005

header ads

Karena Seorang Guru, Cerpen: Yin Ude

Signature
KARYA BERKUALITAS BINTANG LIMA


KARENA SEORANG GURU

Karya Yin Ude

Maaf RUSTAM, Anda tidak lolos Seleksi CASN 2023 (PPPK Guru).

Berulang, sampai tiga kali Rustam membaca kalimat di layar ponselnya itu. Tak perlu ia melakukannya lagi, sebab sudah sangat jelas, dan kini kalimat itu pun telah tertutup oleh sesuatu yang lain: bayangan hari-hari depan, yang kembali seperti hari-hari kemarin, hari-hari sejak ia memutuskan menjadi guru honorer.

Lelaki empat puluh tahunan yang duduk di kursi teras itu menghela nafas, mencoba menghadang perih yang mulai merayapi dadanya. Dan ia harus mengulang sampai empat kali agar perih itu reda.

Tak sepenuhnya reda. Perih itu kembali merayap bahkan memenuhi dadanya karena wajah Sri, isterinya hadir. Suara perempuan itu terngiang pula.

“Mudah-mudahan Bapak lulus P3K tahun ini. Kalau lulus, ada harapan tahun depan kita bisa mengambil pinjaman di bank buat biaya berobat Ririn.”

Rustam terpekur karena wajah isteri dan suaranya itu. Matanya berkaca saat muka pucat dan tubuh kurus Ririn, anak satu-satunya yang diopname karena sakit ginjal membayang pula.

“Maafkan aku, Emak,” rintihnya sedih. “Aku kembali tidak bisa memenuhi harapanmu. Lagi-lagi aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk anak kita.”

Tubuh Rustam tersandar lemas di kursi. Ia yang setengah jam lalu hendak pergi ke rumah sakit kini tiba-tiba tak sanggup untuk bertemu isterinya.

Ia tidak sanggup nanti akan bertemu tatap dengan Sri yang matanya berisi pertanyaan, “bagaimana pengumumannya, Pak? Luluskah?”

Rustam merasa tak akan sanggup untuk memberitahukan bahwa dirinya tidak lulus, melihat wajah orang tersayangnya itu kecut karena harapannya rubuh.

Ia kembali menghela nafas, mencoba menguasai diri dan lekas-lekas menyeka air mata karena takut jangan-jangan ada orang lewat depan rumah dan melihatnya menangis.

Dipaksakan tubuhnya untuk bangkit. Berdiri, ia menggembok pintu, kemudian menuju motornya yang diparkir di depan teras. Hendak ia nyalakan mesinnya.

“Ya, Allah…,” bisiknya seraya menggeleng-geleng kecewa.

Ia baru ingat bahwa tangki motor itu kosong, tak ia isi sejak semalam, karena tak beruang.

Ia melangkah keluar halaman. Tapi tak tahu harus kemana.

***

            Terik matahari memanggang kota Sumbawa Besar. Aspal berkilat dan menampakkan fatamorgana. Kendaraan lalu lalang melintasinya. Melintasi tatapan Rustam yang sedang menumbuk dirinya yang berdiri di depan papan tulis.

            Tujuh belas tahun sudah ia di sana, sebagai Pak Guru. Mengajarkan keterampilan, prakarya, pelajaran yang berubah-ubah namanya tapi yang diajarkan tak jauh berbeda. Tak bisa ia hitung lagi sudah berapa kali sekolahnya meluluskan siswa. Nama-nama siswa lulusannya pun sudah banyak yang ia lupa. Hanya jika bertemu ia ingat wajahnya. Seperti kemarin saat tes, ada lima orang yang satu ruangan dengannya, walaupun berbeda formasi mata pelajaran yang diambil. Rustam berusaha berbesar hati mengulurkan tangan saat mereka menciumnya. Ia sangat malu bersaing dengan anak-anak yang pernah menjadi siswanya.

            Kabarnya, mereka semua lulus sekaligus mendapatkan penempatan. Sedang Rustam hanya bersatus lulus nilai ambang batas, kalah perangkingan, hingga tak mendapat penempatan, yang sama saja dengan tidak lulus. Mereka akan segera mendapat SK PPPK, sedang Rustam pastinya tidak.

