Cerpen : Abu Bakar
Editor : Erna Wiyono
Hatiku senang bukan kepalang; cita-citaku sejak dulu, sebentar lagi akan terwujud. Tadi pagi, setelah membuka mata, kuambil gawai dan ternyata ada pesan baru. Yayasan penyalur tenaga kerja telah membalas surelku, menyatakan bahwa aku telah memenuhi syarat untuk bekerja di Indonesia. Kubayangkan penghasilan besar yang akan kudapatkan dan setiap bulan bisa mengirim uang banyak untuk Ibu dan adik-adikku tercinta.
Indonesia adalah negeri impian bagiku dan jutaan penduduk Republik Brusut lainnya. Negeri yang hukumnya ditegakkan tanpa pandang bulu; kaya atau miskin, semua diperlakukan sama di mata hukum. Sangat berbeda dengan negeriku; di sini hukuman koruptor sangat ringan, paling-paling dua tahun, dan selnya seperti hotel berbintang. Segala kemewahan dinikmati para koruptor, bahkan sampai jalan-jalan ke luar negeri. Aneh memang penjara di Republik Brusut, seharusnya tempat memberikan efek jera, malah memberikan kenikmatan bagi mereka yang kaya dan berkuasa.
Pukul 16.00 Waktu Republik Brusut, aku ingin keluar rumah, pamitan dengan kawan-kawanku, dan meminta izin kepada Ibu.
“Bu, aku izin keluar. Mau pamitan kepada kawan-kawan,” ucapku.
“Wah, Ibso, semangat sekali kamu, Nak. Katanya kamu seminggu lagi mau berangkat ke Indonesia?” tanya Ibu.
“Hehehe, iya, Bu. Kawan-kawanku banyak, jadi aku ingin menemui mereka semua.”
“Yang dekat saja ya, Nak. Kalau yang jauh, cukup beritahu lewat WhatsApp saja ya, Ibso.”
“Baik, Bu. Ngomong-ngomong, adik-adikku ke mana?”
“Adikmu sedang bermain. Ya sudah, kamu berangkat saja. Hari sudah sore, biar kamu tidak pulang malam,” ucap Ibu dengan penuh perhatian.
Kupanaskan sepeda motorku. Tujuan pertama adalah menemui kawan-kawanku di Kampung Blangsak. Jaraknya sekitar 10 kilometer dari rumahku. Jalan di perkampunganku sangat buruk; musim hujan becek, dan saat ini, musim kemarau, debu beterbangan. Lajuku selalu terganggu karena jalan aspal berlubang. Ingin rasanya kutancap gas, tetapi bisa-bisa aku sampai di rumah sakit, bukan Kampung Blangsak.
Setelah melewati jalan berlubang dan berdebu, sampailah aku di Kampung Blangsak. Kawan-kawanku biasa menghabiskan waktu di warung kopi. Sebagian menganggur, sebagian lagi bekerja serabutan. Lapangan pekerjaan di Republik Brusut sangat sulit, sistem koneksi dan suap-menyuap masih kental. Orang yang ingin bekerja sering diperas. Berbeda dengan Indonesia, lapangan pekerjaan terbuka lebar, pelamar diseleksi berdasarkan kemampuan.
Kupaking sepeda motorku di depan warung kopi dan kuucapkan salam.
“Selamat sore, kawan-kawan...”
“Sore. Oh, Ibso, kau rupanya,” sahut Timlo.
“Hei, Ibso, lama tak bertemu,” sapa Alto.
“Ke mana yang lain? Tumben kalian hanya berdua?” tanyaku.
“Belum pada datang, So. Ada yang sedang mencari uang, ada pula yang tidur siang. Maklum pengangguran, So,” jawab Alto.
“Hahahaha.” Kami bertiga tertawa.
Tanpa berlama-lama, kukatakan maksud kedatanganku. Perjalanan pulang banyak rintangan, jalanan berlubang, penerangan jalan kurang, dan marak kasus pembegalan.
“Begini, kawan-kawan, aku datang untuk memberi tahu sekaligus meminta doa restu.”
“Wah, kamu mau menikah, So?” tanya Alto.
“Kerja saja belum, bagaimana mau menikah? Minggu depan aku mau bekerja di Indonesia.”
“Hah.... Hebat sekali kamu, So, bekerja ke negeri impian,” sahut Timlo takjub.
“Bakal sukses kamu, So, kerja di sana,” ujar Alto.
“Ya, doakan semoga kita semua sukses, tetapi maaf kawan, aku tidak bisa berlama-lama di sini, hari akan segera gelap.”
“Satu lagu dulu, So, sudah lama kita tidak bernyanyi bersama. Aku ambil gitar dulu ya ke dalam warung kopi,” ucap Timlo.
“Selamat jalan kawan ke negeri impian. Tempat segala asa bertaburan.”
Lagu berjudul “Negeri Impian” dalam nada dasar G mayor dinyanyikan bersama. Kupamitan kepada Alto dan Timlo, kemudian kutancap gas sepeda motorku pulang. Penerangan jalan kurang baik, hanya mengandalkan lampu sepeda motorku yang remang (6 volt). Sesekali lampu kendaraan lain membantu. Hampir seluruh Republik Brusut kekurangan infrastruktur, padahal negeriku sudah merdeka lebih dari 70 tahun. Keamanan sangat diidam-idamkan. Berkendara di malam hari dihantui rasa takut akan begal, naik angkutan umum banyak copet. Oh, rasanya aku ingin segera bekerja ke Indonesia saja.
