AROMA PENJUAL KOPI[1]
Kepada Max
Havelaar
/1/
Pagi ini, kau menawarkan aroma kopi yang baru diseduh
Wanginya menyeruak seperti angin di beranda selepas
hujan siang tadi
Kau kawan lama si penjual kopi yang tidak sengaja
bertemu di labirin masa lalu
Dulu aku suka minum kopi, tapi sekarang dokter
melarang, “Terlalu banyak kafein”, ujarnya. Itu benar. Andai senja pertama kau
melihat Hindia dari dekat. Tentu kau akan segera membuat traktat balas budi. Tapi,
sudahlah… segera minum, kopimu beranjak dingin.
Siang ini, laki-laki dengan syal kotak-kotak menatap
dengan tajam. Dia bukan penjual kopi.
Dia menawarkan bait-bait sajak. Terima sajalah. Anggap
itu aroma kopi yang membangkitkan jiwa trinitas: tiga serangkai. Tapi, aku
tetap penjual kopi. Bukan penjual bait-bait sajak. Mereka terlalu jujur sebagai
barang dagangan.
Petang ini, penjual kopi dan laki-laki bersyal itu
berlayar menembusi kabut dalam baris-baris sajaknya yang tanpa rima, menebas
angin laut dalam huruf-huruf sajaknya yang tanpa birama. Mereka berlabuh di
Batavia, menyusuri Buitenzorg, sampai di Kota Kembang. Dalam perjalanan itu,
aku seperti mengada.
/4/
Malam ini, kau ceritakan perihal pertemuanmu dengan
penjual kopi itu.
Bandung, 31 Juli 2018
DUA KSATRIA WAYANG
Kresna dan Arjuna saling berhadapan
lembaran kuning emas menjadi latar yang mahasuci
mereka berdua saja
dibimbing Garuda Wisnu yang perkasa
Mataram-Majapahit menjadi saksi kejayaan Nusantara
Rawe-rawe rantas,
malang-malang poeteong
Dua ksatria menjadi lambang suci:
menjelma Indische
Partij
berosmosis membuka jalan politik balas budi
Hindia untuk Hindia
2024
LAKI-LAKI BERSYAL
Kau mengada di antara Batavia, Buitenzorg dan Amsterdam
ditingkah kenangan yang suwung:
Syal kotak-kotak itu tetap menjadi tujuan
Sajak yang kau tulis menggambarkan Hindia Nusantara
Sajak-sajakmu menggambarkan Hindia yang permai
Kehidupan langit dan bumi:
Kresna dan Arjuna berarak mengiringi mufakat Indische Partij
Berulang waktu yang fana, Kau tetap setia
Menunggu.
2024
MESIN RIWAYAT
Ini hikayat mesin riwayat yang tidak akurat
berpuluh orang sekarat karena salah alamat
mentang-mentang tidak dibaiat
amanat suci menjadi madarat
barakat menjadi terlaknat
Abulhayat mesin riwayat berpeluh keringat
sungguh menjadi keramat
orang-orang terkelinjat
mencoba-coba menjilat jidat
menunggu sampai tahun kabisat
Bahrulhayat mesin hikayat dijadikan azimat
para aparat, kerabat,
dan aristokrat
hati-hati yang khidmat terkadang berkhianat
mencari cara untuk membeli ketupat
Oh, mesin riwayat
akhiratmu yang khurafat.
2024
[1] Ditulis pada festival Multatuli, di Lebak Banten 2018
Penulis :
Heri Isnaini lahir di Subang, Jawa Barat, pada tanggal 17 Juni. Heri sangat menyukai puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. Pernah mengikuti acara “Temu Penyair Asia Tenggara 2018” di Padang Panjang, Sumatera Barat, mengikuti Festival Seni Multatuli 6-9 September 2018 di Rangkasbitung, Lebak, Banten. Puisi-puisinya juga pernah dimuat pada Jurnal Aksara, Deakin University, Australia.
Antologi puisinya, Ritus Hujan (2016); Singlar Rajah Asihan: Kumpulan Sajak (2018); Ah, Mungkin Kau Lupa Aku Begitu Merindumu (2019); Manunggaling Kawula Gusti: Kumpulan Sajak (2020); Montase: Sepilihan Sajak (2022). Cerpennya pernah dimuat pada koran Radar Banyuwangi, Radar Kediri, dan Harian Rakyat Sultra. Beberapa media daring di Indonesia seperti Radar Utara, Restorasi News Siber Indonesia, Tebu Ireng Online, Bali Politika, Berita Jabar News, Sip Publishing, Himpun.id juga pernah memuat karya-karyanya.
Kegiatan sehari-hari Heri adalah Dosen Sastra IKIP Siliwangi Kota Cimahi. Selain itu, Heri juga banyak beraktivitas sebagai editor dan reviewer di berbagai jurnal ilmiah di dalam dan luar negeri.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA +62 811-8860-280