Minggu siang 4 Agustus 2024, beranda rumah nomer 69 di tepi jalan raya Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan itu nampak ramai oleh sebuah acara. Omah Kampoeng Jatipadang, demikian sang pemilik menamakan kediamannya. Sebuah rumah yang ditempatinya sejak 1998, dengan konsep dinding bata merah dan beranda yang teduh asri dipenuhi aneka jenis pepohonan serta tanaman hias. Siang itu di tempat tersebut tengah dilangsungkan sebuah hajatan sederhana. Namun bukan resepsi pernikahan, sunatan, ataupun arisan, keluarga. Melainkan, bedah buku kumpulan puisi. Satu dari banyak bentuk hajatan khas para pegiat sastra, puisi dan literasi.
Ayu Yulia Djohan sang penulis buku sekaligus pemangku hajat dan pemilik rumah, dengan dukungan keluarga dan seluruh sahabatnya yang tergabung dalam Teater Cakra Indonesia (TCI), hari itu menggelar acara bertajuk "Bedah Buku Jelita (Jelang Lima Puluh Tahun)," yang menghadirkan diskusi dengan pembahas yaitu Sofyan RH Zaid dan Rini Intama serta dimoderatori oleh Ihwan Nugraha. Nampak puluhan penulis, pesastra, penyair, dan peseni dari berbagai bidang seni sejabodetabek, hadir menyimak acara ini, mereka antara lain, Erna Winarsih Wiyono, Mita Katoyo, Nanang R. Supriyatin, Fanny J. Foyk, Nurhayati, Ewith Bahar, Ical Vrigar, Karenina, Guntoro Sulung, Kurnia Effendi, Riri Satria, Tee Latuconsina, Eddy Pramduane, Diana Prima, Annie Rai Samoen, Evie Setyati, Hanna, Udi Utama, Herlina, Emi Suy, Wig SM, Boyke Sulaiman, Eki Thadan, Rhamanda Yudha, Rissa Churria, Isson Khairul, dan banyak nama lainnya. Selain diskusi tentu saja dihadirkan beberapa penampilan pembacaan puisi oleh para sahabat tersebut dan kalangan muda generasi milenial.
Ditemui seusai acara, Ayu menuturkan bahwa, buku Jelita ini merupakan buku kumpulan puisi perdananya yang memuat 49 puisi dan diterbitkan pertama kali pada Juli 2017, makna angka 49 sendiri, sesuai dengan usia Ayu ketika itu, saat masih tergabung dalam MAKARA ( Madah Karya Nusantara) pimpinan Irma Hutabarat. Irma pula yang mendukungnya untuk membukukan puisi-puisinya, selain memang motivasi pribadi Ayu sendiri yang ingin mendokumentasikan sekumpulan karyanya itu setelah sekian lama hanya ia tuliskan di buku harian dan media sosial. Kemudian saat memasuki usianya yang ke-56 pada Juli 2024, Ayu mencetak ulang buku Jelita, setelah banyak permintaan dari sejumlah sahabat untuk dapat memiliki dan menyimak puisi-puisi di dalamnya. Tentu saja terdapat sejumlah revisi pada terbitan 2024, satu di antaranya yaitu revisi di bagian namanya sendiri, yang pada terbitan 2017 hanya dituliskan Ayu Yulia, berubah menjadi Ayu Yulia Djohan.
Sebelumnya di 2022 puisi-puisi yang terangkum dalam buku Jelita, sempat diterbitkannya dalam bentuk buku antologi puisi dwibahasa dengan judul, "Tarian Badai", kala itu Anastasia Fanny Lioe, ia percayakan sebagai pengalih bahasa dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Sedangkan gagasan untuk mengelar acara Bedah Buku Jelita cetakan kedua pada Minggu, 4 Agustus 2024, datang dari sahabat-sahabatnya di Teater Cakra Indonesia (TCI), mereka antara lain, Ihwal Benz Satriadji, Nuyang Jaimee, Lay Sastra, Rachma Effendy, Thimank Moniek dan Imung. Mereka pula yang menyarankan dan mempersiapkan acara tersebut digelar di beranda Omah Kampoeng Jatipadang, kediaman Ayu yang sekaligus menjadi tempat sekretariat dari Teater Cakra Indonesia (TCI). Dahulu sebelum pandemi melanda, di rumahnya itu pula, Ayu pernah membuka usaha kuliner cemilan Roti Jala dan penjualan tanaman hias.
