Malam yang semakin riang adalah malam yang mengantarkan diri pada tanah kelahiran. Tanah yang telah lama ditinggalkan demi menerjemahkan sebuah harapan. Kini tanah kelahiran telah memanggil sayang. Bulu-bulu rindu semakin tegak menandakan riang yang tak terlukiskan.
Weni terus saja menatap jendela bus yang mengantarnya dari Bekasi menuju Madura. Senyumnya semakin bermekaran. Sesekali ia menundukkan pandangan dan mengelus dada. Malam yang semakin pekat tak mampu menebar kabut dalam hati perempuan paruh baya berkerudung ungu.
Madura, aku masih anakmu. Cintaku padamu tak terhapus waktu. Madura, masihkah kau seramah dahulu, menyambut hadirku dengan senyum yang meneduhkan batinku, Weni terus saja bergumam dalam kerinduan yang semakin rupawan.
Waktu terus saja berlari meninggalkan kota rantau, setia menemani Weni dalam mengadakan perjalanan pulang. Saatnya bercumbu dengan kenangan, Weni kembali bergumam seraya mengepalkan tangan. Garis-garis senja di wajahnya sesekali terlihat.
Weni pun mulai membuka buku diary hijaunya dan mulai menuliskan sebuah puisi. Puisi yang menggambarkan tentang keadaan jiwanya, puisi yang menjadi wakil hatinya dalam menyampaikan raung kerinduan.
Ada senyum yang semakin bermekaran saat Weni menyelesaikan bait demi bait puisinya. Ada kebahagiaan yang tak bisa ditunda saat bus yang mengantarnya pulang, semakin dekat saja menuju tempat yang diharapkan.
Weni terus saja menulis puisi dengan riang gembira. Weni tak ingin, sejarah kepulangannya ke tanah kelahiran berlalu tanpa keanggunan. Ia tak mau waktu yang menggugurkan daun kenangan, hilang tanpa meninggalkan sesuatu yang sangat berarti baginya.
Bekasi telah menjadi ibu asuh kedua setelah Madura yang ditinggalkannya. Weni tinggalkan surga yang ditawarkan Bekasi, Weni pulang ke Madura untuk menerjemahkan rindu yang sempat tertunda.
Madura adalah surga yang Weni tuju, surga yang penuh cinta, rindu dan kenangan. Madura adalah saksi mata sejarah yang menjadi bukti bahwa Weni pernah menatap dunia untuk yang pertama kalinya.
Weni baca dan hayati bait demi bait yang telah ditulisnya, sesekali Weni peluk diary kesayangannya. Matanya semakin berbinar, setelah Weni menyelesaikan puisinya. Weni peluk erat diary kesayangannya dan mulai menatap jendela bus yang membatikkan rindu.
HARUM TEMBAKAU DALAM SEBUAH KEPULANGAN
-masih tercium harum tembakau
dalam debarmu, penyair rantau-
-rentang usia, tegak pohon-pohon rindu, masa kanakmu berlarian, mengejar harapan, tak ada yang benar-benar purba-
-masih tercium wangi tembakau, tandai kepulangan, ada pohon kesah tumbang, humuskan tanah keyakinan, binar matamu, isyarat rindu buah hati pada ibu-
-merapal kepulangan ke tanah kelahiran, rapal rekah bunga tentramkan batin, kabarkan kepulangan, ada yang mengecup kening kenangan, kabut batin tak tampak dalam pandangan-
Weni baca berulang-ulang puisinya, perlahan mutiara-mutiara mulai berguguran dari langit matanya.
“Wen, Madura tetap ibu kandungmu, ibu yang melahirkanmu dalam debar cinta. Perkenalkanlah Madura dimanapun kamu berada!”
Nasehat Mat Hasan, paman Weni yang juga merupakan guru Bahasa dan Sastra Indonesia semasa Weni duduk di bangku Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Weni hanya mengangguk dan berulang kali meneteskan air mata.
Tak terasa sudah puluhan tahun Weni meninggalkan Madura dan menetap di Bekasi, tanah yang menawarkan gempita impian.
***
Madura, meski aku merantau
Harum tembakau
Masih menjadi nafasku
Tanahmu yang rindang pohon tatakrama
Aku perkenalkan tiap cuaca
Aku semakin cinta padamu, Madura
Weni kembali menumpahkan segala kerinduan kepada Madura, ibu kandung yang telah lama ia tinggalkan.
