Jika Tuan bertandang ke daerah kami,
niscaya terkagumlah Tuan menyaksikan hijau danau melubangi bumi. Jika Tuan
sempatkan singgah di sekitaran danau itu, mata Tuan akan terpesona oleh
keasrian sawit yang melebat di tanah adat. Kemarilah Tuan? Duduklah di atas
lampau yang telah kami sediakan. Tuan saksikan betapa indah penjarahan ini.
Atmosfer penindasan skala besar-besaran. Semua excavator dan bulldozer di
hadapan Tuan berdansa penuh kegembiraan.
Sementara Tuan duduk dan menikmati secuil
hidangan yang tersisa dari hutan, izinkan kami untuk berjuang sekali lagi.
"Semua petisi dan ajuan penggugatan
atas klaim PT Sinergi Cahya Makmur (SCM) itu ditolak bupati bahkan tak
memperoleh dukungan dari DPRD. Kami punya SK tentang luas lahan produktif,
biarkan kami kerja sesuai juknis, Ampoy Narang."
Ku akui, kisaran 30 orang yang mengenakan
seragam biru itu sebagian besarnya adalah orang berpendidikan. Semua sesuai
jalur dengan otoritas yang sah. Otonomi daerah tak akan berpihak pada kami yang
hanya mengais hidup dari ramahnya hutan. Dua hari ini para pakar geologi itu
sudah tancapkan taring dan cakarnya di tanah leluhurku.
"Hidup mati kami ada di segenggam
tanah ini. Sudah jelas itu jawaban. Tiga tahun lalu pernah ku koarkan ini di
kantor Bupati. Kami dapat respon baik, tertulis dalam salinan kertas ini!"
kataku memperlihatkan sebuah lembaran.
Robi yang bekerja sebagai Askep Manager
melipat kedua lengannya sambil menggeleng.
"Itu kopian SK luas lahan yang
ditanda tangani Plt. Bupati. Kini telah berganti dengan Bupati baru. Dari
pemetaan awal memang luas lahan PT SCM hanya sekitar 420.000 hektare. Setelah
dilakukan pengulangan ditemukan luas lahan pemerintah lagi sebanyak 8.000
hektare. Bukankah telah kalian terima sendiri salinannya Minggu lalu?"
Dehen Djata maju dengan mengencangkan ikat
kepala merah. Tangan kanannya lalu beringsut turun menyamping. Sebuah mandau
berhulu tunggur dari akar ulin siap ia cabut. Ia merapatkan diri denganku.
"Tak guna semua, Narang. Musyawarah
hanya untuk manusia yang ada nurani, sedangkan mereka telah buta oleh
benda."
Lembayung kelabu merintihkan gerimis
kepada kami. Angin perlawanan menepuki pipi juga telinga. Dari rupa buruan yang
ku pandang, logikaku berontak untuk putuskan perang.
Dehen Djata membaca mimikku lalu
menyeringai seperti tak setuju.
"Buka isi kepalamu, Narang.
Maling-maling itu piawai berkelebat dalam hukum. Putuskan langsung atau bukan
hanya patok itu yang tumbang. Akh!! Sudahlah! Biar ku penggal satu untuk
peringatan dan tebus dosa!"
Aku berteriak memberhentikan langkah Dehen
yang maju dengan mata nyalang. Aku masih menghormati arti manusia dalam petuah
tetua adat. Meski banyak kaumku menganggapku lemah. Aku tetap hargai warisan
itu. Kecuali satu hal, jika ujung jari excavator itu mulai sentuh patok makam
adat! Sungguh ku cencang mereka tanpa sisa.
Sorak sorai lalu pecah dari kedua kubu
manakala aku menangkap dan menahan perut Dehen Djata.
"Sudah, Pak Robi. Kasih buntung
mereka punya tangan!" teriak satu orang sekuriti memantik.
Siang ini semuanya memang telah bersiap
dengan senjata. Sudah terlalu lama memendam bara. Pelarangan pemberondolan
dengan tindakan sewenang-wenang, banjir yang datang saat penghujan, dan petaka
dari limbah janjangan itu; Oh Sang Hyang, bayi-bayi ispa, muda tua disentri,
dan babi kami pun binasa oleh penyakit yang terbawa janjangan jahanam itu.
Lantas apa? Penggerusan tetap melebar dan makin berani.
"Kalian minggir. Kami berjanji akan
ada kopensasi dari pihak perusahaan. Kalian bisa berkebun di lahan plasma.
Bibit palawija dan ternak sapi kami sediakan. Hak Guna Lahan, ambillah."
Sekarang mereka lontarkan pertukaran.
Bagaimana mungkin lebih dari seribu hektare tanah moyang kami yang diambil dan ditanami sawit itu dijadikan satu
kesepakatan. Berapa tahun tanaman akan hidup jika bersaing dengan bibit sawit? Sapi?
