitu
nilai-nilai akhlak yang
digunakan dalam kehidupan bernegara, baik sebagai raja, abdi dalem, atau
rakyat biasa (kawula). Sebagai raja akhlak yang diperlukan yaitu meniru para
leluhur dalam memimpin negara dalam sinom bait 18 dijelaskan:
Marang leluhur sedaya
Nggone nenedha mring widhi
Bisaa ambabonana
Dadi ugere rat jawi
Saking telateneki
Nggone katiban wahyu
Ing mula mulanira
Lakune leluhur dingin
Andhap asor anggone anamur lampah
(Sinom
18)
Artinya:
Para leluhur semua
Selalu memohon kepada Tuhan
Bisa memimpin negara
Jadi teladan tanah jawa
Juga karena tekunnya
Ketika mendapat wahyu
Dalam permulaannya
Laku-nya luhur dahulu
Rendah-hati dalam menjalankan laku
Bagi
seorang abdi negara dalam mengabdi tidak boleh ragu-ragu dan penuh kesetiaan.
Dijelaskan dalam pupuh megatruh bait 1 di bawah ini:
Wong ngawula ing ratu luwih pakewuh
Nora kena minggrang-minggring
Kudu mantep sartanipun
Setya tuhu marang gusti
Dipun purut sapakon
(Megatruh 1)
Artinya:
Mengabdi kepada ratu
lebih sulit
Tidak boleh rag-ragu
Harus mantap pengabdianya
Setia taat kepada gusti
Patuh pada perintahnya
5. Pendidikan karakter dalam beragama
Nilai akhlak dalam
beragama dalam Wulangreh disampaikan dalam beberapa nasihat agar manusia selalu
berpegang teguh pada ajaran Islam, menjalankan syariat, mengerjakan rukun iman,
mendirikan shalat, berpegang teguh pada Qur`an-Hadis, selalu bergaul dengan
orang yang tahu tentang ilmu yaitu ulama’ dan berhati-hati dalam mepelajari
Islam. Tutur Pakubuana IV dalam beberapa pupuh di bawah ini;
Kacek
uga lan kang tanpa ngelmi
Sabarang
kang kaot
Dene
ngelmu iku ingkang kangge
Sadinane
gurokna kariyin
Pan
sarengat ugi
Parabot
kang perlu
(Mijil 25)
Artinya:
Lain pula dengan yang tak berilmu
Segalanya berbeda
Jadi ilmu itu yang dipakai
Tiap hari diajarkan dahulu
Dan syariat juga
Perabot yang perlu
Ngelmu
sarengat puniku dadi
Wawadhah
kang yektos
Kawruh
tetelu kawengku kabeh
Pan
sarengat kanggo lair batin
Mulane
den sami
Brangtaa
ing ngelmu
(Mijil 26)
Artinya:
Ilmu syariat itu menjadi
Wahana yang tepat
Ketiga ilmu termuat semua
Dan syariat untuk lahir batin
Maka mari bersama
Membuka untuk ilmu
Kang wis wruh rasaning kitab
Drapun sira weruha
Wajib mokal ing hyang sukma
Miwah wajibing kawula
Lan mokale kawuruhana
Miwah ta ing tata krama
Sarengat dipun waspada
Batal
karam takokena
(Girisa 5)
Artinya:
Yang telah paham isi kitab
Agar kau ketahui
Wajib, menyimpang kehendak Tuhan
Dan kewajiban manusia
Yang menyimpang ketahuilah
Biasanya tentang tatakrama
Syariat perhatikanlah
Batal haram kau tanyakan
Lamun
ana wong micoreng ngelmi
Tan
mupakat ing patang prakara
Aja
sira age-age
Anganggep
nyatanipun
Saringana
dipun bersih
Limbangen
lan kang patang
Prakara
rumuhun
Dalil
kadis lan ijemak
Lan
kiyase papat iku salah siji
Ana
kang mupakat
(Dandhanggula 5)
Artinya:
Jika ada yang mencoreng ilmu
Tanpa sepakat pada empat hal
Jangan engkau cepat cepat
Menganggap itu nyata
Saringlah benar benar bersih
Samakan dengan empat
Hal yang lalu itu
Dalil hadis dan ijmak
Dan makna yang empat itu, salah satu
Ada dan sepakat
6.
