Cerpen: Yin Ude
Editor: Erna Wiyono
Permadi mulai pusing memikirkan bagaimana caranya ia akan membayar hutang-hutangnya yang jatuh tempo tiga bulan lagi.
“Tiga ratus ribu, yang kupinjam di Kak Eni, biaya aku nginap saat tes PPPK di kota kabupaten,” bacanya dalam hati.
“Lalu enam ratusan ribu, uangnya Pak Zuhri, yang kupinjam untuk biaya mengurus SKCK dan surat keterangan sehat dan bebas narkotika,” rapalnya lagi sambil menghitung-hitung dengan jari.
“Satu juta setengah lagi, untuk perbaikan motor. Ditambah delapan ratus, ongkos puskesmas sewaktu Asril kena demam berdarah. Oh, hutang beras di kios Bu Atik, masih ada, lima ratus lima puluh ribu….”
Sebenarnya hutang-hutang itu sudah akan bisa teratasi jika nanti ia bisa mengambil kredit di bank, setelah pengangkatannya sebagai PPPK.
Namun apa hendak dikata, rencana pengajuan kredit Permadi akan harus gagal karena hari ini mendadak pemerintah menerbitkan edaran penundaan pengangkatan PPPK hingga tahun depan.
Lelaki itu tidak memiliki barang berharga yang bisa dijual. Sementara penghasilannya pun sebagai guru honorer SMP akan segera berkurang karena mulai bulan depan jam mengajarnya akan diserahkan kepada guru lain.
Ia sebenarnya seorang honorer tata usaha. Pada saat pemerintah menerbitkan kebijakan linearitas, pendidikannya memenuhi syarat untuk menjadikannya guru TIK. Ia pun meminta kebijakan kepala sekolah agar bisa diberi sebagian jam mengajar. Kepala sekolah mengabulkan, dengan perjanjian bahwa jika sudah lulus seleksi PPPK, jam mengajar itu harus dikembalikan lagi kepada guru TIK yang sebelumnya menjadi pemiliknya.
Isterinya, Husna, juga hanya seorang guru honorer yang tidak bisa mengikuti seleksi PPPK karena masa kerjanya tidak terpenuhi.
Pusingnya itu tidak ditunjukkan Permadi kepada isterinya. Sebagai seorang suami ia ingin bertanggung jawab penuh dengan mencari jalan keluar sendiri atas masalah hutang keluarganya. Lagi pula ia tidak ingin membebani pikiran Husna, yang sedang hamil tua.
Permadi yakin bahwa jika ia membicarakan masalah hutang tersebut dengan Husna, dirinya pasti tidak akan tahan untuk mencetuskan keluhan, kata-kata menyalahkan bahkan mengutuk pemerintah.
Husna wanita solehah, yang sangat sabar. Dalam keadaan apa pun ia tidak pernah mengeluh, atau menunjukkan kesedihannya, kendati keluarga mereka tak henti didera kesulitan ekonomi. Ia pasti akan melarang Permadi bersikap seperti itu. Husna pasti akan mengajak suaminya untuk bersabar, tawakkal sambil terus memohon pertolongan pada Allah tanpa menyalahkan apalagi mengutuk pemerintah atau siapa pun. Terlebih ini bulan puasa.
“Jangan biarkan iblis datang pada kita, Bang. Jangan biarkan hadir dalam hati, di dalam rumah kita. Usir dengan istigfar.” Itu pesan lirih Husna dari bibirnya yang berada di balik cadarnya.
Permadi yang wataknya tidak sabaran akan kurang bisa menerima saran isterinya. Bisa jadi ia akan menyanggah Husna, atau ujungnya kesal padanya. Itu akan membuat hati Husna tidak enak, yang mungkin saja berpengaruh pada psikologisnya sebagai perempuan yang sedang hamil. Permadi tidak mau itu terjadi.
Maka ia pun keluar rumah, dengan maksud menenangkan diri sambil mencari jalan keluar.
Siang itu ia berjalan menyusuri trotoar di pusat kota.
Terlintas dalam pikirannya untuk meminjam lagi pada saudara-saudaranya. Tapi ia malu tak henti membebani mereka.
Di tepi jalan, ia istirahat karena kelelahan. Ia duduk di sebuah gazebo. Tak ia sadari tempatnya adalah di depan gedung DPRD, yang berada di sisi lain jalan.
Pikirannya terus berkecamuk.
Dipicu oleh kesadaran tak juga menemukan jalan keluar, ia mulai jengkel lagi pada pemerintah. Jengkel yang semakin meningkat tensinya, menjadi geram karena merasa pemerintah telah sewenang-wenang pada rakyat, yang membuat orang seperti dirinya, yang sudah berharap masalah hidupnya akan teratasi menjadi kecewa.
