"Jika aku bisa...
kuakan kembali,
kuakan merubah takdir cinta yang pilih..."
Suara sendu Budi Doremi melantunkan Mesin Waktu. Suara nyanyian itu terdengar melalui radio antik, peninggalan almarhum ayah Saidus.
Suara nyanyian itu seakan menegaskan bahwa peristiwa yang telah terjadi kemarin, hanya menyisakan duka lara mendalam yang tak bisa diobati lagi dengan cara apapun.
"Kau tega pergi dengan yang lain. Pergi mencari kesenangan sendiri, tanpa peduli saya masih setia di sini" tulis Saidus di dinding kamarnya dengan sepotong arang.
Santi, kekasih Saidus sejak pergi merantau ke negeri Jiran tiga bulan lalu, tak pernah sekalipun memberi kabar kepada Saidus. Baru pagi tadi seorang pegawai pos mengantarkan sebuah amplop kepada Saidus. Sebuah amplop berisi surat yang setelah dibaca oleh saudara Kaila itu, membuat ia mengunci diri dalam kamar.
"Kaka, bangun dan makan! Saya ada masak opor ayam hutan ni. Tadi Opa Leki ada bagi hasil jeratan". Suara Kaila berulang kali tak digubris sekalipun oleh Saidus.
"Kaila minta maaf. Kemarin sore itu, Kaila sudah putus dengan Maimanus. Kaila masih baik-baik. Maimanus tidak pernah kasih hancur Kaila. Kaila janji akan turuti nasihat Kaka!" Kaila meminta maaf sebab ia mengira Saidus merajuk karena kejadian di pantai kemarin sore.
Kaila salah. Saidus tak sedang marah pada dirinya. Saidus tahu watak Maimanus, sahabatnya itu. Saidus hanya sedang patah hati malam ini. Tapi Saidus tak ingin lagi patah hati malam ini, setelah ia menenggak sebotol air sisa hasil perasaan benang tenun milik Bibi Klara.
Kaila yang merasa tak nyaman dengan sikap Saidus, lalu meminta tolong pada Maimanus untuk mendobrak pintu kamar Saidus. Kaila berteriak histeris. Di lantai kamar itu, tubuh Saidus telah terkapar dengan busa putih keluar dari mulutnya. Saidus tak ingin lagi patah hati malam ini.
Saat melihat keadaan Saidus, Maimanus sahabatnya mengumpat,
"Inikah akibat dari menolak sakit hati, sahabat? Kau buat saya lebih sakit, tapi saya lebih kuat dari kau"
Maimanus tetap bergeming di depan pintu sambil bibirnya mengulum senyum kecut.
(Sewowoto, 11 Maret 2023)
*Mario D. E. Kali, lahir di Kimbana, Belu, Nusa Tenggara Timur. Penulis Buku Puisi "Tanda Mata" (Jakarta: Teras Budaya, 2020). Nomor WA 082299740919.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313