SIMPULAN DAN SARAN
Nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam Serat Wulangreh meliputi:
Nilai dalam karya sastra berupa ajaran luhur, pesan, dan nilai-nilai kehidupan
yang dapat digunakan sebagai bahan piwulang (ajaran). Lebih spesifiknya
menjelaskan mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan meliputi berserah
diri kepada Tuhan, patuh kepada Tuhan, pengakuan adanya kekuasaan Tuhan,
bertaubat kepada Tuhan, bersyukur atas nikmat Tuhan, selalu berdoa kepada
Tuhan, memohon kepada Tuhan. Kemudian didalam Serat Wulangreh juga terdapat nilai
pendidikan karakter terkait hubungan antara manusia dengan sesama meliputi
ajaran memilih guru, berhati-hati dalam bergaul, pergaulan, tata karma, penghormatan,
mengabdi kepada pemerintahan, kekeluargaan, keutuhan keluarga, rajin mencari
ilmu, memberikan nasihat kepada yang muda, menghormati sesama, bersikap
hati-hati dalam berkomunikasi, menghormati orang tua. Selanjutnya nilai
pendidkan moral yang berupa ajaran laku utama untuk diri pribadi meliputi
ajaran tentang pengendalian diri, mengendalikan diri untuk tidak sombong, rajin
dalam bekerja, berhati-hati dalam bertingkah laku, ajaran kejiwaan, mawas diri,
kemantapan dalam mencari ilmu, berperilaku yang baik. Kemudian juga terdapat
nilai yang berhubungan dengan keagamaan meliputi pengakuan adanya kitab
masing-masing agama, sumber-sumber hukum agama Islam, melaksanakan sholat lima
waktu, menjalankan rukun Islam, mengetahui perjuangan para wali, mempercayai
adanya kehidupan setelah kehidupan dunia. Semoga dari dilakukannya penelitian ini, mendorong penelitian sejenis yang
membahas tentang relevansi nilai pendidikan karakter dalam serat wulangreh
dengan pendidikan di masa sekarang.
7. UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih
saya ucapkan sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan
karunianya sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini. Kepada Aris Wuryantoro
dan Dwi Rohmah Soleh yang turut berpartisipasi dan memberikan banyak masukan
dan tambahan sehingga penelitian selesai. Terima kasih juga terucap kepada
semua yang yang turut memberikan semangat dan motivasi.
8.
DAFTAR PUSTAKA
Aristo,
Rahadi. 2003. Media Pembelajaran.
Jakarta : Departemen Pendidikan
Nasional.
Faruk. (2012). Mertode Penelitian
Sastra. Pustaka Pelajar.
Gie, The
Liang. 1982. Asas-Asas Manajemen.
Bandung : Mandar Maja.
Saputra, Karsono H. 2008. Pengantar Filologi Jawa. Jakarta : Wedatama Widya
Sastra.
Leech,
Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik.
Jakarta : Universitas
Indonesia Press.
Mardiatmadja.
1986. Hubungan Nilai dengan Kebaikan.
Jakarta : Sinar Harapan.
Mujamil,
Qomar. 2005. Pesantren: Dari Transformasi
Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi. Jakarta : Erlangga.
Poerbatjaraka
R.M.Ng. 1957. Kapustakaan Djawa.
Jakarta : Djambatan.
Rubiyanto.
2004. Buku Pendidikan Lengkap.
Jakarta : Rineka Cipta.
Tarigan
H.G. 1985. Menulis Sebagai Suatu
Keterampilan Berbahasa. Bandung :
Angkasa.
Zoetmulder
P.J. 1983. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno,
Selayang Pandang. Jakarta
: Djambatan.
Candra Ghulam Ahmad, ngabdi wonten ing Pawiyatan Luhur MTsN 4 Madiun minangka dwija Basa Jawi
+6281236827505
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313