005

header ads

Puisi - Puisi Heri Isnaini | Minggu 13 April 2025





AROMA PENJUAL KOPI[1]

            Kepada Max Havelaar


/1/

Pagi ini, kau menawarkan aroma kopi yang baru diseduh

Wanginya menyeruak seperti angin di beranda selepas hujan siang tadi

Kau kawan lama si penjual kopi yang tidak sengaja bertemu di labirin masa lalu

Dulu aku suka minum kopi, tapi sekarang dokter melarang, “Terlalu banyak kafein”, ujarnya. Itu benar. Andai senja pertama kau melihat Hindia dari dekat. Tentu kau akan segera membuat traktat balas budi. Tapi, sudahlah… segera minum, kopimu beranjak dingin.

 /2/

Siang ini, laki-laki dengan syal kotak-kotak menatap dengan tajam. Dia bukan penjual kopi.

Dia menawarkan bait-bait sajak. Terima sajalah. Anggap itu aroma kopi yang membangkitkan jiwa trinitas: tiga serangkai. Tapi, aku tetap penjual kopi. Bukan penjual bait-bait sajak. Mereka terlalu jujur sebagai barang dagangan.

 /3/

Petang ini, penjual kopi dan laki-laki bersyal itu berlayar menembusi kabut dalam baris-baris sajaknya yang tanpa rima, menebas angin laut dalam huruf-huruf sajaknya yang tanpa birama. Mereka berlabuh di Batavia, menyusuri Buitenzorg, sampai di Kota Kembang. Dalam perjalanan itu, aku seperti mengada.

/4/

Malam ini, kau ceritakan perihal pertemuanmu dengan penjual kopi itu.


Bandung, 31 Juli 2018

 

 


 

DUA KSATRIA WAYANG

 

Kresna dan Arjuna saling berhadapan

lembaran kuning emas menjadi latar yang mahasuci

mereka berdua saja

dibimbing Garuda Wisnu yang perkasa

Mataram-Majapahit menjadi saksi kejayaan Nusantara

 

Rawe-rawe rantas, malang-malang poeteong

 

Dua ksatria menjadi lambang suci:

menjelma Indische Partij

berosmosis membuka jalan politik balas budi

 

Hindia untuk Hindia

 

2024

 

 



LAKI-LAKI BERSYAL

 

Kau mengada di antara Batavia, Buitenzorg dan Amsterdam

ditingkah kenangan yang suwung:

Syal kotak-kotak itu tetap menjadi tujuan

 

Sajak yang kau tulis menggambarkan Hindia Nusantara

Sajak-sajakmu menggambarkan Hindia yang permai

Kehidupan langit dan bumi:

 

Kresna dan Arjuna berarak mengiringi mufakat Indische Partij

Berulang waktu yang fana, Kau tetap setia

 

Menunggu.

2024

 

 


 

MESIN RIWAYAT

           

 

Ini hikayat mesin riwayat yang tidak akurat

berpuluh orang sekarat karena salah alamat

mentang-mentang tidak dibaiat

amanat suci menjadi madarat

barakat menjadi terlaknat

 

Abulhayat mesin riwayat berpeluh keringat

sungguh menjadi keramat

orang-orang terkelinjat

mencoba-coba menjilat jidat

menunggu sampai tahun kabisat

 

Bahrulhayat mesin hikayat dijadikan azimat

para aparat, kerabat,  dan aristokrat

hati-hati yang khidmat terkadang berkhianat

mencari cara untuk membeli ketupat

 

Oh, mesin riwayat

akhiratmu yang khurafat.

 

 

2024


[1] Ditulis pada festival Multatuli, di Lebak Banten 2018


Penulis :


Heri Isnaini lahir di Subang, Jawa Barat, pada tanggal 17 Juni. Heri sangat menyukai puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. Pernah mengikuti acara “Temu Penyair Asia Tenggara 2018” di Padang Panjang, Sumatera Barat, mengikuti Festival Seni Multatuli 6-9 September 2018 di Rangkasbitung, Lebak, Banten. Puisi-puisinya juga pernah dimuat pada Jurnal Aksara, Deakin University, Australia.             

Antologi puisinya, Ritus Hujan (2016); Singlar Rajah Asihan: Kumpulan Sajak (2018); Ah, Mungkin Kau Lupa Aku Begitu Merindumu (2019); Manunggaling Kawula Gusti: Kumpulan Sajak (2020); Montase: Sepilihan Sajak (2022). Cerpennya pernah dimuat pada koran Radar Banyuwangi, Radar Kediri, dan Harian Rakyat Sultra. Beberapa media daring di Indonesia seperti Radar Utara, Restorasi News Siber Indonesia, Tebu Ireng Online, Bali Politika, Berita Jabar News, Sip Publishing, Himpun.id  juga pernah memuat karya-karyanya.

Kegiatan sehari-hari Heri adalah Dosen Sastra IKIP Siliwangi Kota Cimahi. Selain itu, Heri juga banyak beraktivitas sebagai editor dan reviewer di berbagai jurnal ilmiah di dalam dan luar negeri. 


Posting Komentar

0 Komentar