            Bukan, bukan karena Rustam rendah nilainya. Ia berhasil meraih nilai terbaik ketiga di antara saingannya. Namun dari dua puluh enam orang saingannya, ada delapan orang honorer yang berstatus prioritas kelulusan pertama yang tidak lagi mengikuti tes karena sudah otomatis lulus dan tiga orang berprioritas kelulusan kedua yang salah satunya pasti lulus asalkan nilainya memenuhi ambang batas. Sedang Rustam statusnya adalah prioritas kelulusan ketiga. Sementara kuota lulusan hanya sembilan orang. Jadilah nilai tinggi Rustam tak berarti apa-apa. Ia harus digeser oleh peserta tes prioritas pertama dan kedua.

            Lelaki itu menggeleng-geleng saat menyadari begitu sulitnya ia mengejar kelulusan dalam tes yang telah ia ikuti.

            “Kuota hanya sembilan orang. Delapan peserta sudah otomatis lulus. Berarti tinggal satu kuota yang kuperebutkan dengan peserta lain, termasuk tiga orang prioritas kedua yang hanya perlu mendapatkan nilai yang memenuhi ambang batas, tak peduli lebih rendah dari saingannya. Duh…,” keluhnya.

            Ia selalu bermimpi dan hingga kini ingin sekali pemerintah menghargai umur dan masa kerjanya dengan mengangkatnya tanpa melalui tes lagi. Sungguh, otaknya sudah terlalu dipenuhi beban untuk dipaksa belajar dan menjawab soal!

            Lelaki yang kini tertunduk lesu di halte itu merasa jiwanya letih. Sangat letih. Terlebih bayangan hari-hari depan, yang kembali seperti hari-hari kemarin, hari-hari selama tujuh belas tahun sejak ia memutuskan menjadi guru honorer kembali mendera batinnya.

            Ia dan keluarganya akan tetap tinggal di rumah kecil yang bertahun- tahun tak pernah bisa dipugar karena tak ada biaya, akan tetap nyambi sebagai ojek yang harus ia jalani sepulang sekolah hingga malam, sebab honor pertiga bulannya jauh dari cukup, yang membuat ia lambat tidur karena baru setelah itu bisa mempersiapkan bahan mengajar untuk esok hari, akan tetap tak bisa memberi nafkah yang lebih baik kepada isteri dan anaknya, akan tetap tak bisa bermimpi menyekolahkan Ririn sesuai cita-citanya menjadi perawat, dan yang paling menyesakkan dadanya adalah ia kembali tak akan bisa menyediakan biaya untuk pengobatan terbaik bagi anaknya yang terus tergolek lemah itu.

            Rustam mendongak, memandangi langit yang begitu cerah. Tapi yang ia lihat adalah dirinya yang melayang-layang di awang-awang. Dipermainkan angin deras yang begitu dingin. Dingin sekali.

            “Pemerintah tak seperti omongannya,” keluhnya lagi. “Tak ada gunanya aku capek-capek mengajar.”

            Tiba-tiba ia menemukan sebuah keputusan, yang entah kenapa, membuatnya lega, puas. Keputusan untuk berhenti menjadi guru.

***

            Jam setengah tiga sore. Berulang kali ponsel di saku celana Rustam berdering. Berulang kali ia tarik dan perhatikan. Berulang ia masukkan kembali ke tempatnya semula sebab yang menelepon adalah isterinya. Rustam belum sanggup untuk bicara dengan perempuan itu.

            Ia sekarang berjalan menyusuri trotoar, tetap tak tahu harus kemana. Tak tahu pula sampai kapan ia akan menghindari Sri. Padahal beberapa saat lalu terbit niatnya untuk menyampaikan keputusannya berhenti menjadi guru.

            Lagi-lagi ketidaksanggupannya melihat wajah isterinya itu membuat dirinya tak berani mendatangi rumah sakit.

            “Bisakah pula Sri menerima keinginanku untuk berhenti?”

            Pertanyaan itu menambah sesak jiwanya, yang kian kalut.

            Tak sadar ia sedang berjalan mendekati sekolahnya.

            “Selamat sore, Pak. Mau kemana?”

            Rustam tersentak. Ia yang berjalan tertunduk tak menyadari ada anak berseragam sekolah menghalanginya, hendak bersalaman.

