KEBERADAAN MEDIA MASSA BERBAHASA JAWA
oleh Anjrah Lelono Broto
Ilustrasi media berbahasa Jawa (sumber: www.goodnewsfromindonesia.id) |
Membincang keberadaan media massa
berbahasa Jawa tidak bisa dilepaskan begitu saja dari perkembangan sastra Jawa,
terutama di fase Sastra Jawa Modern. Mengingat, kajian tentang sastra Jawa
merupakan kajian yang “malu-malu kucing” dan atau “kucing yang terkadang
malu-maluin”, terkait dengan besarnya pengaruh yang terjadi pada perubahan
masyarakat Jawa terutama sejak awal abad 19, baik sebagai penikmat sastra Jawa modern
maupun penikmat media massa berbahasa Jawa itu sendiri.
Dewasa ini, sastra Jawa modern sendiri mengalami masa surut yang luar
biasa hingga seorang Benedict Anderson (1996:268) membayangkan adanya lubang
hitam dalam sastra Jawa. Sastra Jawa modern lahir-bernafas-berjalan dalam
tekanan problematika identitasnya sendiri. Karya-karya sastra Jawa modern
berada di antara himpitan kebanalan perkembangan sastra Indonesia dan
keadiluhungan budaya dan sastra Jawa klasik dari masa keemasan
kakawin-kakawinan di era Mataram Hindhu hingga serat-seratan di era Mataram
Islam hingga anak-anak kerajaannya (Damono, 2000:397). Sastra Jawa modern
seusia dengan tumbuh-kembang sastra Indonesia modern namun di bawah
bayang-bayang kemegahan sastra Jawa kuno.
Pada tahun 1920-an, Balai Pustaka merupakan lembaga yang menjadi sumbu
utama denyut nadi kesusatraan di tanah air. Lembaga yang berada di bawah
naungan pemerintah kolonialis Belanda ini menerbitkan media massa berbahasa
Jawa, namanya Kejawen (1926). Pun
begitu, sebelumnya telah beredar beberapa media massa berbahasa Jawa independen
yang sempat dicap pemerintah kolonialis Belanda sebagai “bacaan liar”, di
antaranya adalah Bramartani (1855), Puspitomoncowarni (1855), Retna Dumilah (1895), Darmo Kondo (1903), dan Sarotama (1911).
Sri Widati (2001:183-186) juga mencatat bahwa media massa berbahasa Jawa lain seperti Panjebar Semangat, Pusaka Surakarta, dan Swara Tama (yang kemudian
bermetamorfosis menjadi Sedya Tama). Sejalan dengan spirit pendirinya, Dr
Soetomo, Panjebar Semangat membawa
misi tunggal sebagai wahana penyampaian pesan-pesan kebangsaan Indonesia yang
masih berada dalam fase embrio. Sedangkan, wahana penyampaian pesan-pesan
relijius menjadi pilihan karakter Pusaka
Surakarta (Islam) dan Swara Tama (Katolik).
Sedangkan, di tahun 1950-an, kota Surabaya menjadi saksi menggeliatnya
media-media massa berbahasa Jawa seperti Jaya
Baya, Tjrita Tjekak, Kekasihku, Pustaka Roman, dan Tjendrawasih. Selanjutnya, di tahun 1960-an hingga sekarang
lahir-tumbuh-berkembang (bahkan mati) media-media massa berbahasa Jawa lainnya
seperti Kembang Brayan, Jaka Lodhang,
Parikesit, Kumandhang, dll.
Sebagai catatan menarik yang patut digarisbawahi sederet nama media
massa berbahasa Jawa dari waktu ke waktu di atas senantiasa menyediakan
rubrikasi karya-karya fiksi berbahasa Jawa. Rubrikasi seperti Tjrita Tjekak, Watjan Botjah, Tjrita Samboeng, Taman Geguritan, Jagading Wanita,
Alaming Lelembut, dll menjadi saksi perkembangan sastra Jawa modern. Bahkan
novel berbahasa Jawa pertama yang berjudul Sandal
Jinjit Ing Sekaten Sala (Sri Susinah, 1935) diterbitkan setelah sebelumnya
dimuat secara berkala dalam rubrik Tjrita
Samboeng di Panjebar Semangat.
Begitu pula dengan novel-novel berbahasa Jawa lainnya seperti Gumebyar Lir Kencana Sinangling (Br
Yudyatma, 1939), Sawabe Ibu Pertiwi (Anpirasi,
1939), maupun Gagak Gaok (Isbandi
Paramayudha, 1939).
Artinya keberadaan rubrikasi-rubrikasi bernuansa fiksi inilah yang
menjadi petanda betapa eksistensi media massa berbahasa Jawa memberikan
pengaruh yang signifikan dalam perkembangan sastra Jawa modern. Dari
rubrikasi-rubrikasi ini pula kemudian dikenal nama-nama sastrawan Jawa modern
seperti Senggono, Soeparto Brata, Satim Kadaryono, Subagio I.N., Ani Asmara,
Poer Adhi Prawoto, Tamsir AS, Esmiet, St. Iesmaniasita, Djajus Pete, Tengsoe
Tjahjono, Aming Aminuddin, dan Tjahjono Wiedarmanto, dll. Sebagai catatan
tambahan, beberapa sastrawan Jawa modern tidak hanya menelurkan karya sastra
berbahasa Jawa, namun mereka juga menulis menggunakan bahasa Indonesia sehingga
mereka juga dimasukkan dalam gerbong sastrawan Indonesia (meski tidak masuk
dalam daftar 99 sastrawan berpengaruh versi Jamal D. Rahman dkk beberapa waktu
lalu).
Dewasa ini hanya tersisa tiga media massa berbahasa Jawa yang mampu
menjaga denyut eksistensinya, yaitu Jaya
Baya, Panjebar Semangat, dan Jaka
Lodhang. Beruntungnya kita, dua nama yang pertama berkantor di Surabaya.
Dewasa ini, kita juga patut mengapresiasi eksistensi rubrikasi berbahasa Jawa
di media massa-media massa berbahasa Indonesia seperti Jagad Jawa (Solo Pos), Sang
Pamomong (Suara Merdeka), dan Mekarsari (Kedaulatan Rakyat) yang
menjadi media lahir-perkembangan sastrawan-sastrawan Jawa modern generasi baru.
Raibnya eksistensi sederet nama media massa berbahasa Jawa merupakan buah pahit
globalisasi yang semakin meminggirkan budaya-bahasa daerah, termasuk di
antaranya bahasa Jawa. Keterpinggiran ini diikuti dengan menurunnya pengguna
bahasa Jawa yang berimbas pada menurunnya pula penulis-pembaca sastra Jawa
modern.
Menilik pada besarnya pengaruh keberadaan media massa berbahasa Jawa
dalam lahir-tumbuh-kembang sastra Jawa modern, mari kita secara bijak
mengingatkan diri sendiri untuk membeli-membaca media massa berbahasa Jawa guna
menjaga ke-Jawa-an kita yang tengah terkikis.
*****
_________
Anjrah Lelono Broto, aktif menulis esai, cerpen, serta puisi di sejumlah media masa. Tengah dirudung bermacam problema dan merasa sangat terbantu jika ada yang sudi-sedia memberikan transferan. Kontak FB: anjrahlelonobroto, dan Whatssapp: 085854274197.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313