Cerpen : Heri Haliling
Editor : Erna Wiyono
Kedatanganku di rumah berornamen adat dan penuh patung
ini sekitar awal November pada musim penghujan di Desa Jelai, Kota Sampit
Kalimantan Tengah. Kami dari Kapuas;
jarak pulang itu seharian. Ayahku duda dan pendulang emas di perbatasan desa tersebut. Kebanyakan harinya
akan dihabiskan di tenda sekitar lokasi dan hanya pulang seminggu sekali untuk
mengambil perbekalan.
"Kau di rumah itu saja. Mumpung sekolah libur
semester, nikmati dan belajar di sana" kata Ayah sekali waktu.
Kretek!tekkk!tek!tekkk!
Tuhan? Ini menggangguku kembali. Ku tinggalkan catatan
lembar pertamaku. Ku lihat jam dinding di kamar, pukul 10 malam. Tiga malam aku
telah di sini sendirian. Melalui pesan Julak Ampoy selaku pemilik rumah
yang tinggal 500 meter dari sini; aku tak perlu cemas.
"Itu penjaga rumah! Anggaplah teman. Kau lahir
seurat sedarah dengannya" begitu yang ku ingat.
Ku putuskan untuk keluar kamar. Sedikit gelap, ku
hidupkan saklar lampu dan berjalan ke arah suara yang berada di ruang tamu.
Bunyi burung cabak bersahutan dipadukan dengan derit lantai kayu yang ku pijak.
Di balik rak kaset dvd dan sedikit berhimpit dengan salon speaker; dalam posisi
berdiri menyandar tembok dan tamengnya, mandau itu berulah kembali.
Prangggg!
Kini satu suara benda jatuh datang dari dapur mengejutkan pengamatanku. Aku memutar langkah sementara mandau itu kian bergetar hebat. Belum satu pijakan baru, sekonyong-konyong angin begitu saja masuk membuka jendela dan menyibakkan hordennya. Suasana desa sepi kehitaman terlihat sekarang. Angin menerpa wajah memulas mataku untuk menutup. Sesaat cepat mataku membuka, tiba-tiba sesosok pria tegap tanpa kepala telah berada menghadapku. Lehernya buntung dan menyemburkan darah kehitaman. Badannya lebam dengan kaos penuh sayatan dalam.
Tak kalah, darah juga merembes bahkan tampak bulir
gelembung-gelembung kecil. Kontan aku terhenyak dan hendak teriak tapi kaku
kena gendam. Sementara itu bau anyir darah bercampur bangkai begitu menyiksaku.
Aku kelojotan dengan mata membelalak. Sosok itu memajukan lehernya. Tiba-tiba
rak terdorong ke depan; jatuh. Lalu ku lihat sebuah besi hitam pipih dengan
bunyi lonceng khas, tercabut dari sarungnya lalu melayang sejenak di udara
untuk kemudian jatuh menebas kuat.
Sekejab dingin, badanku lemas tak
tertahan; aku ambruk.
*
"Andreas!? Andreas!? Hei! Bangun?! Sadar!?" suara pria tak asing mengantarku pada realita. Ku buka mataku
yang payah itu perlahan. Ternyata Julak Ampoy. Beliau tampak masih menepuk
pipiku. Aku mengernyit tanda sedikit sakit. Dari sipit mataku, ku curi wajahnya
yang sedikit Tionghoa itu kini tersenyum lega. Ku edarkan pandang; ternyata aku
telah dibopong dalam kamar.
"Ada apa ini Julak?" tanyaku dengan badan
meriang; sungguh seperti bekas lari ratusan km dan angkat beban berat seharian.
Tubuhku kacau sampai ke sendi. Aku lihat jam, pukul 12 malam.
"Aku keluar merokok saat ku perhatikan jendela
rumah ini terbuka; aku melihatmu melayang-layang hampir setengah meter. Lalu
jatuh" tukas Julak Ampoy.
Aku kaget karena tak mengetahui hal itu. Tapi segera
menyimpulkan bahwa mungkin itulah penyebab tubuhku yang pegal tak karuan ini.
"Hantu, Julak? Saya melihatnya" jelasku
langsung teringat sosok setan tanpa kepala itu.
Seolah sesuatu yang lumrah, Julak Ampoy tak menunjukkan
sesuatu yang ku harapkan.
