Nada merdu lagu nostalgia mengalun dari bibir penyanyi belia yang duduk di panggung sambil sedikit melenggok dan sesekali mendesah manja. Liriknya menyentuh. Mengingatkan kembali pada masa di mana segala sesuatu dinilai dari ketulusan.
Ada rasa menyesak.
Kesendirian telah menyeret kenangan lama hadir kembali dengan tambahan imaji.
Fhe menjatuhkan diri ke sofa panjang. Bar ini satu-satunya pelarian ketika pikiran kusut memenuhi kepalanya. Sampanye yang dipesan belum juga diantar meskipun waktu telah semakin larut. Fhe berniat pergi jika dalam waktu lima menit pesanannya belum sampai meja.
Sebatang rokok dinyalakan. Kepulan asapnya bergulung membentuk lingkaran. Rokok yang mengingatkan pada Lisna. Lisna dulu juga menyukai rokok ringan ini meskipun tidak setiap hari menikmati. Lisna hanya merokok saat berdua dengan Fhe saja.
Entah mengapa Fhe menyukai perempuan perokok meskipun untuk etika budaya timur masih dianggap tabu.
Fhe menghela nafas. Merdu suara penyanyi tak lagi dihiraukan.Pikirannya menerawang. Membayangkan seandainya Lisna yang dipersunting tentu tidak ada kecewa di kehidupan rumah tangganya.
Meskipun tidak agresif tapi setidaknya Lisna tahu kehangatan apa yang diinginkan Fhe. Tidak seperti Zea yang dingin dan diibaratkan seperti gedebok pisang berlobang saat Fhe mencumbunya. Jangankan melayani dengan gairah. Untuk sekedar memeluk pun Zea tidak pernah melakukan.
Fhe harus meraih tangan Zea untuk bisa merasakan sebuah pelukan. Itupun Zea ogah-ogahan.
Fhe merasa salah mengambil keputusan saat harus memilih antara Lisna atau Zea untuk diperistri. Keputusan terbodoh yang menghadirkan kecewa selama menjalani mahligai pernikahan.
“Hey, mengapa melamun?’. Sebuah teguran mengembalikan kesadaran Fhe. Seorang waitres bergaun hitam ketat mengantar minuman yang dipesannya.
Fhe tak menjawab.
“Boleh aku temani?”, tanya waitres.
Fhe menggeser duduknya tanda memperbolehkan.
“Sepertinya kamu sedang ada pikiran. Dari tadi aku lihat kamu sendirian dan lebih banyak melamun”, kata waitres lagi.
Fhe memejamkan mata.
“Maaf jika perkataanku tidak berkenan. Ijinkan saya melayani tamu yang lain”. Suara waitres terdengar bergetar agak takut karena telah berani mengomentari tamunya.
Waitres bersiap meninggalkan tapi tangan Fhe meraihnya.
“Duduklah”, kata Fhe singkat. “Temani aku tapi jangan banyak tanya”, lanjutnya.
Waitres mengambil gelas dengan dua tangan dan memberikan pada Fhe yang segera meneguknya sedikit. Aroma dan rasa sampanye yang halus seketika menenangkan. Perasaan resah yang dibawa dari rumah perlahan menghilang tersingkirkan oleh pengaruh alkohol.
“Mau tambah lagi minumannya?”, tanya waitres.
Fhe menggelengkan kepala. Dari awal Fhe memang berniat hanya minum sedikit saja. Tidak sampai mabuk. Sekedar pelarian dari permasalahan pribadi akibat ego yang berlebihan.
Ingatan Fhe kembali pada Lisna yang telah dikecewakan. Lisna yang mencintainya dengan tulus dan sangat berharap menjadi pendamping hidup justru dicampakkan karena Fhe lebih memilih Zea. Padahal jika dibandingkan, Lisna lebih segala-galanya. Selain cantik alami Lisna juga punya kemandirian dan bisa mengatasi persoalan yang dihadapi tanpa meminta bantuan orang lain. Tapi kedekatan emosi dan jebakan yang atur rapi oleh Zea membuat Fhe terlena dan akhirnya harus menanggung kecewa. Janji-janji Zea yang akan membuat kehidupan Fhe nyaman dan bahagia hanya omong kosong belaka. Janji yang diucap untuk memuluskan rencana.
