005

header ads

Emansipasi Perempuan: Antara Kemajuan Ekonomi dan Kesenjangan Struktural  

 


NEGERIKERTAS.COM - Malang, Gerakan emansipasi perempuan telah menorehkan kemajuan signifikan dalam beberapa dekade terakhir, ditandai dengan peningkatan akses terhadap pendidikan, lapangan kerja, dan posisi kepemimpinan. Namun, muncul perdebatan mengenai sejauh mana sistem kapitalisme telah memanfaatkan perjuangan ini untuk kepentingan ekonomi semata. 

Apakah keberhasilan perempuan dalam dunia bisnis mencerminkan emansipasi sejati, atau justru merupakan bentuk eksploitasi terselubung?

Sistem kapitalisme, yang berorientasi pada akumulasi keuntungan, terus berupaya meningkatkan produktivitas dan memperluas pasar. Perempuan, dalam konteks ini, berperan ganda sebagai tenaga kerja dan konsumen utama. Strategi pemasaran yang mengeksploitasi narasi "pemberdayaan perempuan" atau "cinta diri" seringkali lebih mengutamakan keuntungan perusahaan daripada mendorong kesetaraan gender yang substansial.

Partisipasi perempuan dalam angkatan kerja tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan. Banyak perempuan masih bekerja di sektor informal dengan upah rendah dan kondisi kerja yang eksploitatif, seperti di industri tekstil dan manufaktur. Mereka menghadapi jam kerja panjang, upah tidak layak, dan minimnya perlindungan sosial. Bahkan di sektor profesional, kesenjangan upah berbasis gender tetap menjadi isu krusial.

Meskipun beberapa perempuan telah mencapai posisi kepemimpinan di dunia bisnis dan berkontribusi signifikan dalam ekonomi global, pertanyaan mengenai aksesibilitas kesuksesan ini bagi seluruh perempuan tetap relevan. Apakah pencapaian tersebut hanya terbatas pada kelompok perempuan dengan privilese tertentu?

Fenomena "girlboss", yang sempat populer, menunjukkan bagaimana kapitalisme mengadopsi narasi feminisme untuk kepentingan ekonomi. Perempuan didorong untuk bekerja lebih keras, mengorbankan keseimbangan hidup, dan menginternalisasi standar keberhasilan yang ditentukan oleh sistem kapitalis, seringkali berujung pada tekanan psikologis dan kelelahan.

Kapitalisme mampu mengkomodifikasi gerakan sosial, termasuk perjuangan perempuan untuk kesetaraan. Kampanye iklan yang menampilkan citra perempuan kuat dan mandiri tidak selalu merepresentasikan realitas di tempat kerja, di mana ketidakadilan struktural masih lazim.

Ekonomi digital dan gig economy, meskipun menawarkan fleksibilitas, juga menghadirkan tantangan berupa ketidakpastian pendapatan, minimnya perlindungan tenaga kerja, dan tekanan untuk terus produktif tanpa jaminan kesejahteraan.

Emansipasi perempuan tidak dapat diukur hanya dari pencapaian individu dalam pasar. Perjuangan ini membutuhkan perubahan sistemik yang meningkatkan kesejahteraan seluruh perempuan, termasuk mereka di sektor informal. Gerakan feminisme perlu tetap kritis terhadap cara sistem ekonomi memperlakukan perempuan dalam konteks tenaga kerja dan konsumsi. Kesetaraan yang hakiki mencakup lingkungan kerja yang adil, akses terhadap perlindungan sosial, dan kebebasan dari eksploitasi. tutur Ahmad Rizal mengenai emansipasi perempuan yang substansial dapat ditempatkan di sini.

 (*)

Sumber: Ahmad Rizal saat ini tercatat sebagai Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim Malang (UIN MALANG)

Erna Wiyono - Visual Artist, Writer, Journalist, Visual Arts Educator, Creative Director, Indonesia Dancer.

Posting Komentar

0 Komentar