KARENA SEORANG GURU
Karya Yin Ude
Maaf RUSTAM, Anda tidak lolos Seleksi
CASN 2023 (PPPK Guru).
Berulang, sampai tiga kali Rustam
membaca kalimat di layar ponselnya itu. Tak perlu ia melakukannya lagi, sebab
sudah sangat jelas, dan kini kalimat itu pun telah tertutup oleh sesuatu yang
lain: bayangan hari-hari depan, yang kembali seperti hari-hari kemarin,
hari-hari sejak ia memutuskan menjadi guru honorer.
Lelaki empat puluh tahunan yang duduk
di kursi teras itu menghela nafas, mencoba menghadang perih yang mulai merayapi
dadanya. Dan ia harus mengulang sampai empat kali agar perih itu reda.
Tak sepenuhnya reda. Perih itu kembali
merayap bahkan memenuhi dadanya karena wajah Sri, isterinya hadir. Suara
perempuan itu terngiang pula.
“Mudah-mudahan Bapak lulus P3K tahun
ini. Kalau lulus, ada harapan tahun depan kita bisa mengambil pinjaman di bank
buat biaya berobat Ririn.”
Rustam terpekur karena wajah isteri
dan suaranya itu. Matanya berkaca saat muka pucat dan tubuh kurus Ririn, anak
satu-satunya yang diopname karena sakit ginjal membayang pula.
“Maafkan aku, Emak,” rintihnya sedih.
“Aku kembali tidak bisa memenuhi harapanmu. Lagi-lagi aku tidak bisa berbuat
apa-apa untuk anak kita.”
Tubuh Rustam tersandar lemas di
kursi. Ia yang setengah jam lalu hendak pergi ke rumah sakit kini tiba-tiba tak
sanggup untuk bertemu isterinya.
Ia tidak sanggup nanti akan bertemu
tatap dengan Sri yang matanya berisi pertanyaan, “bagaimana pengumumannya, Pak?
Luluskah?”
Rustam merasa tak akan sanggup untuk
memberitahukan bahwa dirinya tidak lulus, melihat wajah orang tersayangnya itu
kecut karena harapannya rubuh.
Ia kembali menghela nafas, mencoba
menguasai diri dan lekas-lekas menyeka air mata karena takut jangan-jangan ada
orang lewat depan rumah dan melihatnya menangis.
Dipaksakan tubuhnya untuk bangkit.
Berdiri, ia menggembok pintu, kemudian menuju motornya yang diparkir di depan
teras. Hendak ia nyalakan mesinnya.
“Ya, Allah…,” bisiknya seraya
menggeleng-geleng kecewa.
Ia baru ingat bahwa tangki motor itu
kosong, tak ia isi sejak semalam, karena tak beruang.
Ia melangkah keluar halaman. Tapi tak
tahu harus kemana.
***
Terik
matahari memanggang kota Sumbawa Besar. Aspal berkilat dan menampakkan
fatamorgana. Kendaraan lalu lalang melintasinya. Melintasi tatapan Rustam yang sedang
menumbuk dirinya yang berdiri di depan papan tulis.
Tujuh
belas tahun sudah ia di sana, sebagai Pak Guru. Mengajarkan keterampilan, prakarya,
pelajaran yang berubah-ubah namanya tapi yang diajarkan tak jauh berbeda. Tak
bisa ia hitung lagi sudah berapa kali sekolahnya meluluskan siswa. Nama-nama
siswa lulusannya pun sudah banyak yang ia lupa. Hanya jika bertemu ia ingat
wajahnya. Seperti kemarin saat tes, ada lima orang yang satu ruangan dengannya,
walaupun berbeda formasi mata pelajaran yang diambil. Rustam berusaha berbesar
hati mengulurkan tangan saat mereka menciumnya. Ia sangat malu bersaing dengan
anak-anak yang pernah menjadi siswanya.
Kabarnya,
mereka semua lulus sekaligus mendapatkan penempatan. Sedang Rustam hanya
bersatus lulus nilai ambang batas, kalah perangkingan, hingga tak mendapat
penempatan, yang sama saja dengan tidak lulus. Mereka akan segera mendapat SK
PPPK, sedang Rustam pastinya tidak.
