Ombak menjilat-jilat kaki perempuan sepuh itu, Mbah Tiem namanya kira-kira 75 tahun usianya. Diusia senjanya, ia masih tampak sehat-sehat saja. Di tangan kanannya, ada ember kosong yang senantiasa ia bawa untuk menampung kerang-kerang laut. Diusianya yang telah senja, perempuan itu masih cekatan mengumpulkan kerang-kerang sebagai santap malamnya. Tidak ada pasir di sana, hanya batu karang keras yang ia temui. Pasir telah lama direnggut dari pantai itu, menjadi adonan semen di pabrik-pabrik, menjadi bangunan di kota-kota, menjadi rumah rumah kredit minim angsuran yang semakin lama semakin serat saja rasanya.
Kaki
telanjangnya mati rasa ketika menginjak batu karang yang tajam, seolah-olah
sudah terlatih puluhan tahun menapaki jejak di bebatuan keras nan tajam
tersebut. Matanya menerawang jauh mengingat masa-masa di mana ombak masih membelai
lembut butiran pasir putih di pinggir pantai itu. Matanya mengerjap, di hatinya
bergelesir suatu harapan.
Kembalilah pasir, kembalilah atas harapan
dan doa.
Ia
menerawang ke pingir pesisir, khayalannya seketika membuat sketsa mini, yang
berlocatan dari ruang ke ruang hampa diingatannya, tentang sebuah pantai dengan
buliran pasir putih lembut dipenuhi kerang dan lokan-lokan. Mata itu mengercap
dan sumber mata air itu meneteskan sebulir air abadi yang sedari dulu ia simpan
untuk laut dan ombak yang menemani kesehariannya. Perih dan pedih melihat
pantai yang dicintainya sudah tak terawat. Di sana sini terserak berbagai macam
sampah masyarakat, plastik, popok bayi, peralatan rumah tangga, botol minuman
dan benda-benda komsumsi manusia yang menjadi pemandangan yang pedih di matanya
yang mulai menua digerus zaman. Lamunan tentang pantai indah di masa kecilnya
langsung tenggelam,bayangannya tentang pantai dengan pasir putih halus, semilir
angin dan ombak menyapu pasir-pasir yang senantiasa bergeser di kakinya juga tenggelam
ke palung laut, begitu melihat dan menafsir tubuh laut yang selalu dicintainya.
Kotor!
Matanya
awas, sambil lalu sigap memungguti sampah-sampah yang berserakan di tepi
pantai. ia singkirkan sampah-sampah tersebut, kemudian dikumpulkan menjadi
satu. Tak terasa tumpukan sampah itu semakin banyak, bukan hanya kali ini saja,
tiap hari ia selalu melakukan hal kecil ini. Berharap laut yang dicintainya
kembali dengan segala kerinduan.
Dengan
mata dan raut wajah yang dipaksakan tersenyum, Ia membakar tumpukan sampah tadi
dengan sayatan hati yang dalam. Sambil tersenyum ia berujar “Hanya ini yang
bisa aku lakukan, tidak banyak, tapi bisa membuatmu bernapas dari sesaknya ton-ton
sampah di dunia ini, tetaplah memberi, meski kutahu kau tersakiti”.
Ia
mencari kerang di sebalik batu karang karang, sesekali pandangannya menembus
laut lepas, kemudian memejamkan mata sejenak. Seolah sedang meresapi sambil merapalkan
mantra, semilir angin dan debur ombak menjadi takbir juga dzikirnya. Mbah Tiem
bangkit, tak terasa embernya belum terisi setengahpun dengan kerang atau lokan,
ia memutuskan untuk berlalu, api melahap habis tumpukan sampah yang sedari tadi
ia bakar, ia tak sekuat tiga puluh tahun silam, saat tubuhnya masih segar
bugar, saat suaminya -orang yang juga mencintai laut- berada di sampingnya
menikmati senja dan fajar bersama.
Sebelum
beranjak pergi ia mengambil sesuatu dibalik gulungan seweknya, kemenyan serbuk yang tak pernah lupa ia bawa, ia taburkan
pada api sambil lalu mulut Mbah Tiem komat-kamit, membaca doa juga
mantra-mantra yang ia ingat. Ia berlalu, meninggalkan laut yang menghidupinya.