Sadar sedang puasa, Permadi istigfar.
Namun kemarahannya tak serta merta hilang. Terlebih saat tatapannya menumbuk gedung DPRD.
Terbetik harapannya bahwa para anggota dewan yang ada di dalamnya sudah mengetahui persoalan penundaan pengangkatan PPPK.
“Bukankah di kabupaten ini ada delapan ratusan PPPK? Masa iya anggota dewan tidak peka pada kekecewaan konstituennya dan tak segera memikirkan sikap yang harus diambil untuk memberi bantuan?” gumamnya pelan.
Menyeruak khayalan Permadi bahwa para anggota dewan itu telah mulai membicarakan masalah tersebut, membahasnya, merapatkannya, lalu dalam kapasitas mewakili para PPPK mereka melakukan komunikasi dengan pemerintah, untuk mendesak agar penundaan itu tidak jadi dilakukan.
Namun ada kekecewaan merasuki batinnya saat tiba-tiba ia merasa ragu untuk berharap pada para anggota dewan.
Kemarahannya menguasai dirinya lagi. Namun lekas istigfar lagi.
Ia ingat Husna yang jika melihatnya dalam keadaan tersebut pasti akan berkata dengan lemah lembut, “Jangan biarkan iblis mendatangi kita, Bang.”
Permadi menggeleng-gelengkan kepala, mencoba menguasai diri ketika ia merasa kepalanya pening. Matanya juga mendadak kabur. Ia menduga itu akibat udara panas, keletihan dan haus sebagai pengaruh puasa.
Ditariknya nafas perlahan, lalu dibuang, untuk menenangkan diri. Namun tiba-tiba telinganya berdenging dan kepalanya seperti dicengkeram dengan sangat kuat, hingga seperti kehilangan rasa. Tubuhnya pun seolah kehilangan bobot.
Mendadak pula denging itu berubah menjadi seperti suara riuh, seperti suara orang berseru bersamaan dalam kerumuman.
Dalam paniknya Permadi bingung, tak tahu asal suara itu. Saat yang sama ia melihat halaman kantor DPRD dipenuhi ratusan massa berpakaian putih hitam. Para PPPK!
Mereka berteriak-teriak marah, sambil mengacungkan kepalan tangan. Ada pula yang mengangkat bentangan spanduk bertuliskan, “Tolak Penundaan Pengangkatan PPPK!”
Ada pula spanduk lain; “Kembali ke Jadwal Semula Penerimaan SK! Paling lambat April 2025!”
“Jangan Zolimi PPPK! Jangan Zolimi Rakyat!”
Gemuruh seruan mereka; “DPRD harus turun tangan mengakomodir tuntutan kami! Legislatif jangan tutup mata atas nasib kami!”
Lalu mereka berhamburan hendak masuk ke dalam gedung dewan. Ratusan polisi sigap menghadang. Terjadilah dorong- mendorong.
“Kenapa tak ada satu pun anggota dewan yang keluar? Kenapa kami dibiarkan berjam-jam di sini, di luar, di bawah terik, berorasi, menyampaikan tuntutan, tanpa ada yang keluar menanggapi?!”
Seruan-seruan marah itu terus menggemuruh, meledak-ledak di telinga, meledak-ledak pula di dalam dada Permadi.
Lalu mendadak ia merasakan dirinya terbang ke halaman DPRD. Di kedua tangannya entah bagaimana telah tergenggam batu besar.
Masih di udara kedua tangannya bergerak melempar. Dan batu itu melesat dari tangannya.
Prang!
Keduanya menghantam pintu. Kacanya pecah. Kepingannya jatuh mengeluarkan bunyi berdenting yang keras pula sebelum berserakan di lantai.
“Tangkap!”
Seruan itu mengikuti puluhan polisi yang juga melesat ke udara, terbang mendatangi Permadi.
Para PPPK yang hendak merangsek masuk ke gedung dewan menghentikan langkah. Mereka berbalik menatap Permadi yang kini dikepung polisi.
Lelaki yang tak mau tertangkap itu pun sontak pula melesat. Hingga ia tak pedulikan lagi sesuatu yang menghalang di depannya. Kontan ia menabraknya. Ia terjatuh.
“Bapak ini dehidrasi dan mengalami hipoglikemia. Pasti karena puasa.”
Kalimat itu yang pertama kali menerpa telinga Permadi saat ia sadarkan diri.
Tatapannya yang masih sedikit kabur menumbuk warna serba putih di atasnya.
Ketika kesadarannya lebih pulih, baru ia tahu bahwa ia sedang berada di atas dipan dalam ruangan rumah sakit.