Bukan,
bukan karena Rustam rendah nilainya. Ia berhasil meraih nilai terbaik ketiga di
antara saingannya. Namun dari dua puluh enam orang saingannya, ada delapan
orang honorer yang berstatus prioritas kelulusan pertama yang tidak lagi
mengikuti tes karena sudah otomatis lulus dan tiga orang berprioritas kelulusan
kedua yang salah satunya pasti lulus asalkan nilainya memenuhi ambang batas.
Sedang Rustam statusnya adalah prioritas kelulusan ketiga. Sementara kuota
lulusan hanya sembilan orang. Jadilah nilai tinggi Rustam tak berarti apa-apa.
Ia harus digeser oleh peserta tes prioritas pertama dan kedua.
Lelaki
itu menggeleng-geleng saat menyadari begitu sulitnya ia mengejar kelulusan
dalam tes yang telah ia ikuti.
“Kuota
hanya sembilan orang. Delapan peserta sudah otomatis lulus. Berarti tinggal
satu kuota yang kuperebutkan dengan peserta lain, termasuk tiga orang prioritas
kedua yang hanya perlu mendapatkan nilai yang memenuhi ambang batas, tak peduli
lebih rendah dari saingannya. Duh…,” keluhnya.
Ia selalu
bermimpi dan hingga kini ingin sekali pemerintah menghargai umur dan masa
kerjanya dengan mengangkatnya tanpa melalui tes lagi. Sungguh, otaknya sudah
terlalu dipenuhi beban untuk dipaksa belajar dan menjawab soal!
Lelaki
yang kini tertunduk lesu di halte itu merasa jiwanya letih. Sangat letih.
Terlebih bayangan hari-hari depan, yang kembali seperti hari-hari kemarin,
hari-hari selama tujuh belas tahun sejak ia memutuskan menjadi guru honorer
kembali mendera batinnya.
Ia
dan keluarganya akan tetap tinggal di rumah kecil yang bertahun- tahun tak
pernah bisa dipugar karena tak ada biaya, akan tetap nyambi sebagai ojek yang
harus ia jalani sepulang sekolah hingga malam, sebab honor pertiga bulannya
jauh dari cukup, yang membuat ia lambat tidur karena baru setelah itu bisa
mempersiapkan bahan mengajar untuk esok hari, akan tetap tak bisa memberi
nafkah yang lebih baik kepada isteri dan anaknya, akan tetap tak bisa bermimpi
menyekolahkan Ririn sesuai cita-citanya menjadi perawat, dan yang paling
menyesakkan dadanya adalah ia kembali tak akan bisa menyediakan biaya untuk
pengobatan terbaik bagi anaknya yang terus tergolek lemah itu.
Rustam
mendongak, memandangi langit yang begitu cerah. Tapi yang ia lihat adalah
dirinya yang melayang-layang di awang-awang. Dipermainkan angin deras yang
begitu dingin. Dingin sekali.
“Pemerintah
tak seperti omongannya,” keluhnya lagi. “Tak ada gunanya aku capek-capek
mengajar.”
Tiba-tiba
ia menemukan sebuah keputusan, yang entah kenapa, membuatnya lega, puas.
Keputusan untuk berhenti menjadi guru.
***
Jam
setengah tiga sore. Berulang kali ponsel di saku celana Rustam berdering.
Berulang kali ia tarik dan perhatikan. Berulang ia masukkan kembali ke
tempatnya semula sebab yang menelepon adalah isterinya. Rustam belum sanggup
untuk bicara dengan perempuan itu.
Ia sekarang
berjalan menyusuri trotoar, tetap tak tahu harus kemana. Tak tahu pula sampai
kapan ia akan menghindari Sri. Padahal beberapa saat lalu terbit niatnya untuk
menyampaikan keputusannya berhenti menjadi guru.
Lagi-lagi
ketidaksanggupannya melihat wajah isterinya itu membuat dirinya tak berani
mendatangi rumah sakit.
“Bisakah
pula Sri menerima keinginanku untuk berhenti?”
Pertanyaan
itu menambah sesak jiwanya, yang kian kalut.
Tak
sadar ia sedang berjalan mendekati sekolahnya.
“Selamat
sore, Pak. Mau kemana?”
Rustam
tersentak. Ia yang berjalan tertunduk tak menyadari ada anak berseragam sekolah
menghalanginya, hendak bersalaman.
“Eh,
Heri…,” sang guru tergagap. “Eh, jalan-jalan saja. Eh, kamu belum pulang ke
rumah?”