"Malam ke-3 dia telah tampakkan wujud" katanya
mengangguk. Aku tentu penasaran bercampur ketakutan.
"Siapa hantu itu Julak? Bisakah saya tinggal di
rumah Anda saja?" pintaku dengan hormat.
Julak Ampoy tersenyum.
"Adikku itu memang keras jika mendidik
putranya. Kau sengaja diminta tinggal di
rumah ini. Kau harus belajar."
Aku tak paham dan malahan merasakan sebal. Ku pikir dari
ucapan Julak Ampoy bahwa semua ini bagian dari kesengajaan.
"Ayah memang keterlaluan. Saya diminta belajar apa
tentang teror ini?"
"Kau putra adat! Dalam tubuhmu mengalir darah
kemandirian dan keberanian" kata Julak Ampoy berdiri. Dari gerak kaki,
sepertinya dia hendak pergi. "Kau aman di sini. Ini latihan bagus. Pesanku, apapun yang kau
terima, jangan sekali-kali kau percaya dengan makhluk itu. Tradisi tetap
tradisi! Ikuti dan pertahankan!"
Langkah Julak Ampoy menuju pintu kamar. Tentu saja aku
memburu. Ku cengkram tangannya dengan harapan besar.
"Jangan pergi, Julak!! Sungguh saya bisa mati jika
begini! Bikin ujian lain saja dan biarkan saya tinggal di rumah Anda."
Julak Ampoy malah tertawa. Tanpa sepatah katapun dia
berlalu dengan melepas genggamanku.
"Julak!?" aku memburu tapi pintu di kunci
dari luar. Aku terkurung dalam kamar sekarang.
Sialan! Aku menghardik dan mengumpat. Barang-barang
kubanting dengan frustasi. Jendela? Ya..jendela? Aku berniat kabur. Aku
bergegas mendekatinya. Tak bisa ku buka!!! Ku tatap kaca, terpalang kayu dari
luar. Apa ini? Ide gila apa yang dipikirkan ayah dan Julak Ampoy. Aku semakin
kalut karena ketidakberesan ini. Aku bergerak meraih kursi. Jika tahu begini,
sejak awal sudahku pergi. Lagian entah mengapa setan itu muncul malam ini.
Memang aku mulai terbiasa dengan getar mandau tanpa tuannya itu. Tapi tentu
tidak dengan sosok mengerikan dan menjijikkan tersebut. Kursi ku angkat, aku
bersiap menghantamkannya ke kaca.
Wusss! Seperti dibalut pusaran angin, tubuhku
mendadak macet lagi. Sebuah tangan busuk penuh darah sekejap telah menempel
pundakku. Aku tentu hendak berteriak, tapi sama bodohnya seperti lalu-lalu.
Dari cermin biasa aku berkaca, tubuh tanpa kepala itu muncul kembali. Dengan
badan penuh darah dan beraroma memusingkan, dia berjalan makin memepetku. Tapi
tiba-tiba mataku dirangkum tangannya. Aku muntah berdiri karena baunya sungguh
pekat bercampur ulat. Rangkuman tangan itu ia lepas. Mendadak aku bingung. Aku
kini tak berada dalam kamar; sekarang aku terpaku di halaman rumah dengan
suasana sore. Apakah waktu begitu cepat berlalu?
"Kulukkk!kulukkkk! Kuluk!Kulukkkkk!"
Bunyi ramai puluhan orang berpadu dengan gemericing
lonceng datang dari arah kanan. Berikat tali merah kuning pada bagian dahi dan
menyilang ke tubuh, mereka setengah tak
berbaju sambil mengacungkan mandau dan hentakkan tombak. Sementara itu tak kalah bersorak penuh
tantangan puluhan orang juga datang dari arah kiri. Mereka ini umumnya
mengenakan jaket hitam dan beberapa berpeci sambil berjalan beringas memutarkan
celurit.
Dua kubu berlari saling maju. Brakkkk! Tumpah ruah
jadi satu! Prang!Prang!Prang! Desingan besi beradu gila. Saling
timpas saling sabet!!!!! Aku mundur hendak berlari tapi bodoh kembali
menyadarkanku bahwa tubuh ini hanya bisa pasrah tanpa gerakan. Cepat dan
mengerikan korban mulai berjatuhan. Robek usus terburai, tangan putus, kepala
belah, mata jebol terhujam tombak, dan di antaranya penggal kepala masuk
bejana. Darah banjir di jalan, meluber kemana-mana bagai tumpahan minyak;
setengah di antaranya darah membuncah bercampur jeroan manusia mengarsir daun dan bunga-bunga taman dengan
warna merah.