Sepedaku terus melaju. Beberapa menit lagi sampai kampungku, tetapi harus melewati jalan sepi. Lampu sepeda motorku menyorot seorang lelaki yang merangkak, bersimbah darah. Kuhentikan sepeda motorku dan menghampirinya.
“Hei, Bung, apa yang terjadi padamu?” tanyaku.
“To-Tolong, a-aku dibegal,” jawabnya dengan napas tersengal-sengal.
“Tunggu di sini sebentar, aku akan meminta bantuan warga.”
Kutinggalkan lelaki itu, menarik gas sekencang-kencangnya sambil berteriak, “Tolong... tolong..., ada orang dibegal!” Sampai di Kampung Sue, warga keluar dari rumah. Kuseritakan kejadian itu. Kepala Kampung Sue menelepon polisi terdekat.
Setengah jam kemudian, datang empat polisi. Korban meninggal. Seorang polisi bertanya kepada kepala kampung.
“Siapa saksi kejadian ini, Pak Kepkam?”
“Pemuda bernama Ibso, ini, Pak,” jawab Pak Kepkam. (Kepkam: kepala kampung)
“Iya, Pak Polisi, saya yang pertama melihatnya dan meminta bantuan warga, Pak,” ucapku.
“Baik, Saudara Ibso. Kami butuh keterangan Anda.”
Kubawa ke kantor polisi di kota, sekitar 15 kilometer dari kampungku. Diminta keterangan.
“Dari mana Anda dan bagaimana bisa bertemu korban?” tanya polisi.
“Dari Kampung Blangsak, Pak. Ketika pulang ke rumah, saya melihat orang itu merangkak, bersimbah darah.”
“Lalu, apa yang Anda lakukan?” tanya polisi tegas.
“Saya bertanya kepadanya, lalu ia menjawab bahwa ia korban begal. Kemudian saya meminta tolong kepada warga.”
“Dari mana Anda sebelum bertemu korban?”
“Dari Kampung Blangsak, Pak.”
“Apa yang Anda lakukan di Kampung Blangsak?”
“Menemui kawan-kawan dan berpamitan karena saya ingin bekerja di luar negeri.”
Pertanyaan demi pertanyaan berlanjut. Jam menunjukkan pukul 23.00, tetapi aku belum diperbolehkan pulang. Gawaiku disita. Keresahanku muncul, kutanyakan kepada polisi. “Pak, apa aku sudah boleh pulang?”
“Tunggu, kami masih membutuhkan informasi dari Anda,” jawabnya ketus.
Aku semakin risau. Tiba-tiba tiga polisi masuk. Kubawa ke ruangan gelap.
Salah seorang polisi menendangku dari belakang, hingga kujatuh.
“Pak, apa salahku? Mengapa aku ditendang?” tanyaku ketakutan.
“Kau yang membunuh orang itu. Mengaku saja kau!” teriaknya.
Perutku diinjak. “Pak, aku bukan pembunuh. Aku ingin menolongnya,” ucapku kesakitan.
Kemudian kurasakan sengatan listrik. “Mengaku saja kau, kalau tidak kami akan terus menyiksamu,” ulang mereka. Kata “ampun” berkali-kali kukatakan. Penyiksaan berhenti setelah mereka menyiramkan air comberan ke tubuhku. Dingin yang hebat membuatku pingsan.
Sengatan listrik membangunkan tidurku. “Segera makan nasi yang ada di lantai itu, kalau kau ingin kami bebaskan.”
Kuhabiskan nasi di lantai. Mereka memborgol tanganku dan membawaku ke ruangan sempit dan pengap.
“Sampai kapan kau tidak mau mengakui perbuatanmu?”
“Pak, tolong, bukan saya yang membunuh orang itu.”
Seorang polisi mengangkat meja dan meletakkan kaki meja di atas jempol kakiku, lalu digencet.
“Aaaaa...!” kuteriak sekeras-kerasnya.
Polisi tak berseragam menendang kepalaku. Sengatan listrik kembali membuat tubuhku kejang. Semua terasa gelap. Ketika kusadar, aku heran, tubuhku bersayap dan mampu menembus dinding.
Pulanglah aku ke Kampung Sue. Kutemui Ibu dan adik-adikku, tetapi tak ada yang mendengar suaraku. Ibu, maafkan aku belum sempat membahagiakanmu. Adik-adikku, semoga kalian tak senasib denganku. Cita-citaku pupus. Indonesia, negeri impianku, negeri yang menegakkan keadilan, negeri yang rakyatnya tidak terlilit hutang, negeri yang tidak ada suap-menyuap. Semoga adik-adikku bisa datang kepadamu, duhai Indonesia. Tuhanku, kabulkanlah doaku.
(*)
Abu Bakar, berdomisili di Kampung Tanah Tinggi, Kota Tangerang, seorang profesional musik yang berdedikasi. Ia bekerja sebagai pelatih ekstrakurikuler biola di sebuah sekolah dan juga aktif sebagai pemain biola independen. Nomor kontak aktif : 08811229474 atau akun Instagram @aboe.bakr.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA +62 811-8860-280