Ayu Yulia Djohan lebih nyaman dikenal sebagai Ibu rumah tangga penyuka seni dan sastra ketimbang disebut sebagai penyair, ia merasa belum layak dengan sebutan tersebut meski ia sangat antusias dalam menulis puisi. Istri dari Erwin Arida yang kerap disapa dengan panggilan Mak Cik oleh beberapa sahabatnya itu, mengungkapkan bahwa arti puisi bagi dirinya awalnya adalah sebuah terapi puitik untuk berbagai situasi dan persoalan hidup yang dihadapinya. Dengan menuangkan semua keresahan dan kegelisahan jiwanya menjadi sebuah puisi, membuatnya tidak larut dalam depresi dan kebuntuan. Dan lambat laun puisi mewujud sebagai ekspresi dari berbagai bentuk perasaannya, apakah itu bahagia, senang, rindu, kesedihan, kehilangan dan lain sebagainya. Sebagai perempuan berdarah Melayu, tepatnya berasal dari Pekan Baru, Riau, maka ciri khas keindahan permainan Rima yang kental pada bentuk pantun dan syair Melayu, nampak hadir secara alamiah pada gaya ungkap puisi-puisi yang dituliskannya. Secara sederhana, Ayu menyusun kata-kata, namun tetap dengan kedalaman rasa dan makna. Untuk keluarganya tercinta secara khusus Ayu menuliskan puisi-puisi antara lain, "Tentang Dia" yang dipersembahkan untuk suaminya, "Anak Surgaku" ditulis untuk anaknya yang telah meninggal dunia, "Putri Cantik Dari Kasur" untuk anaknya yang perempuan, dan "Jim" untuk anak bungsunya.
Sebelum tergabung bersama Teater Cakra Indonesia, Ayu kerap tampil di berbagai gelaran acara sastra di seputar Jabodetabek bersama, Imung, sahabat dan rekan duetnya yang bermain gitar akustik, dengan nama kelompok "Nyapoe", akronim dari Nyanyian Puisi. Kelompok ini terbentuk pertama kali menjelang peluncuran buku Jelita pada 2017 di Pusat Dokumentasi Hb Jassin. Mereka berdua menggubah dan mengaransemen puisi menjadi lagu atau nyanyian. Beberapa puisi karya Ayu sendiri atau puisi karya dari para penyair pernah mereka aransemen dan tampilkan.
Dalam proses kreativitas keduanya berbagi peran, Ayu menciptakan nada, sementara Imung menyesuaikannya dengan kord gitar. Belakangan, atas saran dari sahabat-sahabatnya di Teater Cakra Indonesia, hadir pula Thimank Moniek, perempuan seniman berambut gimbal untuk memperbaiki olah vokal ayu yang dirasanya masih perlu diasah. Ia ingin dapat bernyanyi secara benar meskipun bukan seorang penyanyi. Aktivitas berkesenian Ayu didukung penuh oleh pihak keluarga, dalam hal ini suami dan kedua anaknya. Namun mereka sering pula mengingatkan untuk tetap menjaga kesehatan, itulah pula mengapa akhirnya kegiatan kesenian Ayu mulai difokuskan di beranda rumahnya. Teater Cakra Indonesia pun menetapkan tempat itu sebagai sekretariat dan sarana berkumpul dan berlatih menjelang pertunjukan apabila mereka berkesempatan diundang tampil pada sebuah acara. Untuk mengembangkan dirinya dalam dunia kepenulisan, ia pun kini bergabung dalam komunitas Perempuan Penyair Indonesia (PPI).
(Liputan: Wahyu Toveng)
Biodata Penulis:
Wahyu Toveng, kelahiran Jakarta 1977 Alumni dari Akademi Teknologi Grafika Indonesia. Seorang penikmat sastra, puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi puisi bersama. Meliput untuk Media Digital Semesta Seni 2019 - 2021, Pernah berperan sebagai Brojo dalam lakon berjudul PERTJA bersama Pandu Teater untuk Festival Teater Jakarta Pusat 2021. Pemenang kedua Love Poetry Competition 2022 Majalah Figure Explor, Pemenang Puisi Terbaik Anugerah Negeri Kertas, Hak Asasi Manusia 2022. Nominasi Anugerah Sastra Apajake 2023 Kategori Puisi, Juara Harapan 2 Lomba Cipta Puisi Grup FB Hari Puisi Indonesia 2023
2 Komentar
Wah keren terima Kasih Bang Wahyu
BalasHapusTerima kasih liputannya mas Wahyu Toveng.
BalasHapusAndai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024