“Baru
mau pulang, Pak. Tadi ikut les dulu untuk persiapan olimpiade matematika,”
jawab Heri seraya mencium tangan Rustam. “Saya pamit, Pak.”
Rustam
mengangguk saja. Tapi pandangannya terus mengikuti anak itu hingga menghilang
di balik tikungan.
Heri
adalah salah siswanya yang cerdas, terampil, disiplin dan santun yang kerap
menjadi salah satu alasan Rustam bersemangat datang mengajar. Ia merasa waktu
dan pengetahuannya selalu tidak sia-sia ketika ditransfer kepada anak-anak
seperti Heri. Dan pada siswa lain yang belum bisa seperti itu, Rustam pun
selalu termotivasi untuk menjadikan mereka tak ketinggalan.
Lelaki
itu telah berdiri tepat di depan gerbang sekolah.
Ini
hari Sabtu, tak ada jadwal mengajarnya. Makanya ia tak masuk.
“Kenapa
pintu gerbang terbuka?” ucapnya pada diri sendiri demi melihat pintu di
depannya terkuak, tak digembok seperti biasa saat waktu sekolah sudah usai.
“Kemana Pak Harun?” Pandangannya memerhatikan sekitar, berharap penjaga sekolah
itu muncul. Tapi tak ada.
Gegas
ia melangkah masuk ke dalam halaman, melintasi koridor depan untuk menuju
bagian dalam sekolahnya. Di depannya terpampang deretan kelas yang semua
pintunya sudah tertutup. Hanya pintu kelas IXC yang terbuka dan nampak
anak-anak di dalamnya.
Ia
menuju ke sana. Ada seorang anak yang keluar, lalu tersenyum begitu melihat
Rustam. Anak itu masuk kembali dan karena semakin dekat sang guru bisa
mendengar ia berseru, “hei, duduk semua! Pak Rustam datang!”
Di
depan pintu Rustam berhenti, berdiri menatap para siswa yang sudah duduk tertib
di mejanya masing-masing.
“Siap,
beri hormat!” ucap Aldi, ketua kelas.
“Selamat
sore, Pak Guru…!” sambut seluruhnya, kompak dengan suara keras.
Rustam
tercenung, tak mengerti kenapa siswa menyambutnya seperti dirinya akan masuk
kelas untuk mengajar.
“Ada
apa ini? Ada kegiatan les? Atau ada kegiatan ekskul? Siapa gurunya?” Beruntun
pertanyaan meluncur dari mulutnya.
Seluruh
siswa saling pandang. Mereka terlihat bingung.
“Kan,
sore ini jadwal les prakarya, Pak….” Aldi yang menjawab seraya tersenyum
melihat sikap gurunya itu.
“Ya,
Allah!” seru Rustam pelan.
Kekalutan
yang mendera jiwanya sejak tadi pagi telah membuat ia lupa bahwa sore ini
adalah jadwal ia mengajar tambahan praktik prakarya. Kegiatan yang merupakan
inisiatifnya sendiri, karena ia ingin mengajarkan cara pembuatan barang-barang
kerajinan di luar jam sekolah pada anak-anak didiknya. Ia lakukan setiap hari
Sabtu, dengan mengorbankan waktu aktifitas mengojek, dengan ikhlas.
Wajah
Rustam kecut. Keputusan untuk berhenti menjadi guru mencuat dalam ingatannya.
Ia
tinggalkan tempatnya berdiri, menuju toilet. Di depan wastafel ia memandangi
dirinya di cermin.
Di
sana ia tidak melihat dirinya, melainkan seorang lelaki berwajah kusut dengan
kekecewaan, kepedihan dan beban berat mendera.
Seorang
lelaki yang putus asa pula.
Tapi
yang parah, di sana ia adalah seorang guru yang mengingkari jiwanya sendiri!
“Sungguh-sungguhkah
aku ingin berhenti menjadi guru?” bisiknya dengan getar melatari suaranya.
“Benarkah aku akan meninggalkan sesuatu yang selama tujuh belas tahun aku
jalani, dengan senang hati, dengan semangat?”
Kata
“senang hati”, “semangat” yang diucapkannya sendiri justeru menggetarkan dada
Rustam. Ia lupa, lupa bahwa memang selama tujuh belas tahun ia telah senang dan
semangat menjadi guru!
