005

header ads

Penjamah di Tanah Tuah

Cerpen: Heri Haliling
Editor: Erna Wiyono 

                                                

Jika Tuan bertandang ke daerah kami, niscaya terkagumlah Tuan menyaksikan hijau danau melubangi bumi. Jika Tuan sempatkan singgah di sekitaran danau itu, mata Tuan akan terpesona oleh keasrian sawit yang melebat di tanah adat. Kemarilah Tuan? Duduklah di atas lampau yang telah kami sediakan. Tuan saksikan betapa indah penjarahan ini. Atmosfer penindasan skala besar-besaran. Semua excavator dan bulldozer di hadapan Tuan berdansa penuh kegembiraan.

Sementara Tuan duduk dan menikmati secuil hidangan yang tersisa dari hutan, izinkan kami untuk berjuang sekali lagi.

"Semua petisi dan ajuan penggugatan atas klaim PT Sinergi Cahya Makmur (SCM) itu ditolak bupati bahkan tak memperoleh dukungan dari DPRD. Kami punya SK tentang luas lahan produktif, biarkan kami kerja sesuai juknis, Ampoy Narang."

Ku akui, kisaran 30 orang yang mengenakan seragam biru itu sebagian besarnya adalah orang berpendidikan. Semua sesuai jalur dengan otoritas yang sah. Otonomi daerah tak akan berpihak pada kami yang hanya mengais hidup dari ramahnya hutan. Dua hari ini para pakar geologi itu sudah tancapkan taring dan cakarnya di tanah leluhurku.

"Hidup mati kami ada di segenggam tanah ini. Sudah jelas itu jawaban. Tiga tahun lalu pernah ku koarkan ini di kantor Bupati. Kami dapat respon baik, tertulis dalam salinan kertas ini!" kataku memperlihatkan sebuah lembaran.

Robi yang bekerja sebagai Askep Manager melipat kedua lengannya sambil menggeleng.

"Itu kopian SK luas lahan yang ditanda tangani Plt. Bupati. Kini telah berganti dengan Bupati baru. Dari pemetaan awal memang luas lahan PT SCM hanya sekitar 420.000 hektare. Setelah dilakukan pengulangan ditemukan luas lahan pemerintah lagi sebanyak 8.000 hektare. Bukankah telah kalian terima sendiri salinannya Minggu lalu?"

Dehen Djata maju dengan mengencangkan ikat kepala merah. Tangan kanannya lalu beringsut turun menyamping. Sebuah mandau berhulu tunggur dari akar ulin siap ia cabut. Ia merapatkan diri denganku.

"Tak guna semua, Narang. Musyawarah hanya untuk manusia yang ada nurani, sedangkan mereka telah buta oleh benda."

Lembayung kelabu merintihkan gerimis kepada kami. Angin perlawanan menepuki pipi juga telinga. Dari rupa buruan yang ku pandang, logikaku berontak untuk putuskan perang.

Dehen Djata membaca mimikku lalu menyeringai seperti tak setuju.

"Buka isi kepalamu, Narang. Maling-maling itu piawai berkelebat dalam hukum. Putuskan langsung atau bukan hanya patok itu yang tumbang. Akh!! Sudahlah! Biar ku penggal satu untuk peringatan dan tebus dosa!"

Aku berteriak memberhentikan langkah Dehen yang maju dengan mata nyalang. Aku masih menghormati arti manusia dalam petuah tetua adat. Meski banyak kaumku menganggapku lemah. Aku tetap hargai warisan itu. Kecuali satu hal, jika ujung jari excavator itu mulai sentuh patok makam adat! Sungguh ku cencang mereka tanpa sisa.

Sorak sorai lalu pecah dari kedua kubu manakala aku menangkap dan menahan perut Dehen Djata.

"Sudah, Pak Robi. Kasih buntung mereka punya tangan!" teriak satu orang sekuriti memantik.

Siang ini semuanya memang telah bersiap dengan senjata. Sudah terlalu lama memendam bara. Pelarangan pemberondolan dengan tindakan sewenang-wenang, banjir yang datang saat penghujan, dan petaka dari limbah janjangan itu; Oh Sang Hyang, bayi-bayi ispa, muda tua disentri, dan babi kami pun binasa oleh penyakit yang terbawa janjangan jahanam itu. Lantas apa? Penggerusan tetap melebar dan makin berani.

"Kalian minggir. Kami berjanji akan ada kopensasi dari pihak perusahaan. Kalian bisa berkebun di lahan plasma. Bibit palawija dan ternak sapi kami sediakan. Hak Guna Lahan, ambillah."

Sekarang mereka lontarkan pertukaran. Bagaimana mungkin lebih dari seribu hektare tanah moyang kami yang diambil  dan ditanami sawit itu dijadikan satu kesepakatan. Berapa tahun tanaman akan hidup jika bersaing dengan bibit sawit? Sapi? Sungguh tak masuk akal yang mereka berikan itu dengan makanan tersedia tak lebih dari sepah dan duri.

"Leluhur kami tanamkan kebajikan antar alam dan sesama insan. Ku mohon stop sampai di sini.  Kalian telah memiliki luas lahan produktif. Biarkan kami hidup dalam budaya dan corak adat" kataku merendah.