            “Eh, Heri…,” sang guru tergagap. “Eh, jalan-jalan saja. Eh, kamu belum pulang ke rumah?”

            “Baru mau pulang, Pak. Tadi ikut les dulu untuk persiapan olimpiade matematika,” jawab Heri seraya mencium tangan Rustam. “Saya pamit, Pak.”

            Rustam mengangguk saja. Tapi pandangannya terus mengikuti anak itu hingga menghilang di balik tikungan.

            Heri adalah salah siswanya yang cerdas, terampil, disiplin dan santun yang kerap menjadi salah satu alasan Rustam bersemangat datang mengajar. Ia merasa waktu dan pengetahuannya selalu tidak sia-sia ketika ditransfer kepada anak-anak seperti Heri. Dan pada siswa lain yang belum bisa seperti itu, Rustam pun selalu termotivasi untuk menjadikan mereka tak ketinggalan.

            Lelaki itu telah berdiri tepat di depan gerbang sekolah.

            Ini hari Sabtu, tak ada jadwal mengajarnya. Makanya ia tak masuk.

            “Kenapa pintu gerbang terbuka?” ucapnya pada diri sendiri demi melihat pintu di depannya terkuak, tak digembok seperti biasa saat waktu sekolah sudah usai. “Kemana Pak Harun?” Pandangannya memerhatikan sekitar, berharap penjaga sekolah itu muncul. Tapi tak ada.

            Gegas ia melangkah masuk ke dalam halaman, melintasi koridor depan untuk menuju bagian dalam sekolahnya. Di depannya terpampang deretan kelas yang semua pintunya sudah tertutup. Hanya pintu kelas IXC yang terbuka dan nampak anak-anak di dalamnya.

            Ia menuju ke sana. Ada seorang anak yang keluar, lalu tersenyum begitu melihat Rustam. Anak itu masuk kembali dan karena semakin dekat sang guru bisa mendengar ia berseru, “hei, duduk semua! Pak Rustam datang!”

            Di depan pintu Rustam berhenti, berdiri menatap para siswa yang sudah duduk tertib di mejanya masing-masing.

            “Siap, beri hormat!” ucap Aldi, ketua kelas.

            “Selamat sore, Pak Guru…!” sambut seluruhnya, kompak dengan suara keras.

            Rustam tercenung, tak mengerti kenapa siswa menyambutnya seperti dirinya akan masuk kelas untuk mengajar.

            “Ada apa ini? Ada kegiatan les? Atau ada kegiatan ekskul? Siapa gurunya?” Beruntun pertanyaan meluncur dari mulutnya.

            Seluruh siswa saling pandang. Mereka terlihat bingung.

            “Kan, sore ini jadwal les prakarya, Pak….” Aldi yang menjawab seraya tersenyum melihat sikap gurunya itu.

            “Ya, Allah!” seru Rustam pelan.

            Kekalutan yang mendera jiwanya sejak tadi pagi telah membuat ia lupa bahwa sore ini adalah jadwal ia mengajar tambahan praktik prakarya. Kegiatan yang merupakan inisiatifnya sendiri, karena ia ingin mengajarkan cara pembuatan barang-barang kerajinan di luar jam sekolah pada anak-anak didiknya. Ia lakukan setiap hari Sabtu, dengan mengorbankan waktu aktifitas mengojek, dengan ikhlas.

            Wajah Rustam kecut. Keputusan untuk berhenti menjadi guru mencuat dalam ingatannya.

            Ia tinggalkan tempatnya berdiri, menuju toilet. Di depan wastafel ia memandangi dirinya di cermin.

            Di sana ia tidak melihat dirinya, melainkan seorang lelaki berwajah kusut dengan kekecewaan, kepedihan dan beban berat mendera.

            Seorang lelaki yang putus asa pula.

            Tapi yang parah, di sana ia adalah seorang guru yang mengingkari jiwanya sendiri!

            “Sungguh-sungguhkah aku ingin berhenti menjadi guru?” bisiknya dengan getar melatari suaranya. “Benarkah aku akan meninggalkan sesuatu yang selama tujuh belas tahun aku jalani, dengan senang hati, dengan semangat?”

            Kata “senang hati”, “semangat” yang diucapkannya sendiri justeru menggetarkan dada Rustam. Ia lupa, lupa bahwa memang selama tujuh belas tahun ia telah senang dan semangat menjadi guru!