Fhe kembali meneguk minuman lalu menyalakan rokok lagi. Tidak mempedulikan waitres di sebelahnya yang duduk dengan gelisah. Yang ada di pikirannya hanya Lisna, Lisna dan Lisna.
Apa yang terjadi padanya usai dicampakkan?
Di mana dia sekarang?
Bagaimana kabarnya?
Sudah mendapat pengganti dirinya kah?
Bahagiakah dia?
Beribu pertanyaan se-ibarat palu besar menghantam kepala Fhe. Tiga tahun adalah waktu yang panjang untuk sebuah perpisahan. Apa saja bisa terjadi.
Fhe meremas rambut. Membuang pikiran kotor yang tiba-tiba melintas.
“Semoga Lisna baik-baik saja dan bisa menjaga diri. Patah hati ini lebih tepat untukku. Bukan untuk orang sebaik Lisna”, gumamnya.
“Apa?”, tanya waitres setengah terkejut. Kata-kata Fhe tadi rupanya terucap cukup keras dan didengar waitres.
Sekarang gantian Fhe yang terkejut. Spontan dia menoleh dan menatap wajah waitres. Dan kejutan keduapun terjadi. Fhe hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Kamu….”, teriak Fhe.
“Ya”, jawab waitres singkat.
Fhe serasa ingin menjerit. Menumpah semua isi hatinya. Gejolak antara bahagia dan sedih.
“Lisna….Kamu jadi waitres?”, ucap Fhe setelah berhasil menguasai dirinya kembali.
“Ya. Aku memang Lisna. Tapi bukan Lisna yang kamu kenal”, jawab waitres.
“Maksudnya?”, tanya Fhe.
“Lisna yang kamu kenal dulu itu sudah tidak ada. Yang dihadapanmu sekarang ini adalah Lisna yang lain. Lisna yang selama tiga tahun menangis seorang diri dan akhirnya terlahir kembali. Tidak punya masa lalu dan tidak punya hati lagi”. Suara waitres terdengar dingin tanpa ekspresi.
Fhe terhenyak. Ada rasa bahagia karena berjumpa dengan Lisna tapi juga sedih karena mendapati Lisna telah menjadi sosok yang lain.
Fhe tidak bisa berkata-kata. Mulutnya terkunci.
“Hidupku sudah bahagia dan akan selalu bahagia. Hati dan perasaanku sudah tertutup untuk siapapun dan selamanya tidak akan kubuka. Cukup sekali saja aku tersakiti”. Suara Lisna lembut tapi menusuk.
“Maafkan aku”, kata Fhe sambil menutup muka dengan kedua tangan.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan”, jawab Lisna tegas. “Aku hanya minta kamu jangan menyakiti Zea untuk alasan apapun. Seburuk-buruknya Zea, dia adalah istrimu”.
Dan ini adalah kehancuran terberat yang dialami Fhe. Perpisahan dengan Lisna dulu tidak berarti apa-apa dibanding yang terjadi sekarang. Jumpa kedua yang justru meremukkan perasaannya.
“Ambilkan aku minuman sebanyak-banyaknya. Aku ingin mabuk. Selamanya mabuk”, teriak Fhe.
Suaranya menggema.
Memantul dari dinding ke dinding.
Menembus jendela.
Merobek rembulan yang sedang menidurkan semesta.
GRINGSING, 16 Mei 2024
Setelah sekian lama fokus hanya membuat puisi, Edi S Febri mencoba bermetamorfosis dengan menulis cerpen meskipun awalnya merasa kesulitan. Masih memakai pola bahasa mendayu yang tidak jauh dari gaya bahasa puisi-puisinya, cerpen Edi S Febri sebagian besar bercerita tentang kehidupan dan pengalaman pribadinya. Permainan spasi tetap dijadikan kekuatan untuk estetika dan penegasan karakter. Edi S Febri tinggal di Batang, Jawa Tengah, dan bekerja sebagai jurnalis. Kontak: WA 081 901 901 007, FB Edi S Febri, IG @febriesf.
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024