Tiba-tiba terdengar sirine. Tiga mobil barakuda tampak terseok-seok menapaki jalan hauling pada sisi kanan pihak perusahaan. Tak lama turunlah kisaran 10 anggota berseragam biru gelap dengan tentengan senjata laras panjangnya.

Aku menggeleng. Tak heran dengan keadaan di depanku. Puluhan kabar telah kami dengar dari saudaraku di daerah lain. Apakah akan sama? Aku coba tawarkan mediasi kembali sebagai bentuk tata kramaku pada negeri.

"Anda saksikan di sana, Tuan petugas" tunjukku pada satu tempat, "blontang, aneka kembang, dupa, dan sesembahan di dekat makam itu adalah simbol ketaatan kami pada leluhur. Puluhan bahkan ratusan tahun pendahulu kami pun demikian. Perusahaan datang sebagai perwakilan pemerintah kami sambut dengan baik. Kalian hadir sebagai penengah kami terbuka dan sedia. Untuk kali ini petugas, bersikaplah bijak. Kami tak niatkan harta apalagi tahta. Hanya budaya leluhur yang kami gaung dan perjuangkan."

Satu petugas yang ku rasa adalah pimpinan maju ke tengah.

"Saudaraku, Narang. Kedatangan kami sungguh sebagai jembatan perseteruan ini. Harapan kami adalah merangkul agar kita tetap damai dalam satu kesatuan di bumi pertiwi. Makam itu bisa kita pindahkan. Itulah yang kami desak kepada petinggi sebagai sebuah jalan keluar selain ganti rugi."

Dehen Djata meludah mendengarkan itu. Tak beda dengan yang lain. Watak Dehen yang cenderung enggan basa-basi itu sebenarnya aku kurang setuju.

"Memindahkan makam leluhur hanya akan hasilkan  bala. Sekarang kalian di sini. Giring mereka pulang, Tuan petugas" serunya.

Sang pimpinan berbalik disambut oleh Robi yang menyonsongnya. Beberapa dialog rendah terjadi di sana. Kami tak dapat mendengar. Tapi ku tahu pasti petugas-petugas ini akan membela kami.

Gerimis masih berjatuhan. Aku mengelap wajah terus memandang. Tak lama sang pimpinan segera kembali menghadapkan wajahnya ke kami.

"Saudaraku. Dengan wewenang pusat sungguh hanya itu yang bisa kami ajukan. Ayo kita pikirkan masa depan generasi kalian. Robi menyarankan kepada manager perusahaan untuk ditambahkan ganti rugi agar kalian bisa tinggal di tempat yang layak. Manager setuju. Biarkan mereka lewat."

"Oh, benar dugaanku dari awal. Memang pencuri itu tak hanya inginkan makam, tapi tanah kelahiran!" Dehen Djata hunuskan mandaunya.

Aku terkesiap. Suasana mendidih dalam siraman gerimis yang telah pekat jadi hujan. Sorakan kembali berbalas-balasan. Dua kubu mulai maju. Petugas akhirnya beri tembakan peringatan.

"Jangan ada tindakan di luar batas. Simpan parang itu atau kalian kami tahan!!!" sergah petugas dan mulai membagi tim untuk membuat pagar.

Tiba-tiba dari arah belakang kelompok perusahaan, excavator dan bulldozer mulai meraung. Seolah nyalang dan merapat ke kami, dua alat berat itu mulai menjamah makam.

"Hoyyy!!!! Apa yang kau perbuat, bedebah!" pekik Dehen Djata dengan dada naik turun.

Aku pun membelalak tak percaya. Sigap, tanganku lekas mengambil bungkusan mangkuk jaranang. Ku keluarkan segera beras kuning dengan kunyahan daun. Mulutku segera merapal. Beras ku hambur ke langit, setengahnya ku hantamkan ke tubuh kelompokku.

"Hentikan! Hentikan semuanya! Ku mohon tetap kondusif!"

Dor!!! Dor!!!

Terus tembakan peringatan berbunyi melubangi udara di langit. Seolah tak peduli, mesin jadah itu terus merangsek.

Satu blontang akhirnya rubuh tergerus alat beriringan dengan tubuh saudara-saudaraku yang mulai bergetar kuat. Mata mereka sekejap memutih. Sumpah darah! Manakala sesiur angin menerpa barisan, dengan berang kami adalah murka kepakan enggang.

 

*** Selesai***

Heri Haliling, nama pena yang melekat pada sosok Heri Surahman, seorang guru di SMAN 2 Jorong, lahir di Kapuas pada 17 Agustus 1990. Di balik profesinya sebagai pendidik, tersimpan bakat menulis yang telah menghasilkan karya-karya menarik. Ia telah menerbitkan Rumah Remah Remang, sebuah novel yang dirilis oleh J-Maestro pada tahun 2024. Keberhasilannya pun berlanjut dengan novel Perempuan Penjemput Subuh, yang berhasil meraih juara 2 dalam Sayembara Novel Guru dan Dosen dan diterbitkan oleh Aksara Pustaka Media pada tahun 2024. Anda dapat menghubunginya melalui Facebook (Heri Surahman), Instagram (Heri_Haliling), email (heri.surahman17@gmail.com), atau WhatsApp (083104239389).

                                   

Posting Komentar

0 Komentar