Di dalam sebuah lemari tua yang kayunya lapuk oleh semesta waktu, tertulis sebuah warta pada dinding kayu paling atas, “H idup adalah lakon yang paling laku, kau hidup, kau mati, miskin, kaya, bergaya, berparas anggun jelita, kau tetap berada pada titian ketidakkaruan. Kau tidaklah terhormat sama sekali.”
Itulah warta yang membuat seorang wanita bernama Anum tercengang. Anum adalah remaja yang lahir sembilan belas tahun silam yang kini tinggal bersama seorang ibunya. Keberadaan ayahnya tidak pernah ia ketahui. Ibunya selalu bercerita bahwa ayahnya pergi meninggalkannya ketika ia masih belia. Satu setengah bulan setelah Anum dilahirkan.
Lemari tua yang ditemukan oleh perempuan berparas anggun, bermata tajam dengan alis yang sedikit melengkung seperti ibunya itu berada di sebuah kamar yang selalu dikunci. Namun, kali ini pintu kamar tersebut tiba-tiba terbuka. Karena sebelumnya, ia sering bertanya-tanya kepada ibunya tentang kamar tersebut. Tapi, ibunya selalu bilang, “itu kamar yang ibu pakai sebagai gudang, Anum. Tidak ada apa-apa di dalamnya. Hanya barang-barang bekas saja.” Namun, jawaban ibunya itu tidak membuat rasa penasarannya hilang begitu saja. Sesekali Anum bertanya untuk memastikan, “Kalau cuma barang-barang bekas, kenapa Anum tidak bisa masuk, toh juga cuma barang-barang bekaskan bu?” Suara polos dari wanita remaja itu terkadang membuat ibunya merasa bersalah.
“Iya Anum, ibu mengerti. Anum penasarankan? Lain kali kita masuk sama-sama ya, sambilan beres-beres rumah” ucapnya yang mencoba meredam rasa penasaran anak semata wayangnya itu. Namun, jawaban itu hanyalah sebagai peredam suasana saja.
Kali ini Anum masuk ke kamar itu tanpa sepengetahuan ibunya. Pintu itu terbuka tatkala ibunya sedang tidak berada di rumah. Entah ibunya lupa atau sengaja membiarkannya terbuka. Tapi, yang pasti, ibunya tidak akan pernah membiarkan Anum masuk ke kamar itu seorang diri.
Ketika itu, Anum melihat sekelilingnya, “Kemana barang-barang bekas yang berserakan itu?” Ucapnya dengan cengang. Ia melihat gambar ibunya ketika masih muda yang dibingkai dengan indah. Tertulis di bawah gambarnya. “Sanaya, kekasihku, pujaanku”. Lukisan anggun ibunya itu terpampang di dinding, tepat di atas sebuah meja kerja yang sangat rapi. Buku-buku, pena, mesin ketik, kertas-kertas lusuh berisi tulisan yang tidak sempat dibaca oleh Anum.
Setelah ia melihat-lihat sekelilingnya, mata tertuju pada sebuah lemari yang sudah mengeluarkan bubuk kayu, tanda lemari itu telah tua. Ia kemudian menggerakkan tangannya membuka pintu lemari itu. Tidak ada satupun barang yang dia temukan. Isinya kosong melompong. Hanya sepenggal kalimat yang ia temukan, sepenggal kalimat yang tertulis, “Hidup adalah lakon yang paling laku, kau hidup, kau mati, miskin, kaya, bergaya, berparas anggun jelita, kau tetap berada pada titian ketidakkaruan. Kau tidaklah terhormat sama sekali.”
“Teruntuk Sanaya, dari laki-laki yang kau buang” Kalimat penutup yang membuat arum linglung. “Sanaya? Ibuku? Iya memang benar ibuku bernama Sanaya. Siapa laki-laki yang dibuang ibuku? Ayahku? Berarti ayahku belum meninggal? Ia hanya pergi meninggalkan ibuku? Tuhan, di mana ayahku? Kenapa dia meninggalkan aku dan ibuku begitu saja? Tuhan, aku besar tanpa seorang ayah, di mana dia?
Bayangkan saja, prihal kondisi seorang anak gadis berumur sembilan belas tahun itu. Anak gadis itu harus menerima kenyataan bahwa ayahnya benar-benar pergi meninggalkannya ketika ia masih belia. Ia tumbuh tanpa seorang ayah. Jika kepergian ayahnya karena kematian, kemungkinan Anum akan menerima kenyataan itu. Namun, kali ini, kenyataan begitu pahit. Akankah Anum menerima begitu saja kenyataan tentang kepergian sesosok ayah yang diharapkan kehadirannya?
Ia berlari keluar menuju taman-taman bunga yang berada di depan halaman rumahnya. Ia duduk termenung di sebuah kursi kayu yang dulunya dijadikan sebagai tempat lamunan oleh ayahnya. Ia menangis, “ada masalah apa mengenai ayah dan ibuku? Sampai ayahku memilih untuk pergi meninggalkanku? Apakah seorang laki-laki itu jahat? Tidak, tidak mungkin dia sejahat itu. Dia pergi karena dibuang? Ada apa dengan ibuku? Pertanyaan-pertanyaan itu seperti penjelajah waktu di dalam kepala Anum.