“O, kayaknya benar begitu, Dok. Ketika saya keluar dari halaman kantor saya dapati Bapak ini pingsan di atas gazebo. Makanya saya larikan segera ke sini.”
Permadi melihat lelaki yang barusan bicara.
Suharman, anggota DPRD! Lelaki itu menatapnya pula sambil tersenyum seraya mengeluarkan kunci mobil dari kantong bajunya.
“Saya yang bayar biaya perawatan beliau ini,” katanya lagi sambil memalingkan wajah ke arah seorang lelaki yang berdiri di sampingnya, yang seorang dokter. “Saya harus segera kembali ke kantor karena ada yang penting harus segera saya tangani. Nanti kalau keadaannya sudah benar-benar pulih dan boleh pulang, minta tolong Dokter telepon saya, biar saya jemput.”
Dokter mengangguk-angguk.
Permadi ternganga mendengar semua ucapan anggota dewan itu. Ingin ia bicara, namun tak tahu harus bicara apa. Kepalanya yang masih pusing menyusahkannya berpikir. Lidahnya juga terasa kelu untuk mengeluarkan suara.
Lalu ia hanya bisa ternganga lagi saat Suharman mengelus lengan kirinya yang ditusuk jarum infus seraya berkata sopan, “Pak Permadi istirahat saja dulu. Tenangkan diri, jangan banyak pikiran. Apa boleh saya minta nomor isteri Bapak untuk saya beritahu?”
Cepat Permadi menggeleng. Kendati sulit ia berusaha menunjukkan ekspresi wajah menolak isterinya diberitahu bahwa ia masuk rumah sakit.
Pria itu nampak sedikit heran, namun akhirnya mengangguk-angguk, sebelum kemudian pergi sambil mengangkat ponselnya yang berdering.
“Baik, saya segera ke kantor! O, teman-teman PPPK yang akan unjuk rasa? Besok? Terkait penundaan pengangkatan itu, kan? Ya, nanti sampai kantor kita bahas bagaimana kita akomodir aspirasi mereka. Kita mesti membantu perjuangan mereka!” ucapnya.
Ada sesuatu yang merayapi batin Permadi. Semacam rasa tidak percaya dengan apa yang baru ia dengar. Semacam pukulan! Ia menelan ludah.
Wajah Husna melintas di matanya. Persoalan yang sedang ia hadapi, hutang yang harus ia bayar, jalan keluar yang belum ia dapati perlahan merambat lagi dalam batinnya.
Ada satu lagi.
Tiba-tiba Permadi merasa ada satu masalah lagi yang akan muncul pula terkait dengan penundaan pengangkatannya.
Matanya tertutup, mencoba memikirkannya.
Tapi kepalanya pusing. Ia tak bisa menemukan apa itu.
***
Permadi benar-benar tak ingin isterinya tahu apa yang telah terjadi hari ini.
Jika tahu, Husna pasti tidak akan senang, sebab suaminya itu telah menuruti hawa nafsu hingga tak bisa mengendalikan diri, sampai pingsan.
“Itulah jadinya kalau Abang membiarkan iblis mendatangi Abang!” sesalnya pasti.
Meski masih sedikit lemas, Permadi menegakkan badannya saat masuk rumah. Obat yang diberikan dokter disimpannya baik-baik dalam saku celananya.
“Pak, Bapak! Bapak sudah pulang. Dari mana, Pak?”
Permadi terkejut disambut tiba-tiba oleh Asril, anak sulungnya yang baru kelas enam SD, yang keluar dari kamarnya.
Permadi mengangguk, tersenyum, berusaha memberikan kesan hati senang dan baik-baik saja pada anaknya itu.
Tapi sebentar saja. Ia harus mengernyitkan kening karena wajah Asril nampak kuyu. Matanya sedikit sembab seperti habis menangis.
“Kenapa, Nak?” Permadi menarik anaknya dan diajak duduk di kursi. “Sepertinya kamu habis menangis.”
“Bagaimana rencana saya masuk pesantren, Pak? Emak bilang bahwa pengangkatan Bapak ditunda. Itu berarti Bapak tidak akan bisa mempersiapkan uang untuk biaya saya mendaftar dan juga biaya lainnya nanti saat saya sudah masuk pesantren. Sementara waktunya tinggal dua bulan lagi…. ”
Ledakan di telinga Permadi. Ledakan di dadanya demi mendengar luncuran kalimat putranya itu.
Masalah itu, masalah itu yang tak sempat terpikir olehnya saat terbaring di rumah sakit!
Ia memeluk anak itu. Mengusap-usap kepalanya.
Ingin ia menangis karena merasa telah mengecewakan Asril yang memang sangat ingin masuk pesantren. Permadi pun telah kadung menyanggupi, sebab ia merasa memang jalannya terbuka lebar setelah kemarin ia lulus tes PPPK, akan segera diangkat, akan segera mendapat gaji.