***
Setiap
pagi kebiasaan Mbah Tiem adalah pergi ke pantai, memungguti sampah juga
terkadang mengambil kerang, Mbah Tiem pergi ke pinggir laut setiap pagi dan
sore, hari ini ia pergi sangat pagi sekali, setelah shalat subuh Ia bergegas ke
pantai, mencari kerang dan juga mengumpulkan sampah yang mengotori pantai tanpa
pasir itu. Hari ini air laut sedang surut, di beberapa titik tampak butiran
pasir kecil yang muncul ketika air laut surut. Ingatan tentang pasir laut
kembali muncul dalam ingatan. Pasir halus dan lembut itu setiap hari menyapa
telapak kakinya yang kukuh diterpa ombak dan ditusuk karang. Ia segera bergegas
mengumpulkan sampah yang sekiranya bisa dibakar, ia mengambil sesuatu dalam
kantongnya, sebuah korek api bermerek nedite
yang mulai lusuh, minyak gasnya tinggal sedikit, kemudian dengan sekejap ia
mulai memencet-mencet pemantiknya sambil lalu menghalau angin laut yang sering
kali usil mematikan nyala apinya.
Api
membakar tumpukan sampah itu, kemudian perempuan itu mengeluarkan serbuk abu -kemenyan-
lalu ia menaburkan di atas bara api tadi. Mulutnya melafalkan doa-doa dan juga
mantra-mantra yang ia hafal.
Kemudian,
ia memandang ke laut lepas, seperti
biasa hatinya hening diterpa kegelisahan yang mendalam, jangan marah kepada Manusia, mereka bukan orang-orang jahat. Setelah
selesai, ia bergegas mengambil sampah-sampah yang bisa dibawa pulang untuk
dijual atau dijadikan bahan bakar. Ia menjauh dari laut, ombak bergemuruh
pelan, membawa sampah-sampah di tubuhnya menepi, jejak kaki perempuan itu tak
terbaca di atas karang, laut tak bisa mengabadikan langkah kakinya di atas
tubuhnya tanpa sejengkal pun pasir. Tapi jasanya tak pernah padam.
###
Orang-orang
lalu lalang di tepi pantai. Ada yang tenang, ada yang gelisah. Sudah dua hari
mereka tidak berlayar. Ombak sedang tinggi-tingginya. Beberapa memilih untuk
diam di rumah, sebagian memilih untuk memperbaiki jala, sebagian yang lain
mengecek mesin kapal dan sebagian yang lain gelisah karena tak ada kegiatan
lain. Para penambang pasir merasa cemas, tak bisa menambang pasir ke tengah
laut karena ombak tidak seperti biasanya. Ketinggian ombak berdasarkan
informasi dari kelompok nelayan setempat diperkirakan 3 sampai 6 meter dan angin
berhembus sangat kencang akhir-akhir ini. Beberapa orang mencari kerang di
pinggir laut, sebagian yang lain pergi memancing dan sebagian lainnya menjala
ikan di pinggir laut. Beberapa nelayan pemberani masih nekat melayarkan
perahunya meski sudah dilarang oleh otoritas setempatnya, hidup mereka sudah
turun-temurun diamuk ganasnya ombak.
“Kapalnya
Dul Latep karam!” kata seseorang.
Desas-desus
kapal karam di tengah laut yang berlayar tadi pagi setelah subuh langsung
menyebar dari satu telinga ke telinga lain. Dullatep, nelayan setempat nekat
menerjang tingginya ombak untuk mencari ikan di tengah laut. Beberapa nelayan yang
juga nekat melaut melihat perahunya terombang ambing di laut lepas, barangkali
mesinnya mati.
Sekarang
nasib Dullatep dan anaknya masih ditentukan oleh laut juga keahlian navigasi
mereka. Laut tidak pernah mentoleransi kesalahan sekecil apapun. Ombak masih
tinggi saat matahari sudah setinggi bahu orang dewasa, angin masih kencang. Kabar
dari laut masih belum jelas, beberapa orang mulai panik, Dullatep tidak dapat
dihubungi, otoritas setempat tak dapat berbuat banyak. Orang-orang memilih diam
dengan kecemasannya masing-masing berharap ada kabar dari laut sana.