Tuhan hentikan kegilaan ini! Hentikan tolonggg! pekikku dalam ketiadaan.
Tak masuk perhitungan, tiba-tiba sebuah senja merah
muncul menbarak dengan silau. Dengan ruang dan waktu yang aneh aku berpusing
dan kini di hadapanku hanya tersisa dua orang. Keduanya berdiri dengan napas
tersengal kepayahan. Satu orang berlilit kain merah kuning dan kalung dari akar
berpadu tulang tampak merayapkan tangan kiri meraih bungkusan merah yang
menggantung di pinggang. Bungkusan ia buka; sebuah daun hijau dan tampak beras
kuning coba ia satukan. Mulutnya merapal sebuah bacaan yang ku kira pasti mantra.
Di lain pihak, sosok berjaket hitam dengan peci tak kalah berceracau sambil
jemarinya memulas sebuah batang kecil misterius yang terikat pada gagang
celuritnya.
Kuluk!kuluk!kuluk!
Bunyi kembali menyeruak dari mulut pria berlilit kain.
Dia maju dan melempar buntalan daun dan beras kuning ke arah pria berjaket.
Sekejap api aneh muncul. Pria berjaket bergumul api tapi tanpa teriakan. Dari
balutan api yang berkobar mandau menyilang dan menebas bagai puma terkam
menjangan. Pria berjaket berputar seperti tarian sufi. Mendadak angin kencang
berembus memeluk pria dalam kobaran. Api kian besar tapi terasa tipis; dan
sungguh ajaib, pria berjaket itu keluar dari kobaran dengan tanpa adanya luka
bakaran.
Aku hanya menyaksikan dalam kondisi yang kian sakau.
Liurku meleleh tak terkontrol. Lalu sekejab warna merah muncul kembali. Mendekat dan menabrakku lagi. Aku
mengangkat dagu. Saat kembali pada
pertarungan, semua telah berbeda. Aku bukan lagi di halaman. Sungguh tak masuk
akal, kini aku berdiri di ruang tamu, tepat memandang tembok yang ku yakin
posisi itu kini ditempati rak kaset dvd.
Sekonyong-konyong seorang pria berlilit kain merah
kuning masuk menenteng...?? Oh Tuhan hal gila apa lagi sekarang. Aku telan liur
yang tersisa dari tumpahanku. Kepala pria berjaket dengan mata terbuka serta
mulut mengganga itu ada di tangan pria berlilit kain. Pria itu menjambaknya
dengan badan yang kemerahan bermandikan darah. Pria berlilit kain itu tampak
merokok dan menatap tembok.
Shettttt! Aku terhenyak tanpa keseimbangan.
Tubuh lunglaiku mendadak jatuh di kasur kamar. Aku kembali dalam tekanan yang
begitu memusingkan. Lemas dan kuyu liur dari mulutku tetap tumpah tak karuan.
Semua menyesak lalu berangsur surut dengan tekanan mata yang kian berat.
*
"Kau sudah baikan?" tanya Julak Ampoy. Udara
dingin menyusup pori-poriku. Bau halimun juga terasa perdu. Gemericik terdengar
di atap. Aku sadar ini hujan di pagi hari. Aku memundurkan badan; terantuk
kepalaku oleh ranjang. Oh sadarlah aku sekarang bahwa aku kembali dalam tidur
yang cukup tak terurus.
"Minumlah. Hangatkan badanmu dengan ini" kata
Julak Ampoy menyuguhkan secangkir kopi.
Aku bangun dan menyandarkan diri. Aku masih ingat pasti
kejadian janggal malam tadi. Ku atur napas dalam-dalam. Ku reguk satu teguk
kopi dalam cangkir untuk menikmati cafeinnya. Ku rasa itu membantu meningkatkan
adrenalineku. Dilanda penasaran hebat, aku beranjak dan berdiri meski setengah
pusing. Ayolah kopi! Keluarkan sensasi itu. Aku stabil! Aku raih nikmat ini
lalu mulai berjalan keluar tanpa hiraukan Julak Ampoy.
"Hei kau mau ke mana?"