Ada suara televisi di ruang tengah. Disela suara isakan pula!
Lekas Permadi bangun dan menuntun Asril melangkah masuk ke sana.
Melebarlah mata lelaki itu. Tercekat kerongkongannya saat mendapati Husna sedang duduk, menatap televisi sambil menyeka air matanya yang meleleh. Sesekali tangan kirinya menepuk-nepuk lemah paha anak bungsu mereka agar terus lelap di atas sofa di sampingnya.
“Ada apa, Dik? Kenapa menangis?” Ucap Permadi lirih.
“Abang belum menonton berita?” Jawaban Husna antara isakannya. Pelan sekali, hampir tidak terdengar.
Di layar televisi Permadi melihat pembaca berita sedang menyampaikan kabar penundaan pengangkatan PPPK. Ada pejabat-pejabat yang memberikan pernyataan.
“Lihat mereka, Bang. Lihat mereka!” Tiba-tiba nada suara Husna meninggi. “Begitu teganya mereka membuat keputusan penundaan semacam itu!”
Mulut Permadi menganga menyaksikan tingkah isterinya yang tidak biasanya itu.
“Jika hanya masalah kita akan susah makan lagi, itu tak terlalu aku pikirkan, sebab keluarga kita sudah terbiasa dengan keadaan itu. Aku, Abang dan anak-anak sudah ikhlas makan seadanya. Atau tentang hutang-hutang kita. Aku punya jalan mengatasinya. Aku sudah menghubungi tempat kita berhutang dan menawarkan diri bekerja paruh waktu di rumah mereka, mencuci baju, menyeterika untuk melunasi hutang kita. Mereka sudah setuju.
Tapi masalah kecewanya anak kita, Asril, yang sejak kelas dua SD selalu merengek untuk bisa melanjutkan sekolah ke pesantren, apa yang akan bisa kita perbuat? Tak pahamkah mereka, orang-orang di tivi itu tentang harapan kita yang ingin pula anak-anak kita mendapat pendidikan yang lebih baik, agar kelak mereka hidup lebih baik? Kenapa jalan yang sudah mereka buka lewat Abang kini ditutup lagi?!”
Kian lekat tatapan Permadi pada wanita solehah yang sangat sabar itu. Yang selama ini, dalam keadaan apa pun tidak pernah mengeluh, tidak pernah menunjukkan kesedihannya, biarpun kesulitan terus menerus mencengkeram keluarga.
Wanita yang juga selalu melarang suaminya mencetuskan keluhan dan kata-kata menyalahkan apalagi mengutuk pemerintah atas nasib mereka.
Wanita yang tak bosan mengajak Permadi untuk bersabar, tawakkal sambil terus memohon pertolongan pada Allah.
“Jangan biarkan iblis datang pada kita, Bang. Jangan biarkan hadir dalam hati, di dalam rumah kita. Usir dengan istigfar.”
Yang selalu, dengan kesungguhan hati, mengikat Permadi dengan pesan lembut itu.
Tapi kali ini Permadi mendapati Husna telah menjadi Husna lain. Suaranya juga tak lagi terdengar lembut. Melainkan bergetar memuat emosi.
Dan tatapannya, tak bergeser sedikit saja dari layar televisi. Ada kilat api di dalamnya.
Sesaat terlintas di pikiran Permadi untuk menenangkan Husna dengan ucapan, “Sabar, Dik. Jangan biarkan iblis datang pada kita.”
Tapi isak perempuan itu dan isak Asril yang mengikutinya pula telah melarang Permadi.
Permadi tahu isakan itu adalah jelmaan suara iblis yang datang. Tapi kali ini ia bingung, entah akan mengusirnya atau tidak [.]
Sumbawa Timur, 12 Maret 2025
Yin Ude, penulis Sumbawa Timur, Nusa Tenggara Barat. Menulis sejak 1997. Karyanya berupa puisi, cerpen, novel dan artikel terpublikasi di media cetak dan online dalam dan luar daerah Sumbawa, antara lain Lombok Pos, Suara NTB, Negeri Kertas, Sastra Media, Bali Politika, Elipsis, Suara Merdeka, Solo Pos, Kompas, Republika dan Tempo. Memenangkan beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Buku tunggalnya adalah Sepilihan Puisi dan cerita Sajak Merah Putih (Rehal Mataram, 2021) dan Novel Benteng (CV Prabu Dua Satu Batu Malang, Mei 2021) dan antologi puisi Jejak (Penerbit Lutfi Gilang Banyumas, 2022). Puisinya termuat pula dalam belasan antologi bersama para penyair Indonesia.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA +62 811-8860-280