Dari
jauh, Mbah Tiem membawa batok kelapa, di tangan kirinya ia membawa kantong plastik
hitam, entah berisi apa, orang orang di sekitar pantai itu terheran-heran, kira
kira apa yang akan dilakukan perempuan itu. Dengan raut muka datar ia pergi ke
bibir pantai, ombak menerjang karang, beberapa orang mencoba menyapanya ia
hanya tersenyum kecut, senyumnya dipaksakan, beberapa orang mulai khawatir tapi
sebagian yang lain memilih diam, mereka memilih tenggelam dengan pikirannya
masing-masing, menunggu kabar dari laut.
Ketinggian
ombak mencapai tiga meter, saat Mbah Tiem sampai di bibir pantai, beberapa kali
ombak berhasil mencapai badan jalan raya, perempuan itu mencari tempat yang
aman untuk meletakkan barang bawaannya, batok kelapa yang sudah kering itu ia
letakkan di atas batu besar dekat pantai, orang orang masih awas memperhatikan
gerak geriknya, terheran heran apa yang akan dilakukan perempuan tua itu. Angin
semakin kencang berhembus, orang-orang memilih menepi tidak lagi menghiraukan
perempuan itu.
Mbah
Tiem berusaha menyalakan api di atas batok kelapa yang dia bawa. Ia keluarkan
kemenyan dari kantong plastik hitam tadi, seikat bunga, daun pandan yang sudah
diiris, dan botol kecil berisi cairan berwarna merah segar. Setelah berusaha
menyalakan api pada batok itu berhasil, ia menaburi batok tadi dengan kemenyan,
mulutnya komat kamit, setelah selesai, ia beranjak untuk menabur bunga dan daun
pandan ke laut, mulutnya komat kamit, langit muram, angin berhembus kencang, laut
bergemuruh.
Mbah
Tiem membawa batok kelapa tadi, beserta botol berisi cairan merah segar ke tepi
laut, tubuhnya diterpa angin, ia menahan tubuhnya, dengan segala usaha, agar angin
yang terus menerpa tubuh rentanya tidak membuatnya mundur selangkahpun, ia
mencapai bibir pantai, meletakkan batok kelapa dan membuka botol kecil tadi,
lalu menuangnya dengan perlahan, ombak bergemuruh, menjilat jilat kakinya juga
membasahi tubuhnya. Seorang laki-laki terlihat berteriak di belakang Mbah Tiem,
namun tak ia hiraukan, kakinya semakin mendekati pantai, tiba-tiba ombak tinggi
menggulung dari tengah laut ke pinggir membawa apapun yang ada di pinggir
pantai, lelaki itu terkesiap. Tak ada lagi sosok perempuan itu di pinggir laut.
Wajahnya pucat, bibirnya kelu, tubuhnya lemas. Mbah Tiem telah hilang.
Perempuan
renta itu mulai melukis kenang di hati warga sekitar, tentang sebuah keberanian
dan juga pengorbanan. “Jangan sekali-kali
meremehkan laut, laut memberimu hidup, jadilah bijak dengan merumat laut”. Kata-kata
Mbah Tiem membekas dihati disebagian warga.
Beberapa orang sepuh dan warga sekitar membawa beberapa sesaji, berupa
nasi, lauk lengkap dengan sayurnya, buah-buahan bahkan hasil bumi lainnya mendoakan
agar jasad Mbah Tiem segera ditemukan.
“Kita sudah lupa bahwa laut adalah tempat hidup kita yang sesungguhnya, kita lupa bahwa dari lautlah hidup kita berasal. Kejadian hilangnya Mbah Tiem merupakan teguran bagi kita semua untuk tetap merumat laut dengan baik” ujar salah seorang sesepuh desa, yang kemudian diamini oleh warga sekitar. Selanjutnya mereka melarung sesaji tadi ke tengah laut, berharap laut mengembalikan jasad Mbah Tiem.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313