Aku tak
menggubris dan berjalan cepat menuju ruang tamu. Julak Ampoy memburuku. Tapi
aku telah berdiri di depan rak kaset dvd
sesuai kejadian malam tadi. Aku maju.
Shett! Tanganku gantian dicengkram Julak Ampoy. Aku
lepaskan dengan perasaan sama tak pedulinya dengan dirinya terhadapku malam
tadi. Aku angkat rak kaset yang tak seberapa berat itu. Aku geser beberapa
speaker. Ku amati Julak Ampoy diam seolah membiarkan. Padahal dalam benakku
tahu bahwa jika dia mau, bisa saja dia dengan tubuh kuatnya menjaga dan
menarikku. Semua telah berpindah dengan sedikit terhambur. Sekarang hanya
mandau dan tamengnya yang bersandar di tembok. Aku segera ambil mandau dan
tamengnya. Dugaanku tepat; dibalik tameng yang mirip trapesium itu, di tembok
terdapat guratan segi empat bekas sambungan papan yang disamarkan cat.
Aku membalik badan dan berjalan menuju Julak Ampoy. Ku serahkan
sebuah mandau dan tamengnya yang cukup berat itu.
"Jelaskan kepada saya, Julak?" tanyaku tajam
menatap wajahnya yang ringan ramah tanpa bentuk sebuah rasa keterkejutan.
Gerimis masih mengganggu dengan sensasi nyaman sebagai godaan. Di sebuah sofa masih di ruang tamu, kami duduk dalam penghayatan. Sekarang Julak Ampoy hanya menimang mandaunya. Sementara tameng itu telah ia sandarkan pada pinggir sofa.
"Apakah hantu pria tanpa kepala itu berulah
lagi?"
"Iya Julak."
"Apakah dia yang menuntutmu ke ruangan ini?"
"Saya kira demikian. Cukup, Julak" sahutku
dengan sedikit berani. "Kembalikan kepalanya. Kubur selayaknya agar dia
tak mengganggu."
Julak Ampoy terkekeh sambil menyalakan rokok kreteknya.
Sekejab asap putih kebiruan sudah mengukung wajahnya.
"Setiap suku punya budaya kelam
sendiri-sendiri" ujar Julak memulai dan kini mencabut mandau itu. Besi
hitam dengan bagian ujung atas terlihat sekitar ada 6 lubang kecil.
"Lubang kecil ini adalah jumlah jawara yang tewas karena pusaka ini. Kita
punya tradisi lama yang ditinggalkan namun bisa bangkit kembali."
"Ngayau?" jawabku sedikit ragu.
Julak meniup bilah mandaunya dengan asap rokok.
"Iya. Warisan budaya untuk sikap keberanian dan
kehormatan atas penghinaan perlu kau ketahui dan kuasai. Sebab itulah kau di
sini."
"Tapi Julak, ini pembunuhan. Ini menyimpang!"
"Kau pikir jika aku yang kalah dalam pertarungan
itu, mereka akan berlaku ramah terhadap jasadku???"
Aku diam. Ku yakin setelah ini beliau akan meneruskan
sendiri.
"Si gajang laleng lipa atau tarung sarung, carok,
dan tumbal proyek. Jepang punya sapuku! Apa itu bukan pembunuhan atau saling
bunuh?" Julak Ampoy berdiri dan memasukkan mandau ke sarungnya. "Tapi
sebagai manusia yang beradab tentu semua tak dikerjakan tanpa alasan."
"Ini warisan tentang harga diri. Biarkan kepalanya
di situ. Dia akan jadi penjaga rumah ini. Abaikan saja dan beranikan nyalimu.
Itu pelajaran dalam darah sukumu di sini!" urai Julak Ampoy yang berlalu
pergi.
Begitulah katanya. Beliau berjalan menata rak-rak
seperti semula dan meletakkan mandau serta tameng sebagai penjaga. Sementara
diriku yang beku harus menikmati ini sebagai pelajaran panjang. Tapi entah rasa
apa, tubuhku seolah mendidih. Mataku nyalang. Ku putuskan dengan keteguhan,
darah sukuku tak hendak gentar barang selangkahpun dari ini. Sungguh! Mulai ini
ku persiapkan malamku dengan keteguhan. Ini warisan yang melekat dalam nadiku.
***
-Julak : Paman
-Ngayau:
Tradisi perburuan dengan memenggal kepala
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA +62 811-8860-280