            Pintu toilet diketuk. Rustam terperanjat. Ternyata Aldi.

            “Permisi, Pak. Apakah alat-alat pertukangan di gudang akan saya ambil semuanya seperti biasa?” tanyanya.

            “Ya, semuanya.”

            Rustam lebih terperanjat. Aldi juga. Suara itu datang dari luar toilet. Dan seorang wanita kemudian muncul dengan senyum tersungging di bibirnya.

            “Sri, ada apa kamu ke sini?” Rustam keluar dan berdiri menghadap isterinya itu. “Ya, semuanya,” katanya terlebih dahulu kepada Aldi yang menunggu jawaban dari gurunya.

            Rustam menghela nafas. Rasa bersalah karena tidak lulus datang mengiris hatinya kembali.

            “Aku tidak lulus, Emak,” bisiknya lirih.

            “Saya sudah tahu, Pak,” sambut Sri seraya menggenggam tangan suaminya yang berkeringat dingin itu. “Justeru itu saya datang ke sini.”

            Sang suami mengangkat wajah, mencoba menentang tatapan isterinya itu. Tapi ia harus tertunduk lagi.

            “Saya diberitahu Bu Yesi, teman Bapak yang menjenguk kerabatnya di rumah sakit. Saya sangat khawatir jangan-jangan karena tidak lulus kemudian Bapak terlalu memikirkannya hingga tensinya naik. Terlebih tetangga kita, Imran memberi tahu bahwa Bapak duduk sendiri di teras lalu jalan kaki siang-siang. Saya telepon tak Bapak angkat,” kata Sri. “Lalu saya ingat bahwa tiap sore Sabtu Bapak memberikan les pada anak-anak. Ternyata benar, Bapak ada di sini.”

            Rustam terdiam.

            “Saya senang dan kagum, bahwa ternyata walaupun impian Bapak tak juga tercapai, Bapak tetap semangat datang mengajar. Keihlasan Bapak selama tujuh belas tahun tak juga hilang.”

            Wajah Rustam memerah. Kalimat itu menamparnya, keras sekali!

            “Bagaimana keadaan anak kita? Jalanku untuk bisa mengobatinya sudah tertutup lagi.” Ia berusaha mengalihkan pembicaraan.

            “Ia saya tinggal bersama bibinya. Urusan pengobatan Ririn, tak usah risau lagi, Pak. Keihlasan Bapak membantu anak-anak menjadi cerdas dan berguna pasti dicatat oleh Allah. Dan Allah bisa jadi akan membalasnya melalui anak kita. Entah dengan disembuhkan, entah pula dengan kita diberi rejeki untuk biaya mengobatinya. Kita yakin saja.”

            Sontak Rustam mengangkat muka, menatap perempuan di depannya itu dengan lekat. Lekat sekali. Tak ada lagi ketidaksanggupan.

            “Ya, itu yang sekarang saya yakini, Pak.” Tegas suara Sri. “Jadi, pada suatu saat nanti, ketika Ririn sembuh, itu karena Bapak. Karena Bapak seorang guru.”

Rustam telah berada di muka papan tulis. Lantang dan bersemangat suaranya mengajar. Sri duduk menguping di kursi panjang depan kelas. Ia bangga pada lelaki itu. []

 

Yin Ude, penulis Sumbawa Timur, Nusa Tenggara Barat. Menulis sejak 1997. Karyanya berupa puisi, cerpen, novel dan artikel terpublikasi di media cetak dan online dalam dan luar daerah Sumbawa, antara lain Lombok Pos, Suara NTB, Elipsis, Sastra Media, Suara Merdeka, Kompas dan Republika. Memenangkan beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Buku tunggalnya adalah Sepilihan Puisi dan cerita Sajak Merah Putih (Rehal Mataram, 2021) dan Novel Benteng (CV Prabu Dua Satu Batu Malang, Mei 2021) dan antologi puisi Jejak (Penerbit Lutfi Gilang Banyumas, 2022). Puisinya termuat pula dalam belasan antologi bersama para penyair Indonesia.

Facebook: Yin Ude

Kontak: 087810071573 (WA)

Email: abidanayi@gmail.com

//Ndoyo.




 

Posting Komentar

2 Komentar

Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313