Madura, semakin aku menjauh
Semakin terasa mata kasih
Membuat batinku teduh
Weni terus saja menghayati detik demi detik yang tak henti menabur rindu. Airmata terus saja menjadi lukisan kegembiraan, yang semakin merindangkan pohon kenangan.
“Sudah sampai di Tuban, saatnya makan!”
Para penumpang bergiliran untuk turun dari bus menuju rumah makan yang telah disediakan. Weni bangkit dari tempat duduk dan melangkahkan kaki menuju tempat wudhu. Ada kegembiraan yang hendak ia terjemahkan.
Weni pun mengganti pakaian ia kenakan. Setelah berwudhu Weni langsung menuju mushola dan segera menerjemahkan kebahagiaan yang Weni dapatkan.
Weni pun shalat sunnah tahajjud, berdzikir dan berdoa disertai linangan air mata. Ia pun bergegas menuju rumah makan dan segera mengisi perutnya dengan makanan yang telah disediakan.
Madura, aku masih anakmu
Tunggulah kedatanganku
Kita terjemahkan rindu
Weni menikmati makanan dengan sangat lahap. Namun kerinduan kepada tanah kelahiran semakin memuncak.
“Bagi yang belum makan silahkan makan, bagi yang sudah makan segera menuju bus sebab perjalanan akan segera dilanjutkan!”
Para penumpang seakan paham dengan komando yang telah diberikan, mereka bergegas meninggalkan rumah makan dan segera menuju bus untuk bersiap-siap melanjutkan perjalanan, sementara Weni telah menyelesaikan segala rangkaian di rumah makan, ia segera menuju bus seraya memeluk diary yang setia menemaninya dalam mengurai segenap rindu.
***
Madura, aku datang padamu
Membawa gemintang kembara waktu
Di tanah rantau
Kau masih ibuku
Sebab menjadi anakmu
Adalah surga kebahagiaanku
Aku tak pernah ragu
Menyebutmu, ibu
Bus telah melewati jembatan Suramadu, jembatan yang menyatukan Jawa dan Madura dalam keindahan waktu. Jembatan yang menebar mata rindu di tiap mata yang pernah menatapnya.
Lama tak pulang ke tanah kelahiran, ternyata telah banyak perubahan. Madura telah memiliki jembatan Suramadu yang bisa memudahkan perjalanan, Weni terus bergumam dalam megah syukur.
Madura, aku datang
Menuju pelukmu, sayang
Ada kebahagiaan yang semakin nyata terlihat jelas dalam rekah senyum Weni. Kegembiraan semakin akrab, Bangkalan, Sampang, Pamekasan telah ia lewati dengan riang.
Menuju Sumenep, jantungnya berdebar tak menentu, senyumnya semakin rekah, pohon kenangan semakin rindang.
Sumenep, ibuku sayang
Anakmu telah datang
Mari kita terjemahkan rindu
Yang telah lama tak kita cumbu
Angin terus berdesir, Weni turun dari bus dan segera menuju keluarga yang telah menunggunya penuh cinta di dalam terminal. Yang tersisa hanya kebahagiaan.
Kamar Cinta, 15 Maret 2013 – 17 Maret 2024
Moh. Ghufron Cholid adalah nama pena Moh. Gufron, S.Sos.I, karya-karyanya tersiar di Mingguan Malaysia, Mingguan Wanita Malaysia, New Sabah Time, Utusan Borneo, Tunas Cipta Malaysia dll juga terkumpul dalam berbagai antologi bersama terbit di dalam dan luar negeri juga dibacakan dalam berbagai kegiatan sastra termasuk di Japan Foundation Jakarta [2011], Kongres Penyair Sedunia ke-33 di Ipoh [2013], Solo dalam Puisi [2014] dll. Penerima Anugerah Kedua Hescom 2015 Vlog dan Rubaiyat (5 Desember 2015) di Malaysia. Alamat Rumah Pondok Pesantren Al-Ittihad Junglorong Komis Kedungdung Sampang Madura. Hp 087850742323 Alamat Email : mohghufroncholid@gmail.com
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024