Pintu
toilet diketuk. Rustam terperanjat. Ternyata Aldi.
“Permisi,
Pak. Apakah alat-alat pertukangan di gudang akan saya ambil semuanya seperti
biasa?” tanyanya.
“Ya,
semuanya.”
Rustam
lebih terperanjat. Aldi juga. Suara itu datang dari luar toilet. Dan seorang
wanita kemudian muncul dengan senyum tersungging di bibirnya.
“Sri,
ada apa kamu ke sini?” Rustam keluar dan berdiri menghadap isterinya itu. “Ya,
semuanya,” katanya terlebih dahulu kepada Aldi yang menunggu jawaban dari
gurunya.
Rustam
menghela nafas. Rasa bersalah karena tidak lulus datang mengiris hatinya
kembali.
“Aku
tidak lulus, Emak,” bisiknya lirih.
“Saya
sudah tahu, Pak,” sambut Sri seraya menggenggam tangan suaminya yang
berkeringat dingin itu. “Justeru itu saya datang ke sini.”
Sang
suami mengangkat wajah, mencoba menentang tatapan isterinya itu. Tapi ia harus
tertunduk lagi.
“Saya
diberitahu Bu Yesi, teman Bapak yang menjenguk kerabatnya di rumah sakit. Saya
sangat khawatir jangan-jangan karena tidak lulus kemudian Bapak terlalu
memikirkannya hingga tensinya naik. Terlebih tetangga kita, Imran memberi tahu
bahwa Bapak duduk sendiri di teras lalu jalan kaki siang-siang. Saya telepon
tak Bapak angkat,” kata Sri. “Lalu saya ingat bahwa tiap sore Sabtu Bapak
memberikan les pada anak-anak. Ternyata benar, Bapak ada di sini.”
Rustam
terdiam.
“Saya
senang dan kagum, bahwa ternyata walaupun impian Bapak tak juga tercapai, Bapak
tetap semangat datang mengajar. Keihlasan Bapak selama tujuh belas tahun tak
juga hilang.”
Wajah
Rustam memerah. Kalimat itu menamparnya, keras sekali!
“Bagaimana
keadaan anak kita? Jalanku untuk bisa mengobatinya sudah tertutup lagi.” Ia
berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Ia
saya tinggal bersama bibinya. Urusan pengobatan Ririn, tak usah risau lagi,
Pak. Keihlasan Bapak membantu anak-anak menjadi cerdas dan berguna pasti
dicatat oleh Allah. Dan Allah bisa jadi akan membalasnya melalui anak kita.
Entah dengan disembuhkan, entah pula dengan kita diberi rejeki untuk biaya
mengobatinya. Kita yakin saja.”
Sontak
Rustam mengangkat muka, menatap perempuan di depannya itu dengan lekat. Lekat
sekali. Tak ada lagi ketidaksanggupan.
“Ya,
itu yang sekarang saya yakini, Pak.” Tegas suara Sri. “Jadi, pada suatu saat
nanti, ketika Ririn sembuh, itu karena Bapak. Karena Bapak seorang guru.”
Rustam telah berada di muka papan
tulis. Lantang dan bersemangat suaranya mengajar. Sri duduk menguping di kursi
panjang depan kelas. Ia bangga pada lelaki itu. []
Yin Ude, penulis Sumbawa Timur, Nusa Tenggara Barat.
Menulis sejak 1997. Karyanya berupa puisi, cerpen, novel dan artikel
terpublikasi di media cetak dan online dalam dan luar daerah Sumbawa, antara
lain Lombok Pos, Suara NTB, Elipsis, Sastra Media, Suara Merdeka, Kompas dan
Republika. Memenangkan beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Buku
tunggalnya adalah Sepilihan Puisi dan cerita Sajak Merah Putih (Rehal Mataram,
2021) dan Novel Benteng (CV Prabu Dua Satu Batu Malang, Mei 2021) dan antologi
puisi Jejak (Penerbit Lutfi Gilang Banyumas, 2022). Puisinya termuat pula dalam
belasan antologi bersama para penyair Indonesia.
Facebook: Yin Ude
Kontak: 087810071573 (WA)
Email: abidanayi@gmail.com
//Ndoyo.
2 Komentar
mantab sipppppppppp
BalasHapusbaguss.. menyentuh
BalasHapusKirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313