Beberapa saat setelah itu, ibunya pulang ke rumah dan kaget melihat pintu kamar dan lemari tua itu terbuka. Dia mengira pintu itu telah dikunci sebelum pergi keluar rumah. “Di mana Anum? Dia sontak mempertanyakan keberadaan Anum. Dicari-carinya Anum ke dalam kamarnya dan halaman belakang rumah, namun tidak ada. Teryata arum tidak pernah beranjak dari tempat duduknya.
“Anum, kenapa melamun di sini, nak? Ucapnya sambil menepuk halus pundak anak gadisnya. Anum hanya mampu berdiam diri, tidak mengedipkan matanya sama sekali. Matanya berkaca-kaca, sesekali mengela nafas panjang, dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Ibu, kenapa ayahku pergi? Mengapa di lemari itu ayah menulis kalimat seperti itu untuk ibu? Kenapa ibu tega membuang dan membiarkan ayah pergi begitu saja? Tanya Anum dengan suara serak karena menahan air matanya.
“Ibu penjahat, ibu egois, ibu tega! Itukan yang ada dipikiranmu Anum?” Jawabnya dengan nada menyesal. “ Iya, ibu dulu memang egois, hanya memintingkan diri pribadi, selalu ingin dimengerti tanpa berusaha memahami keadaan ayahmu. Ibu selalu mengkambing hitamkan ayahmu. Ibu tidak memikirkan apakah ayahmu akan pergi atau tidak. Tapi, ayahmu pasti tidak akan meninggalkan ibu, sekecewa apapun keadaan ayahmu. Tapi, waktu itu ayahmu pergi meninggalkan rumah ketika ibu sedang tidur bersamamu setelah sempat beradu mulut dengan ayahmu. Ibu mengeluarkan kata-kata yang sangat menyakiti perasaan ayahmu. Ketika ayahmu ternyata memilih pergi, seketika rasa penyesalan dan air mata datang begitu saja. Namun, sebelum ayahmu benar-benar pergi, dia meninggalkan surat untukmu. Ditaruhnya surat itu di atas meja di dalam kamar itu. Maafkan ibu, ibu sangat menyesal. Itu alasan ibu kenapa tidak segera menceritaknnya kepadamu. Ibu takut, setelah ayahmu, kau yang akan pergi meninggalkan ibu” sontak tangis sendu seorang ibu meledak karena sebuah penyesalan.
“Ibu, di mana surat yang dititipkan untukku?” Tanya anak gadis itu.
“Tunggu, ibu ambilkan” ucapnya sambil berusaha meredam air matanya.
Beberapa saat setelah itu, ibunya kembali membawa dua lembar kertas. “Ini surat yang ayahmu tulis sembilan belas tahun yang lalu” diambilnya satu kertas itu dari tangan ibunya. Lalu, terbaca, “Teruntuk Anum Teduh Wangsa, putri kecilku. Putriku, ketika kau sudah bisa memandang semesta dengan mata indahmu, ayah harap kenyataan-keyataan pelik tentang segala hal yang kau temukan nanti bisa kau terima. Jika kenyataan pahit tentang kepergian ayah telah terungkap, jangan kau salahkan ibumu. Ibumu adalah seorang yang telah melahirkan malaikat kecil sepertimu. Ibumu adalah jiwa bagi ayah. Jika kau menyakitinya berarti kau telah menyakiti ayah. Putriku, maafkan ayah yang memilih pergi meninggalkanmu. Oleh ayahmu, teduh wangsa” derai-derai air mata berkabut dicelah-celah pipi Anum, gadis malang itu.
“Ibu, Anum ingin membaca surat-surat ayah yang ibu bawa” pintanya dengan penuh harap. Diberikanlah surat itu kepada Anum dengan perasaan yang tidak tega. “Kepada Sanaya, isteri Teduh Wangsa. Ini adalah kabar duka dari teduh wangsa, suamimu. Teduh telah meninggal dunia saat melakukan pendakian gunung asha. Dan jasadnya baru saja ditemukan. Tapi, aku tidak bisa memberitahumu keberadaanya karena sebelum itu dia mengatakan kepadaku, apapun yang terjadi, jangan kau kabarkan siapapun tentang keberadaanya, sepelik apapun yang terjadi. Aku hanya bisa mnegabarkan kematiannya, tanpa memberitahu di mana keberadaanya. Dari, sahabat suamimu”
Ada dua kenyataan pahit yang dialami Anum. Kenyataan bahwa ayahnya pergi ketika ia masih belia dan kenyataan bahwa ayahnya telah meninggal dunia, pergi selama-lamanya. Tanpa tau paras wajah sesosok ayah, dia hanya bisa melihat nama seorang ayah berdekatan dengan namanya, Anum Teguh Wangsa.
Magrib pun tiba, suara surau melantunkan nama tuhan mulai terdengar. “Tuhan, kukirimkan selembar kertas tentang kematian ayah” ucap batinnya.
1 Komentar
Honor sudah diberikan
BalasHapusAndai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024