Sungguh tak masuk akal yang mereka berikan itu dengan makanan tersedia tak
lebih dari sepah dan duri.
"Leluhur kami tanamkan kebajikan
antar alam dan sesama insan. Ku mohon stop sampai di sini. Kalian telah memiliki luas lahan produktif.
Biarkan kami hidup dalam budaya dan corak adat" kataku merendah.
Tiba-tiba terdengar sirine. Tiga mobil
barakuda tampak terseok-seok menapaki jalan hauling pada sisi kanan pihak
perusahaan. Tak lama turunlah kisaran 10 anggota berseragam biru gelap dengan
tentengan senjata laras panjangnya.
Aku menggeleng. Tak heran dengan keadaan
di depanku. Puluhan kabar telah kami dengar dari saudaraku di daerah lain.
Apakah akan sama? Aku coba tawarkan mediasi kembali sebagai bentuk tata kramaku
pada negeri.
"Anda saksikan di sana, Tuan
petugas" tunjukku pada satu tempat, "blontang, aneka kembang, dupa,
dan sesembahan di dekat makam itu adalah simbol ketaatan kami pada leluhur.
Puluhan bahkan ratusan tahun pendahulu kami pun demikian. Perusahaan datang
sebagai perwakilan pemerintah kami sambut dengan baik. Kalian hadir sebagai
penengah kami terbuka dan sedia. Untuk kali ini petugas, bersikaplah bijak.
Kami tak niatkan harta apalagi tahta. Hanya budaya leluhur yang kami gaung dan
perjuangkan."
Satu petugas yang ku rasa adalah pimpinan
maju ke tengah.
"Saudaraku, Narang. Kedatangan kami
sungguh sebagai jembatan perseteruan ini. Harapan kami adalah merangkul agar
kita tetap damai dalam satu kesatuan di bumi pertiwi. Makam itu bisa kita
pindahkan. Itulah yang kami desak kepada petinggi sebagai sebuah jalan keluar
selain ganti rugi."
Dehen Djata meludah mendengarkan itu. Tak
beda dengan yang lain. Watak Dehen yang cenderung enggan basa-basi itu
sebenarnya aku kurang setuju.
"Memindahkan makam leluhur hanya akan
hasilkan bala. Sekarang kalian di sini.
Giring mereka pulang, Tuan petugas" serunya.
Sang pimpinan berbalik disambut oleh Robi
yang menyonsongnya. Beberapa dialog rendah terjadi di sana. Kami tak dapat
mendengar. Tapi ku tahu pasti petugas-petugas ini akan membela kami.
Gerimis masih berjatuhan. Aku mengelap
wajah terus memandang. Tak lama sang pimpinan segera kembali menghadapkan
wajahnya ke kami.
"Saudaraku. Dengan wewenang pusat
sungguh hanya itu yang bisa kami ajukan. Ayo kita pikirkan masa depan generasi
kalian. Robi menyarankan kepada manager perusahaan untuk ditambahkan ganti rugi
agar kalian bisa tinggal di tempat yang layak. Manager setuju. Biarkan mereka
lewat."
"Oh, benar dugaanku dari awal. Memang
pencuri itu tak hanya inginkan makam, tapi tanah kelahiran!" Dehen Djata
hunuskan mandaunya.
Aku terkesiap. Suasana mendidih dalam
siraman gerimis yang telah pekat jadi hujan. Sorakan kembali berbalas-balasan.
Dua kubu mulai maju. Petugas akhirnya beri tembakan peringatan.
"Jangan ada tindakan di luar batas.
Simpan parang itu atau kalian kami tahan!!!" sergah petugas dan mulai
membagi tim untuk membuat pagar.
Tiba-tiba dari arah belakang kelompok
perusahaan, excavator dan bulldozer mulai meraung. Seolah nyalang dan merapat
ke kami, dua alat berat itu mulai menjamah makam.
"Hoyyy!!!! Apa yang kau perbuat,
bedebah!" pekik Dehen Djata dengan dada naik turun.
Aku pun membelalak tak percaya. Sigap,
tanganku lekas mengambil bungkusan mangkuk jaranang. Ku keluarkan segera beras
kuning dengan kunyahan daun. Mulutku segera merapal. Beras ku hambur ke langit,
setengahnya ku hantamkan ke tubuh kelompokku.
"Hentikan! Hentikan semuanya! Ku
mohon tetap kondusif!"
Dor!!! Dor!!!
Terus tembakan peringatan berbunyi
melubangi udara di langit. Seolah tak peduli, mesin jadah itu terus merangsek.
Satu blontang akhirnya rubuh tergerus alat
beriringan dengan tubuh saudara-saudaraku yang mulai bergetar kuat. Mata mereka
sekejap memutih. Sumpah darah! Manakala sesiur angin menerpa barisan, dengan berang
kami adalah murka kepakan enggang.
*** Selesai***
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA +62 811-8860-280