Mimbar Penyair Tebuireng adalah bagian dari Festival Pesantren Tebuireng (FPT) yang diselenggarakan selama 4 hari. Mimbar penyair menempati rangkaian acara di hari ketiga, Jumat tanggal 3 Mei 2024. Lokasinya diletakkan di MAPM (Madrasah Aliyah Perguruan Muallimat) Qur’ani yang merupakan madrasah yang terintegrasi dengan PP Walisongo, Cukir. Acara ini berlangsung selama empat hari (1-4 Mei 2024. Menurut panitia, jika kegiatan ini dapat berlangsung lagi tahun depan, insya Allah akan dilaksanana berdasarkan kalender Hijiriyah, yaitu pekan akhir bulan Syawal).
Yang menarik dari acara ini adalah kehadiran para kiai dan nyai, termasuk Gus Riza (cucu Hadratus Syaikh) dan Nyai Farida (istri Kiai Sholahuddin Wahid), juga Nyai Hafsoh, dan entah siapa lagi, mengikuti acara hingga selesai. Bagi saya, peristiwa ini bahkan lebih menarik daripada acara itu sendiri. Kehadiran beliau-beliau itu yang secara anteng mengikuti acara akan berdampak kuat pada para santri, pada memorinya, bagaimana perhatian guru-guru mereka terhadap kegiatan (termasuk sastra), bagaimana kiai dan nyai itu mendampingi mereka. Anak (didik) itu akan meniru.
Adanya kegiatan sastra dalam festival ini membuat saya terjengat pada suatu kondisi bahagia yang dampaknya saya kembali bergairah untuk mengurus puisi dan berkecimpung dengan sastra kembali setelah vakum nyaris 4 tahun terakhir ini. Saya kira, puisi sudah ditinggalkan di mana-mana. Ternyata, di pesantren, gairahnya masih menyala. Kesan festival puisi yang capek dengan urusan dana, capek menghadapi arogansi awak atau pengambil kebijakan, capek dalam tekanan pesimisme, di tempat ini tertolak sama sekali, masih bergairah.
Hadir di acara tersebut; Walidha Tanjung Files (Fileski), D Zawawi Imron, Nasruddin Anshory Ch, Gus Chamim Kohari, Dr Abdul Haris, HM Ghufron Rofii, Khoirul Anwar, Martina Susanti, M Faizi (saya sendiri), Muhammad Hasan Turki, Iqbal Sapujagad, serta beberapa santri aktif, seperti Ahmadi Nejad, Daffa Afif Hizbullaah, Fahira Hayatin Nufus, Ghaitsa Fauziah. Saya juga melihat kehadiran Fathurrahman Karyadi (Atunk) yang sejauh ini menekuni naskah-naskah kuno meskipun tidak tampil dalam sesi pembacaan puisi.
Nama-nama di atas tidak semuanya alumni Tebuireng. Tidak juga karyanya dimuat di buku antologi “Senyum Hadratus Syaikh” (terbitan Ilmu Giri, 2024). Saya juga kurang tahu sistem kuratorialnya. Sepertinya, panitia hanya mengundang beberapa nama saja tanpa saya ketahui prosedurnya. Saya diundang, maka saya datang. Barangkali, keterundangan saya disebabkan karena saya pernah mondok di Madrasatul Quran Tebuireng meskipun sebentar (ketika itu, saya sering tinggal di Pesantren Tebuireng dan menginap berhari-hari—dan soal ini saya sudah sempat saya haturkan kepada alm. Kiai Salahuddin Wahid [Gus Solah] meminta agar diakui santri Tebuireng di bulan Juni, 2011).
Acara mimbar penyair adalah pembacaan puisi dan sambutan. Acara ini dilangsungkan setelah “Jumatan Bersama Pengasuh”. Akan tetapi, saya hanya mengikuti kegiatan siang dan satu sesi malam harinya, yaitu “Ngopi Bersama Alumni” yang ditempatkan di halaman masjid. Selesai acara, saya langsung pulang ke rumah dengan oleh-oleh kesan yang mendalam, yaitu kesan yang saya tulis di paragraf kedua di atas.
Jika para kiai dan nyai serta pemangku teras di suatu institusi, lebih-lebih pesantren, sangat memperhatikan suatu kegiatan di pondok pesantren secara serius, seperti menghadiri acara sampai selesai, baik diwakili satu orang atau bahkan lebih, besar kemungkinan kegiatan tersebut akan sukses. Tema atau penekanan kegiatan tertentu yang dimaksud akan berkesan dan membekas di hati para hadirin, mulai dari pembicara dan santri dan lainnya.
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024